Kini, lengkap sudah segala alasan betapa meragukannya keamanan penerbangan di negara kita, khususnya maskapai penerbangan yang berkategori low cost carrier. Kemarin beredar kabar ditangkapnya seorang pilot Lion Air, Hanum Adhyaksa, di sebuah hotel di Makasar. Sebenarnya bukan kebetulan jika si pilot muda ini ditangkap, sebab sebenarnya ia sudah jadi incaran Badan Narkotika Nasional (BNN) setidaknya 3 bulan terakhir. Hanum bersama 3 orang temannya dinyatakan positif mengkonsumsi shabu dan bersama mereka ditemukan alat hisap bong, disakunya ditemukan bungkus narkoba dan shabu. BNN sudah lama mendapatkan informasi bahwa pilot ini suka pesta shabu. Menurut keterangan seorang dokter dalam wawancara live di sebuah stasiun TV, pilot ini memang pengkonsumsi narkoba jenis shabu, makin padat jadwal terbangnya, semakin dia harus terbang dengan durasi yang terus menerus, makin tinggi pula dosis yang dikonsumsi.
Sebenarnya, meski ini kasus pertama yang diekspose secara besar oleh media, tapi ini bukanlah kasus pertama pilot Lion Air ditangkap karena nyabu. Pada Oktober 2011 lalu, 2 orang pilot Lion Air, Muh. Nasri, 40 tahun, dan kopilot Husni Thamrin menghadapi ancaman penjara atas perkara penyalahgunaan narkotika jenis sabu dan ekstasi. Jaksa penuntut kasus ini mengatakan bahwa yang bersangkutan mengaku baru tiga kali memakai, tapi secara logika tidak mungkin karena ada surat terdakwa dalam pengawasan dokter sejak enam bulan lalu. Baca di sini : http://www.tempo.co/read/news/2011/10/04/064359841/Nyabu-di-Udara-Pilot-Lion--Terancam-Lima-Tahun-Penjara.
[caption id="attachment_155676" align="aligncenter" width="300" caption="Pilot yang tertangkap nyabu (sumber : Tribunnews.com)"]
[/caption]
Dalam 2-3 tahun terakhir ini, Lion Air sangat dikenal karena seringnya delay yang sudah melewati batas toleransi. Hampir setiap bulan selalu muncul pemberitaan tentang penumpang yang mengamuk karena terlantar. Padahal, kalau hanya delay 2-4 jam saja, umumnya kondisi masih terkendali. Biasanya baru masuk berita kalau delay sudah lebih dari 6 jam bahkan sampai 17 jam! Waktu yang tidak bisa dibilang masuk akal untuk sebuah transportasi udara, dimana penumpang memilih moda transportasi ini karena pertimbangan waktu tempuh. Bayangkan jika penumpang harus menghadiri suatu acara penting, tiba-tiba pesawat delay sampai 4 jam. Umumnya maskapai mengakali delay dengan mengumumkan secara bertahap. Awalnya diinformasikan pesawat akan mengalami penundaan keberangkatan 1,5 jam, lalu sejam kemudian ada pengumuman lagi penundaan bertambah 2 jam lagi dan seterusnya, sampai akhirnya maskapai tak mampu lagi menjelaskan sampai kapan delay berlangsung.
Sebelum populer dengan kasus delay-nya, Lion Air terkenal dengan bagasi yang tidak aman. Sekitar pertengahan tahun 2000-an, sering saya baca surat pembaca di koran tentang kekecewaan penumpang Lion karena bagasinya rusak bekas dibuka paksa, bagasi diacak-acak, sampai hilangnya sebagian isi bagasi. Saya sendiri pernah punya pengalaman tak menyenangkan soal ini ketika naik Lion Air dari Balikpapan menuju Surabaya. Sampai di bandara Juanda Surabaya, salah satu koper saya keluar dari belt conveyor dalam kondisi risletingnya terbuka. Padahal jelas koper itu terkunci. Saat saya angkat koper itu, ada paku ber-ulir seperti mur yang panjangnya kira-kira 7 cm, masih nyantol di ritsleting koper. Saat saya mengadu ke bagian lost n found, petugas hanya membetulkan ritsleting koper, lalu dengan santai berkata “Gak ada bawaan Mbak yang hilang kan? Jadi gak perlu lapor. Baru kalau ada yang hilang boleh lapor”. Nah lho!
Bukankah dirusaknya risleting koper itu bukti bahwa ada upaya pencurian? Memang koper itu sebenarnya kosong saat saya kembali ke Surabaya. Karena adik saya membawakan oleh-oleh kerupuk amplang khas Samarinda dan saya malas membawanya dalam tas plastik, saya masukkan saja kerupuk-kerupuk itu ke dalam koper. Karena dimensi koper terlalu besar untuk dibawa ke kabin, koper itu terpaksa masuk bagasi. Rupanya si maling mengira koper saya berisi barang layak curi. Saat dia tahu isinya sama sekali tak berharga, ditinggalkannya koper saya tanpa menyadari paku masih tertinggal. Seharusnya, petugas darat Lion Air peduli dengan kejadian ini. Sebab jika koper saya berisi barang berharga, bukan tak mungkin ada yang hilang.
Begitulah berbagai ketidaknyamanan layanan Lion Air : bagasi tak aman, delay yang lebih pasti ketimbang on schedule, dan kini resiko diterbangkan oleh pilot yang berada di bawah pengaruh narkoba! Apakah semua ini hanya kebetulan belaka? Kalau hanya seorang pilot yang tertangkap nyabu dan baru pertama kali menghisapnya, mungkin ini murni “kecelakaan”. Tapi kalau sudah ada beberapa orang yang terbukti secara medis mengkonsumsi narkoba dalam jangka waktu berbulan-bulan dan tetap menerbangkan pesawat –lisensi terbangnya baru dicabut karena tertangkap aparat hukum – tentu bukan kebetulan lagi. Dan parahnya : setelah pengalaman pilot dan co-pilotnya didakwa nyabu, manajemen Lion Air tak memberlakukan tes sebelum pilot-pilotnya terbang. Mungkin para pilot yang sudah tertangkap itu hanya puncak gunung es saja, bisa jadi pilot yang lainnya masih banyak.
[caption id="attachment_155679" align="aligncenter" width="300" caption="(almarhum) Adam Air"]
[/caption]
Saya jadi ingat Adam Air. Sebelum akhirnya dibekukan pada 2008, Adam Air beberapa kali mengalami salah mendarat. Tujuannya kemana, mendaratnya di mana. Kemudian terjadilah tragedi itu : 1 Januari 2007 pesawat Adam Air dari Surabaya tujuan Makasar hilang. Sampai sekarang pun tak pernah jelas dimana pastinya pesawat Adam Air itu jatuh. Satu-satunya bukti pesawat jatuh hanya dari ditemukannya kepingan sayap dan meja di belakang kursi penumpang, yang ditemukan oleh nelayan. Sementara jasad penumpang tak satupun yang diketemukan.
Pasca tragedi itu, berbagai media mencoba menyelidik lebih dalam bagaimana manajemen Adam Air mengelola operasional pesawatnya. Majalah Tempo memberitakan bahwa pesawat-pesawat Adam Air seringkali memotong jalur demi menghemat avtur. Padahal jalur potong kompas itu justru jalur yang rawan dan berbahaya. Belakangan, melalui redaksi Liputan 6 SCTV, pilot-pilot maskapai itu membuat pengakuan bagaimana mereka bekerja dalam tekanan. Sampai sebegitu hebohnya pun Pemerintah belum juga membekukan Adam Air, sampai ada 1 kali lagi kejadian nyaris celaka, barulah Adam Air benar-benar dicabut ijin operasionalnya. Kita semua sudah tahu, siapa dibalik alotnya pencabutan ijin operasi Adam Air. Pejabat tinggi negeri ini adalah salah satu pemegang saham Adam Air saat itu.
Kini bagaimana dengan Lion? Bukankah ketidaknyamanan Lion sudah lama dikeluhkan penumpang? Teman-teman saya yang pernah punya pengalaman naik Lion kesannya sama : pilotnya kasar, saat landing luar biasa getarannya. Belum lagi soal delay. Umumnya delay terjadi karena pesawat belum tiba di bandara keberangkatan, karena masih berada di bandara lain dan melayani rute lain pula. Jadi 1 pesawat dipakai untuk beberapa rute bolak-balik. Begitu pesawat mendarat di suatu bandara, penumpang turun, awak kabin membersihkan pesawat sampai kondisi siap pakai, lalu penumpang rute berikutnya dipersilakan naik. Bahkan saya pernah terpaksa boarding – saya katakan terpaksa karena tampaknya awak darat sudah kewalahan menghadapi kemarahan penumpang karena delay yang terus diperpanjang, sehingga akhirnya 10 menit setelah pesawat mendarat kami dipersilakan boarding – ketika kondisi pesawat sebenarnya belum siap untuk dimasuki penumpang. Para pramugari tampak masih merapikan kursi dan bantalnya. Saya sempat mendengar percakapan para pramugari itu yang bersungut-sungut mempertanyakan siapa yang menyuruh penumpang naik, sebab mereka belum siap untuk terbang lagi sesaat setelah mendarat.
Fenomena seperti ini tak jauh beda dengan Adam Air dulu. Kini, Lion Air menyediakan tawaran rute yang cukup beragam, frekwensi penerbangan padat, harga tiket murah. Jadilah Lion “primadona” di berbagai travel biro. Lalu apakah karena murah ini bisa menjadi alasan untuk memberikan layanan ala kadarnya, penerbangan tak tepat waktu, pesawat yang dipaksa terus terbang tanpa istirahat di hanggar dan meminimalisir waktu parkir di bandara, juga pilot yang harus terbang dalam frekwensi tinggi? Dengan hanya istirahat beberapa menit di bandara, maskapai memang bisa mengirit sewa parkir kepada otoritas bandara. Apalagi kalau pesawat bisa terus terbang tanpa harus mampir “tidur” di hanggar. Tapi bagaimana dengan kehandalan pesawat dan pilot? Bukankah faktor fatigue juga harus sangat dipertimbangkan? Akankah Pemerintah terus membiarkan persaingan tak sehat dengan cara banting harga seperti ini dengan mengorbankan konsumen? Sampai kapan pembiaran ini? Sampai jatuh korban seperti Adam Air?
[caption id="attachment_155685" align="aligncenter" width="300" caption="barang bukti (BB) bong dan shabu sang pilot"]
[/caption]
Low cost carrier bukan berarti terbang murah tapi resiko tanggung sendiri! Jika memang harga murah yang ditawarkan itu sudah tidak masuk akal dan tidak memenuhi ambang batas nilai keekonomian, maskapai harus berani menaikkan harga dan bukannya memperdaya konsumen dengan harga murah tapi banyak syarat yang dikurangi. Sekedar contoh, Lion Air bisa menjual tiket pesawat jurusan Jakarta – Surabaya seharga Rp. 300 – 400 ribuan, sedangkan maskapai lain dengan harga Rp. 500 – 600 ribuan. Harga ini sangat murah, hanya selisih sedikit dari harga tiket KA kelas eksekutif jurusan yang sama. Akibatnya penumpang yang semula hanya punya dana untuk naik KA, kini beralih menggunakan pesawat murah. Penumpang tak bisa disalahkan, selama ada pilihan murah dan cepat, kenapa tidak?
Ini sudah menjurus pada persaingan yang tidak sehat, dimana maskapai membanting harga semurah-murahnya, sementara keamanan dan kenyamanan penerbangan dikorbankan. Jika memang harga keekonomian penerbangan Jakarta – Surabaya berkisar Rp. 500 – 600 ribuan, Lion Air harus berani menaikkan harga. Memang resikonya penumpang berkurang. Sebagian penumpang akan kembali ke moda KA. Tidak apa-apa, itu sebuah pilihan. Tapi yang jelas, penumpang yang memang butuh naik pesawat dengan pertimbangan waktu tempuh dan kenyamanan – tak mau berlama-lama di kereta – akan mendapat pelayanan sebagaimana mestinya. Apa gunanya murah jika ternyata kemudian penumpang juga yang dikorbankan?
Seharusnya otoritas penerbangan melakukan langkah-langkah audit menyeluruh terhadap manajemen Lion Air. Bukan hanya sekedar audit keuangan, tapi juga bagaimana cara Lion Air mengelola armadanya, mengatur jadwal terbang pilot dan awak pesawatnya (termasuk co pilot dan pramugara/ri), pengelolaan bagasi dan segala hal yang terkait dengan keamanan dan kenyamanan penumpang. Sebab salah satu teman saya yang pernah bekerja di Perusahaan jasa logistik yang dulu menangani ground handling bagasi Lion Air sekitar tahun 2004 – 2006, dia bilang ngeri naik Lion. Kenapa? Karena dia tahu bagaimana Lion selalu meminta perusahaan tempat kerjanya sebagai outsourcing, untuk mentolerir berat bagasi. Meski perusahaan teman saya itu sudah menyatakan ini melebihi limit, Lion tetap meminta agar diijinkan menambah bagasi.
Tidak bisa Ditjen Hubdar Dephub membiarkan semua ketidaknyamanan ini terjadi begitu saja. Jangan sampai penumpang disuguhi logika : kalau mau aman dan nyaman, ya naik pesawat lain saja yang mahal, murah kok minta enak! Sebab dengan maraknya penerbangan murah, kini naik pesawat sudah bukan lagi monopoli kelas atas. Masyarakat middle low pun berbondong-bondong naik pesawat. Bagaimana pun, masyarakat kita utamanya kelas menengah ke bawah masih kurang aware dengan keselamatan dan mungkin juga awam dengan indikator keamanan suatu penerbangan. Selama di hadapan mereka tersaji pilihan maskapai murah, maka mereka akan tetap memilihnya. Mutlak diperlukan ketegasan Pemerintah sebagai regulator penerbangan untuk men-sortir maskapai yang sering mengabaikan keamanan dan kenyamanan penumpang. Bukan publik yang disuruh memilih sendiri dan nanti jika terjadi celaka yang disalahkan konsumen yang memilih penerbangan murah.
Jika logika-logika semacam itu tetap digunakan, pantas saja kalau negeri kita sekarang dijuluki “negara auto pilot”. Semua berjalan begitu saja, diserahkan kepada masyarakat untuk memilih apapun tapi resikonya ditanggung sendiri. Pemerintah terus saja absen dalam memberikan perlindungan kepada publik. Contoh kecil adalah fakta tidak amannya naik angkot, lalu yang disalahkan penumpang : jangan pakai rok mini, atau siapa suruh naik angkot tengah malam. Ini kan logika tak bertanggungjawab namanya. Jangan-jangan nanti konsumen jasa penerbangan disuguhi dalih : terbang murah kok minta selamat! Yang ada ini : terbang murah tapi diawaki pilot yang pakai shabu, mau?! Kalau mau, silakan naik dan jangan pernah komplain kalau celaka! Hmm..., susahnya hidup di negara auto pilot!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H