Lihat ke Halaman Asli

Ira Oemar

TERVERIFIKASI

Mestinya Kita dan Para Pemimpin Belajar Kejujuran dari Pak Waras

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1326555118166073293

[caption id="attachment_163767" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption]

Saya ingin mengangkat kembali cerita lama yang mungkin sudah basi dan dilupakan orang. Tapi pesan moralnya justru makin relevan dengan keadaan sekarang. Ini kisah nyata tentang seorang petani tua yang sawahnya menjadi korban luapan lumpur panas Lapindo. Ceritanya berawal dari pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak Lapindo jaya (MLJ) yang ditunjuk sebagai perusahaan pembayar. Sesuai kesepakatan, ganti rugi tahap pertama hanya akan dibayar 20% dari nilai total taksiran obyek yang menjadi korban. Ganti rugi untuk sawah milik Pak Waras ditetapkan Rp. 285 juta. Berarti 20% yang akan diterimanya hanya Rp. 56 juta. Namun apa yang terjadi? Rekeningnya diketahui berisi dana 429 juta!

Tanggal 7 Agustus 2007 pagi, masih jam 6 pagi saat orang-orang bergegas ke tempat kerja, Pak Waras tergopoh-gopoh menuju posko Tagana (Taruna Siaga Bencana) Jatim yang mendampingi para korban lumpur. Setelah pintu dibuka oleh petugas Tagana yang berjaga, Pak Waras langsung to the point menyampaikan keinginannya : "Pak, kulo nyuwun pitulungan! Dospundi carane mbalek aken keluwihan yotro ganti rugi sabin kulo" (Pak, saya mau minta tolong! Bagaimana caranya mengembalikan kelebihan uang ganti rugi sawah saya). Petugas Tagana nyaris tak percaya. Setelah meminta penjelasan apa yang terjadi, petugas mencoba meyakinkan : "Menopo leres bapak badhe wangsul aken yotro niki, tulus? Ikhlas? Mboten gawe-gawe saestu" (Apa benar bapak akan mengembalikan uang ini, tulus? Ikhlas? Tidak mengada-ada?). Pak waras hanya mengangguk sambil menunduk terpekur.

Barulah kemudian petugas Tagana bergegas mengantar Pak Waras ke kantor PT. MLJ dan Tim Verifikasi BPLS, sampai tuntas semuanya seharian sampai jam 21.00 barulah semua urusan kelar. Kelebihan uang telah ditransfer kembali ke rekening MLH dan Pak Waras hanya menerima yang benar-benar menjadi haknya. Istri Pak Waras, Bu Astiyah, kini kembali sehat. Semula, saat tahu ada dana siluman sebesar itu masuk ke rekening mereka, Bu Astiyah stress sampai diare.

Pak Waras sempat diundang hadir ke Metro TV dalam acara News dot com (sekarang Democrazy). Ketika ditanya alasan apa yang membuat Pak Waras mengembalikan uang ratusan juta itu, ia menjawab dengan lugu: "Kulo wedi dosa pak, niku sanes hak kulo” (Saya takut dosa Pak,itu bukan hak saya). Subhanallah! Kalimat pendek sederhana yang mampu menampar siapa saja yang berperilaku sebaliknya. Ketika PT.MLJ ingin menghadiahi Pak Waras dan keluarganya menginap di  hotel berbintang, lagi-lagi Pak Waras menolak. Alasannya : "Kulo wedi kadhemen. Mangke yen ten mriko kulo ndak kemutan wedhus-wedhus kulo” (Saya takut kedinginan. Nanti kalau di sana saya malah teringat kambing-kambing saya)

Setidaknya ada 3 pelajaran moral yang saya dapat dari Pak Waras dan Bu Astiyah. Pertama : kejujuran! Perasaan tak tenang bahkan sampai menyebabkan sakit ketika menerima sesuatu yang bukan haknya. Kedua : kepantasan! Pak Waras menolak tidur di hotelmewah karena dia merasa tak pantas tidur di tempat itu. Ketiga : kesetiaan! Pak Waras tak tega meninggalkan kambing-kambing peliharaannya karena dia merasa punya tanggung jawab atas hidup hewan-hewan itu. Pak Waras setia, solider dan punya keterikatan batin yang kuat dengan hewan peliharaannya.

Sekarang, masihkah kita temui idealisme macam Pak Waras? Adakah bisa kita temui kewarasan Pak Waras dalam diri para pemimpin kita? Masihkah ada rasa malu menerima apa yang bukan menjadi hak mereka? Ketika saya membuat tulisan tentang rekapitulasi absensi 9 Fraksi DPR RI selama 3x Sidang Parpurna Masa Persidangan I, II, III tahun Sidang 2011 – 2012, tampak jelas bahwa semua Fraksi tingkat kehadirannya hanya berkisar 50%-an saja. Padahal, setiap masa persidangan hanya 2 bulan, masih dikurangi masa reses 2 minggu, belum lagi dikurangi jadwal kunjungan kerja ke luar negeri. Lalu, dengan tingkat kehadiran (atau tingkat ke”bolos”an?) seperti itu, apakah mereka tak risih menerima gaji dan sejumlah tunjangan yang seharusnya bukan hak mereka? Tidakkah ada keinginan mereka mengembalikan 50% dari total pendapatannya pada Negara untuk digunakan bagi kepentingan rakyat? Saya haqqul yaqin tak bakal ada!

Ketika Bung Fadjroel Rachman menemukan fakta bahwa ternyata Nazaruddin masih menerima gaji sebagai anggota DPR sampai 3 bulan sejak ia dinyatakan dipecat dari DPR, terungkap pula fakta lain. Ternyata bukan hanya Nazar, ada Misbakhun – anggota DPR RI dari Fraksi PKS – yang sudah divonis dan dipenjara karena kasus LC fiktif, ternyata masih menerima gaji sampai hampir 2 tahun setelah ia tak lagi aktif jadi anggota DPR. Ketika Fadjroel dan Tina Talissa presenter TV One mengungkap fakta kerugian Negara ratusan juta akibat pembayaran gaji buta ini, Nasir Djamil – sejawat Misbakhun dari PKS yang saat itu diundang di acara AKI Malam – malah mengecilkan nilainya dengan mengatakan : jumlahnya tak sebanyak itu kok! Sebab yang dibayarkan HANYA gaji pokoknya saja. Kalau gaji pokok hanya sekian belas juta (maaf saya lupa persisnya, sekitar 14 atau 17 juta).

Saya sedih, ternyata jawaban seperti itu yang keluar. Bukankah yang namanya gaji buta tetaplah HARAM tak peduli itu jumlahnya 14 juta atau 14 ribu?! Dalam agama Islam, sesuatu yang dalam jumlah banyak dinyatakan haram, maka sedikitnya pun tetap haram. Makan babi haram, tak peduli makan sepiring penuh atau seiris kecil. Mengkonsumsi miras haram, bukan perkara sebotol besar atau segelas kecil. Jadi kalau seorang anggota DPR dari parpol Islam kemudian menyepelekan gaji buta karena yang diterima cuma gaji pokok saja, saya heran bagaimana bisa se-permissive itu? Bukankah belasan juta dikalikan belasan bulan jumlahnya jadi besar? Bukankah belasan juta setiap bulan cukup untuk membayar gaji selusin buruh?

Kalau saja nilai kejujuran seperti Pak Waras masih ada dalam diri anggota DPR, tentu Nasir Djamil akan menjawab : kami tak tahu bahwa gaji rekan se-Fraksi kami masih tetap dibayar. Kalau begitu akan kami perintahkan Misbakhun segeramengembalikan apa yang bukan menjadi haknya! Nyatanya tidak demikian. Justru permakluman seolah karena jumlahnya tak seberapa maka soal ini tak layak dibesar-besarkan.

Kini, anggota DPR khususnya yang menjadi anggota Banggar, akan memiliki ruang rapat baru super mewah senilai Rp. 20 M. Mereka tak tahu menahu soal ini, katanya. Tamsil Linrung bilang mereka hanya minta dibuatkan ruang rapat, tak menyangka akan semewah itu jadinya. Masalahnya, akankah mereka merasa pantas menggelar rapat di ruang itu sementara ribuan rakyat masih tidur di rumah kardus? Pantaskah mereka duduk di kursi ergonomis asli diimpor dari Jerman, sementara ribuan anak sekolah terpaksa duduk di lantai karena bangku sekolahnya reot dan tak bisa lagi diduduki? Terusikkah nurani mereka dengan norma “kepantasan” seperti Pak Waras yang takut kedinginan dan teringat /kepikiran akan kambingnya? Tidakkah ketika duduk di sana mereka ingat dan kepikiran nasib rakyat yang diwakilinya?

Johnson Panjaitan, pengamat publik yang sangat kritis, dengan emosional menegaskan : makin nyaman lingkungan yang dibangun DPR, makin jauh dari rakyat. Makin aman DPR terlindungi, makin tinggi banteng yang memisahkan mereka dengan rakyat. Saya termasuk yang setuju dengan pernyataan ini. Tak mungkin rasanya mereka yang difasilitasi semewah itu masih punya kesetiaan pada rakyat yang diwakilinya. Tentu makin tipis rasa solidaritas dan keterikatan batin mereka dengan rakyat yang nasibnya jauh dari hidup layak.

Sekarang, DPR utamanya anggota BURT dan Banggar justru berlomba-lomba mengatakan tak tahu menahu. Wakil Ketua BURT, Refrizal, sudah mengakui bahwa seluruh anggota BURT tahu bahwa anggaran untuk renovasi ruang rapat Banggar itu semula justru 24 milyar. Tapi toh mereka tidak menolak sejak awal. Bukankah angka 24 M untuk renovasi ruangan 10x10 m2 itu tidak pantas?! Tentunya sudah terbayang bakal jadi ruang mewah. Tapi itulah, norma kepantasan pun mereka sudah tumpul!

Okelah, mereka yang di Senayan mungkin memang sudah beku nuraninya. Mari sekarang kita melihat ke dalam diri sendiri. Kejadian seperti Pak Waras mungkin sering menimpa kita, meski dalam jumlah “tak seberapa”. Siang tadi saya belanja di Indomaret dekat rumah. Sekilo telur dan beberapa bungkus cemilan. Ketika kasir men-total belanjaan saya, nilainya 14 ribuan. Saya kaget, sebab sekilo telur saja sudah hampir 18 ribuan. Sampai 3x saya meminta kasir untuk mengecek kembali apakah telur sudah dimasukkan dalam perhitungan. 3x pula kasir menjawab “sudah”. Lalu saya memintanya mengecek nilainya. Dan ternyata benar, dia salah meng-input yang seharusnya 18 ribuan menjadi 1800-an. Kalau saya diam saja, saya akan dapat “potongan harga” yang terjadi bukan karena kesalahn saya. Tapi bukankah itu bukan hak saya?

Kejadian lain yang sering terjadi biasanya kesalahan kasir memberikan kembalian. Saya pernah membayar dengan uang 50-an ribu tapi mendapat kembalian sejumlah yang seharusnya plus selembar 50-an ribu, karena kasir mengira uang saya lembaran 100-an ribu. Bagaimana sikap kita? Akankah kita diam, pura-pura tak tahu? Bukankah yang salah bukan kita? Kasir itu nanti yang harus bertanggung jawab. Kita sih untung saja. Tapi, tidakkah kita merasa resah menerima apa yang bukan hak kita dan membiarkan orang lain – meski itu karena kelalaiannya – menanggung resikonya?

Marilah kita bersama menjaga kewarasan kita seperti Pak Waras. Malulah menerima apa yang bukan hak kita, takutlah pada dosa karena Tuhan pasti tahu. Marilah kita ukur kepantasan gaya hidup kita. Sekarang kita memang tidak punya pemimpin dan wakil yang bisa meneladani, tapi setidaknya kita tak jadi seburuk seperti yang mereka contohkan. Biar sajalah mereka yang di Senayan makin ngedan, kita tetap berupaya untuk selalu waras agar selamat dunia – akhirat.

Kalau saya boleh usul pada Ketua DPR, mungkin ada baiknya Pak Waras diundang ke Senayan untuk memberi pelajaran kewarasan pada 560 orang yang sudah mulai tak waras. Kalau Pak Waras yang wong cilik saja ikhlas mengembalikan Rp. 373 juta yang nyasar ke rekeningnya – meski jumlah itu bisa jadi seumur hidup baru pertama kali dia dapatkan – masak wong licik gak malu?

(sumber cerita Pak Waras: http://taganajatim1.blogspot.com/2007/08/waras-kejujuran-korban-lumpur-sidoarjo.html)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline