Lihat ke Halaman Asli

Ira Oemar

TERVERIFIKASI

Hak Istimewa Tersangka Korupsi / Suap

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nunun Nurbaetie Minta Diperiksa di Tempat yang Nyaman” itu judul topik bincang-bincang segmen pertama acara Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One pagi tadi. Ina Rachman, pengacara bu Nunun, membenarkan bahwa bu Nunun memang meminta KPK melakukan pemeriksaan terhadap dirinya di tempat yang nyaman, tenang, sepi dan aman. Tanpa menyebut tempat spesifik, mereka menyerahkan kepada KPK untuk memilih tempat yang sesuai dengan kriteria itu. Jika permintaannya dipenuhi, Nunun bersedia menjawab pertanyaan penyidik KPK dengan kooperatif.

Salah satu narasumber yang mantan hakim MA, menyarankan agar KPK menuruti saja permintaan Nunun, dengan alasan sudah pernah ada yurisprudensi, dimana seorang Ketua Umum parpol besar minta diperiksa polisi di kota kelahirannya. Yang dimaksud tentu Anas Urbaningrum, Ketum PD yang minta diperiksa di Blitar. Polisi menuruti kemauan Anas dan mengirim penyidik mereka ke Blitar, Jawa Timur, hanya untuk memintai keterangan Anas seorang.

Beberapa waktu lalu, karena merasa tak nyaman di tahan di Rutan Mako Brimob, Nazaruddin meminta kepada KPK agar memindahkan tempat penahanannya ke rutan lain asal jangan di Mako Brimob. Dan untuk permintaan tersebut, Nazar menjanjikan dirinya akan lebih kooperatif dengan KPK. Ternyata, setelah permintaannya dituruti, Nazar tetap saja tidak kooperatif dengan KPK. Sebab ukuran kooperatif itu sendiri tidak jelas. Kooperatif bagaimana yang dimaksud? Apakah sekedar mau menjawab? Atau ada jaminan bahwa jawabannya jujur?

Nazar dan Nunun keduanya sama-sama berstatus sebagai tersangka. Yang satu dalam kasus dugaan suap Wisma Atlit, yang lain kasus suap pemilihan DGS BI. Sedangkan Anas posisinya adalah sebagai pelapor atas dugaan pencemaran nama baik dirinya oleh M. Nazaruddin. Tapi ketiganya sama, sama-sama punya kesempatan untuk meminta dan menawar di mana mereka akan diperiksa atau di tahan. Untuk kasus Nazar dan Nunun, secara tersamar mereka menjadikan “kooperatif saat diperiksa” sebagai posisi tawar agar permintaan mereka dipenuhi KPK. Bukankah koperatif saat diperiksa memang sudah jadi kewajiban tersangka? Ini juga demi kepentingan mereka sendiri.

Saya yang buta hukum ini tidak tahu apakah memang ada aturan dalam Hukum Acara yang mengatur hak seorang tersangka, saksi, pelapor, untuk mengajukan syarat tempat pemeriksaan dan penahanannya? Jika hak itu memang dijamin oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tentunya hak ini berlaku umum, universal, tidak pandang bulu. Pencuri kambing di kampung sebelah, boleh saja minta diperiksa polisi di kampungnya sendiri, bukan di kampung TKP dimana ia melakukan pencurian. Seorang pelaku curanmor, boleh saja minta diperiksa di markas tukang tadah motor curian yang dijaga preman-preman bertampang seram. Dan Nenek Minah tua yang lugu – yang pada tahun 2009 lalu didakwa mencuri 3 biji kakao oleh perusahaan perkebunan coklat – boleh saja minta diperiksa di rumahnya supaya ia tak perlu berjalan jauh. Sebab katanya, untuk memenuhi panggilan pemeriksaan, Nenek Minah harus berhutang kesana kemari atau mengandalkan pemberian dan belas kasihan orang sekampung, untuk memberinya sekedar ongkos pp. Jika tak ada yang peduli, Nenek Minah terpaksa harus berjalan kaki untuk jarak yang tidak bisa dibilang dekat dibanding usianya yang renta.

Dan apakah ada hak seorang tersangka atau pelapor untuk memilih tempat pemeriksaan dan rumah tahanan favoritnya? Jika Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur hal ini, tentunya polisi dan jaksa akan kesulitan memenuhi beragam permintaan dari para tersangka. Saksi pelapor korban sedot pulsa misalnya, boleh saja ia minta polisi yang datang ke posko pengaduan sedot pulsa, atau ke kantor YLKI, karena pelapor ingin diperiksa disana. Bagaimana kalau tempat yang dipilihnya itu jauh dari wilayah hukum Kepolisian yang menangani? Siapa yang menanggung biaya transportasi dan akomodasi penyidik yang dikirim? Jika kepolisian yang menanggung, apakah memang ada alokasi dana untuk ini? Jika pelapor atau tersangka yang menanggung, sejauh mana independensi penyidik bisa dijamin?

Anas, misalnya, ia melaporkan kasus pencemaran nama baiknya kepada Kepolisian di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Alamat resmi dan tempat domisili Anas di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Tempat kerja Anas pun di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Maka sangatlah janggal jika pemeriksaan dilakukan di Blitar, di wilayah hukum Polda Jatim, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan laporan dan perkara yang dituduhkan. Jika seandainya saat itu Anas memang sedang ada urusan keluarga yang tidak bisa ditunda – misalnya menikahkan saudara, ada kerabat yang meninggal duni, menengok orang tua yang sakit – bukankah ada jalan lain yang lebih kooperatif, dengan mengajukan permohonan penundaan pemeriksaan barang 1-2 hari. Dan ini tentu tak akan berdampak merugikan kepolisian yang harus mengeluarkan dana ekstra jika pemerikasaan dipaksakan dilakukan di tempat yang jauh.

Kembali ke kasus Nunun, dimana kira-kira KPK akan memeriksanya? Pemeriksaan dan penyidikan oleh KPK sudah memiliki protap baku. Dimana ruang pemeriksaan dilengkapi dengan kamera CCTV dan alat perekam audio. Jika lokasi pemeriksaan dilakukan di lain tempat, bagaimana dengan ketersediaan alat-alat ini? Alat perekam relatif lebih mudah dibawa, tapi kamera CCTV bukankah harus diinstall dulu di tempat yang dimaksud, agar diperoleh sudut pandang yang maksimal dan memungkinkan semua aktivitas orang yang berinteraksi di ruangan itu bisa terekam kamera.

Alangkah enaknya nasib tersangka kasus korupsi, suap, gratifikasi. Padahal jenis kejahatannya dikategorikan extra ordinary crime, tapi mendapatkan perlakuan extra ordinary luxury. Keluarganya pun punya hak untuk tidak kooperatf dengan penyidik, dengan alasan keluarga dekat boleh melindungi tersangka dan tidak memberitahukan keberadaan tersangka. Sangat kontras dengan perlakuan terhadap tersangka kasus terorisme dan kasus kejahatan lainnya. Untuk kasus terorisme, baru ditetapkan sebagai terduga saja, belum tersangka, sudah boleh ditembak mati jika berupaya melarikan diri, seperti kejadian di Jawa Tengah beberapa waktu lalu.

Keluarganya pun – meski bisa jadi mereka benar-benar tidak tahu keberadaan keluarganya yang menjadi tersangka – akan ikut diseret-seret ke kepolisian untuk diperiksa. Rumahnya akan digeledah dan segala macam benda mencurigakan, meski cuma sebuah buku atau sekeping CD, akan disita. Sedangkan rumah Nazaruddin baru digeledah seteah berbulan-bulan Nazar kabur dan sudah ditangkap. Adapun Nunun, hmm…, siapa yang berani menggeledah rumah mantan Wakapolri sekaligus Anggota Dewan yang terhormat bidang Hukum pula! Bisa-bisa KPK yang dikriminalkan. Ironis sekali, jika hukum bisa mengenal hak istimewa dan privilege untuk tersangka kasus tertentu, bahkan sedari hulu : sejak masih pemeriksaan dan penahanan. Jadi mestinya kita tak perlu heran jika vonis-nya pun bisa diatur, penjara-nya pun bisa diatur. Jika proses di hulu saja sudah gak bener, mana bisa berharap hasil akhir di hilir akan sesuai aturan? Alangkah lucunya negeri ini, kata Deddy Mizwar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline