[caption id="" align="aligncenter" width="593" caption="Sekolah Laskar Pelangi, gambaran SD jaman pertengahan tahun 70an (foto : www.muvila.com)"][/caption]
"ADA YANG SALAH"
Doeloe, orang tua kita berangkat bekerja setelah matahari terbit dan sudah kembali ke rumah sebelum matahari terbenam.
Walaupun memiliki anak yang banyak, rumah dan halaman pun tetap luas, bahkan tidak sedikit ada yang memiliki kebun dan semua anak-anaknya bersekolah.
Sekarang, banyak yang berangkat kerja subuh dan sampai rumah setelah isya, tapi rumah dan tanah yang dimiliki tidak seluas rumah orang tua kita, bahkan banyak yang takut memiliki anak banyak karena takut kekurangan.
Ada yang salah dengan cara hidup orang modern.
Orangtua kita hidup tanpa banyak alat bantu, tapi tenang menjalani hidupnya.
Sementara kita yang dilengkapi dengan pampers, mesin cuci, kompor gas, HP, kendaraan, TV, email, FB, Twitter, iPad, ruangan ber AC dll., harusnya mempermudah hidup ini, tapi ternyata tidak. Sampai-sampai tidak sempat kita menikmati hidup karena semuanya dilakukan terburu-buru.
...berangkat kerja, TERBURU-BURU...
...pulang kerja, juga TERBURU-BURU...
...makan siang, TERBURU-BURU...
...dilampu merah, TERBURU-BURU...
...berdo'a pun, TERBURU-BURU...
...bahkan sholatpun, TERBURU-BURU...
Hanya mati.., yang tidak seorangpun mau TERBURU-BURU....
(broadcast BlackBerry Messenger dari teman)
=====================================================
Kemarin, saya nonton tayangan berita TV, seorang siswa Corpus Christi Catholic College di Leeds, Inggris Utara, yang dendam pada gurunya, menikam sang guru wanita berusia 61 tahun tepat di lehernya dengan pisau dapur yang sudah disiapkannya. Penikaman terjadi di dalam kelas saat pelajaran sedang berlangsung, hingga kontan menimbulkan histeria para siswa. Masih di berita yang sama, asisten guru di Atlanta, USA, menganiaya muridnya yang berkebutuhan khusus. Penganiayaan itu ketahuan karena sang guru merasa ada yang tak beres dengan siswa di kelasnya. Akhirnya ia memasang CCTV dan terekamlah perilaku kasar dan kejam kedua asistennya.
[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Dulu semua buku ajar disediakan oleh Pemerintah melalui Balai Pustaka dan dipinjamkan kepada siswa dengan gratis di semua sekolah (foto : plus.google.com)"]
[/caption]
Di Indonesia, dunia pendidikan belakangan dihebohkan kasus-kasus yang menodai lembaga pendidikan. Siswa TK JIS mengalami pelecehan dan kekerasan seksual. Kian hari, siswa yang mengaku jadi korban perilaku menyimpang makin bertambah, bahkan menurut KPAI ada indikasi oknum pengajar ikut jadi pelakunya. KPAI juga mengatakan, beberapa guru kerap mempertontonkan perilaku menyimpang dengan berciuman sesama jenis. Sungguh ironi, karena terjadi di sekolah internasional dengan bayaran puluhan juta sebulan, yang konon keamanannya terjaga sedemikian rupa, penjagaannya berlapis-lapis, hingga mirip penjara Guantanamo.
Bukan hanya siswa TK yang mengalami kekerasan, siswa dewasa pun meregang nyawa sia-sia di tangan kakak kelasnya, hanya karena dianggap kurang hormat pada senior. Siswa sebuah sekolah kedinasan, sekolah calon abdi negara, lagi-lagi jadi korban penganiayaan senior terhadap junior yang seolah sudah jadi tradisi. Lagi-lagi ironis, sebab sekolah yang seharusnya mencetak calon pelayan masyarakat, malah menunjukkan arogansi dan kesemena-menaan di kalangannya sendiri.
Beberapa hari belakangan, juga tersiar kabar seorang guru wali kelas V, menghukum 2 siswa laki-laki gara-gara tak mengerjakan PR, dengan menyuruhnya berdiri di depan kelas dalam keadaan telanjang, tentu saja disaksikan teman sekelasnya. Kejadian tak pantas itu terjadi di Kota Baturaja, OKU, Sumatera Selatan. Alasannya: sebelumnya sudah ada kesepakatan hukuman bagi murid yang tak mengerjakan PR. Ibu guru tersebut mengakui dirinya membuat semacam kesepakatan untuk membuat murid jera. Kesepakatan itu tak terjadi dengan sendirinya, ibu gurulah yang menggagas hukuman telanjang di depan kelas. Apakah si ibu guru tak berpikir bahwa siswa kelas V itu sudah ABG? Tak sepantasnya bagian tubuhnya dipertontonkan di hadapan teman sekelasnya.
Beda lagi dengan yang menimpa seorang pelajar putri berusia 14 tahun, yang kemudian tak mau sekolah karena lengan kirinya memar dicubiti teman sekelasnya. Pasalnya, ia datang terlambat saat pelajaran olahraga, hukumannya dicubit oleh teman sekelasnya – atas perintah gurunya – secara bergantian sebanyak 6 kali putaran lapangan. Untung saja ayah korban yang baru mengantar anaknya, menyaksikan peristiwa itu dan langsung lari masuk ke sekolah, meminta penganiayaan dengan cara mencubit itu dihentikan karena putrinya sudah kesakitan. Itu baru 3 kali putaran, entah kalau tak keburu dihentikan sampai 6 kali putaran, mungkin lengan anak itu terluka.
Sebelumnya lagi, sepasang remaja menganiaya hingga tewas mantan teman sekolah mereka ketika SMA, yang juga mantan pacar pelaku pria. Lewat acara “Sudut Pandang” di Metro TV yang mengangkat topik “amarah remaja berujung petaka”, saya jadi tahu bahwa kejadian remaja/ABG menganiaya temannya hingga berujung kematian hanya karena tersebab cemburu atau iri hati, bukan hanya satu saja. Ada banyak kejadian, meski tak semuanya ramai diberitakan. Innalillaahi...
Hai.., ada apa ini dengan dunia pendidikan?! Kenapa kekejaman seolah jadi “menu” yang disajikan, baik oleh guru, antarsiswa maupun pekerja di lingkungan sekolah?! Kenapa anak sekarang mudah sekali dendam, menyerang, menganiaya? Benarkah karena siswa stress dengan sekolah? Benarkah karena guru juga tertekan sehingga mereka mudah sekali menghukum siswanya dengan kejam? Adakah yang salah dengan dunia pendidikan modern saat ini?
===========================================
[caption id="attachment_322338" align="aligncenter" width="480" caption="Buku Bahasa Indonesia mulai SD kelas 1 sampai kelas 6 (foto : paksrimo.blogspot.com, asnugroho.wordpress.com, djejakmasa.blogspot.com)"]
[/caption]
Teringat akan BBM teman di atas, saya mencoba mengingat jaman saya sekolah dulu, terutama masa TK dan SD. Saya bersekolah di kota kecil, bagian timur Jawa Timur. Sebagian teman TK saya ada yang bertetangga. Kami berangkat sekolah berbarengan, naik becak beberapa anak sekaligus. Di sekolah, kami hanya bermain-main saja. Berantem sesama anak TK sudah kejadian sehari-hari, rebutan mainan atau alat tulis dan mewarna. Guru kami bak pengasuh saja. Belum lagi hampir tiap minggu ada saja anak yang tercebur di kolam depan TK yang ada air mancurnya. Guru harus sigap menyelamatkan siswa, mengeringkan tubuhnya, mengganti bajunya dengan baju inventaris sekolah, lalu menenangkannya agar berhenti menangis. Bukan pekerjaan mudah, butuh kesabaran. Setiap kali ada siswa yang hendak pipis, tinggal mengacungkan tangan sambil teriak “Bu Guru..., saya mau piiiss...!” dan ibu guru pun segera berdiri “Ayo..., siapa lagi yang mau ikut?” (maksudnya biar sekalian jalan). Ada juga siswa yang pendiam, entah pemalu atau memang sulit bicara, tahu-tahu saja air sudah mengalir dari tempat duduknya, atau bau tak enak meruak dari kursinya. Si anak mengompol atau – maaf – e’ek di celana. Dan ibu guru harus sabar menghadapi semua itu. Belakangan saya tahu, gaji guru TK itu sangat tak seberapa.
Jaman saya SD, sekolah hanya 3-4 jam sehari. Dulu masuk SD harus umur 7 tahun, maklum masih banyak anak umur 8 tahun yang belum masuk SD dan mereka harus didahulukan. Masuk SD negeri sudah cukup membanggakan. Kelas 1 dan 2 saya hanya sekolah 3 jam sehari, dari jam 7 sampai jam 10. Tak semua teman saya di kelas 1 yang sudah mahir calistung. Yang ortunya (maaf) agak kurang terdidik dan si anak tak pernah sekolah TK, bukan tak mungkin sama sekali belum kenal huruf. Guru SD-lah yang mengenalkan huruf, mengajari kami mengeja, menghitung batang-batang lidi hingga kami mahir berhitung. Saya ingat, pernah suatu kali saya dan seorang teman cowok, dipanggil guru kelas, lalu disuruh ikut guru kelas 2. Saya sempat ketakutan, tapi ibu guru kelas 2 malah menyuruh saya duduk di deretan bangku depan. Lalu ibu guru itu memanggil beberapa siswa kelas 2, bersamaan dengan saya dan teman saya, mendiktekan beberapa kalimat yang harus kami tulis di papan. Oh..., ternyata ibu guru itu ingin memotivasi beberapa siswa kelas 2 yang belum lancar menulis. Tak perlu dihukum, hanya perlu “diadu” dengan adik kelas, agar mereka malu dan latihan menulis lebih baik dan lebih cepat.
Kelas 3 dan kelas 4, saya sekolah 4 jam sehari, dari jam 1 siang sampai jam 5 sore. Masuk siang, maklum ruang kelas terbatas, jadi harus bergantian. Kelas 5 dan 6, barulah kami sekolah sampai jam 11.30. Persis di sebelah sekolah kami ada masjid jami’ terbesar di kota kami. Sebelum adzan Dhuhur, kami sudah di rumah. Apalagi kalau hari Jumat, jam 11 sudah pulang. Mata pelajaran tak banyak ragamnya, hanya Bahasa Indonesia, Matematika, IPS, IPA, PMP, olahraga, kesenian, ketrampilan. Tapi saya sama sekali tak merasa bodoh saat itu. Jangan salah, kami waktu itu sudah bisa menunjuk tempat di peta buta, sudah bisa menggambar peta Indonesia, kami mengerti siapa Sekjen PBB yang baru, siapa Presiden AS, hapal sejarah Pangeran Diponegoro, mengerti inti sari dari Pancasila dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Entah bagaimana cara guru kami mengajarkannya, yang jelas bisa tertanam di benak kami, bukan sekedar hafalan semalam.
[caption id="attachment_322339" align="aligncenter" width="196" caption="Buku IPS jaman dulu sudah memuat berbagai macam pengetahuan umum (foto : dedendeh.wordpress.com)"]
[/caption]
Saya ingat, sejak kelas 4 SD kami sudah dibiasakan menjawab soal dengan deskripsi, essay, bukan pilihan berganda. Ketika guru menerangkan bentuk bumi itu bulat, apa bukti-bukti ilmiahnya, kami harus bisa menerangkan kembali setidaknya 3 alasan. Begitupun dengan fenomena terbentuknya fosil hingga menjadi minyak bumi dan hasil tambang lainnya, semua harus dideskripsikan tahap demi tahap tanpa ada yang terlewati. Menjelaskan terjadinya gerhana matahari dan bulan, harus disertai gambarnya, jadi kami tahu betul kenapa semua itu bisa terjadi. Sebelum menerangkan tentang berat jenis, guru menyuruh kami di rumah mencampur air dengan 2-3 sendok minyak goreng, memasukkan ke botol bekas, mengocoknya dan mendiamkan selama beberapa waktu, apa yang terjadi. Dari situ kami tahu air dan minyak tak akan pernah bisa bersatu dan mana yang berat jenisnya lebih besar. Kami paham hukum Archimides, karena kami diminta untuk mencoba, sebagaimana Archimides berteriak “eureka!” saat menemukannya.
Sejak kelas 5 SD, kami dikelompokkan 4-6 orang berdasar kedekatan rumah masing-masing. Kelompok itu harus belajar bersama 2 hari sekali, mengerjakan PR bersama dan menjawab soal yang diberikan guru. Soalnya tak bisa dijawab dengan mencari di buku, tapi harus dicari jawabannya di alam. Misalnya soal “bagaimana siput berjalan?”. Kami harus mengambil seekor siput, mencari pecahan kaca – blusukan ke rumah-rumah tetangga yang sedang direnov, memungut pecahan kaca –meletakkan siput di atas pecahan kaca, lalu duduk manis sambil menunggu kapan siput itu jalan, untuk diintip. Ternyata perutnya membelah dan dengan cara itu siput merambat. Masih banyak lagi soal-soal yang diberikan guru, yang harus kami cari tahu jawabnya dari alam. Orang tua kami tak semuanya berpendidikan tinggi, jadi jangan harap ortu bisa menjawab.
Kalau melihat film Laskar Pelangi, kita tahu sekolah miskin nun di Belitong sana, sejaman dengan saya sekolah, dengan sarana yang jauh dari memadai, ternyata bisa juga memenangkan lomba cerdas cermat. Ya, seperti itu pula saya dan teman-teman seangkatan saya, meski kami sekolah di kota kecil yang tak maju, tapi kami santai saja menghadapi EBTANAS, UN-nya jaman dulu. Sama sekali Ebtanas tak bikin kami stress. Paling, 2-3 bulan sebelumnya guru-guru men-drill kami dengan soal-soal, mengingat kembali pelajaran kelas 5. Itu pun hanya 1 jam pelajaran terakhir. Tak ada kelas khusus untuk bimbel apalagi kursus privat. Guru, orang tua dan kami sendiri tak menganggap Ebtanas itu momok. Tak ada persiapan khusus, tapi Alhamdulillah kami lulus 100%.
[caption id="attachment_322340" align="aligncenter" width="259" caption="Buku Pendidikan Moral Pancasila berisi ajaran perikehidupan dan kebangsaan serta nilai-nilai moral (foto : kaskus.co.id)"]
[/caption]
Sekolah kota kecil seperti sekolah saya, atau bahkan sekolah miskin terbelakang seperti sekolah anak-anak Laskar Pelangi, juga ratusan bahkan mungkin ribuan SD Inpres jaman dulu, tetap bisa mengikuti Ebtanas tanpa banyak kesulitan. Tentu ada beberapa yang tidak lulus, tapi karena siswa itu memang kurang dibanding rekan sekelasnya. Kenapa mutu pendidikan jaman dulu lebih standar dibanding sekarang? Jawabnya sederhana: materi ajarnya standar! Buku yang dipelajari sama, terbitan Balai Pustaka, sebuah BUMN penerbitan. Sekolah kaya maupun sekolah miskin, semua pakai buku ajar yang sama, sedangkan untuk para guru disediakan “Buku Pedoman”. Di buku itu diberikan kisi-kisi bagaimana guru harus mengajarkan setiap bab di buku ajar, serta kurun waktu yang harus dilampaui setiap bab. Saya pernah baca beberapa Buku Pedoman yang dibawa Bapak, maklum Bapak saya dulu PNS di Depdikbud (dulu namanya Dep. P & K).
Kalau buku ajarnya standar, tentu saja soal-soal yang diberikan dari Sabang sampai Merauke akan bisa dijawab oleh semua siswa yang sederajat. Siswa di daerah tak perlu dicekam ketakutan akan tertinggal materi dan tak bisa menjawab, karena soal UN dibuat guru dari sekolah kota besar. Bandingkan dengan sekarang, buku ajar beragam macamnya, setiap tahun selalu ganti baru. Sekolah yang satu dengan sekolah lain beda buku yang dipakai, tergantung dengan penerbit atau distributor buku apa sekolah bekerjasama. Jangankan dengan kota lain, dengan sekolah sekota saja bisa beda buku ajarnya. Kalau bukunya saja sudah beda, materinya bermacam-macam, bagaimana mungkin berharap kualitas akan standar? Bukankah secara demografi saja sekolah di kota besar beda jauh dengan sekolah di pelosok pulau-pulau luar Jawa? Yang tentu sebaran bukunya tak sebanyak sekolah yang mudah dijangkau. Belum lagi kalau bicara “kelas” sosial sebuah sekolah, antara “sekolah elite” dengan “sekolah sulit”. So..., bagaimana mungkin bisa distandarkan?
[caption id="attachment_322341" align="aligncenter" width="343" caption="Buku Fisika SMP juga disediakan oleh Balai Pustaka (foto : asnugroho.wordpress.com)"]
[/caption]
Ini baru bicara soal mutu pelajaran dan hasilnya. Belum lagi bicara soal mutu pengajaran dan dampaknya pada siswa maupun pada guru. Makin banyak mata pelajaran, makin beragam buku ajar, makin canggih sarana belajar, dibantu dengan internet, ternyata tak membuat siswa lebih enjoy menikmati masa sekolahnya. Guru pun terbebani dengan banyak tugas dan target, akhirnya sebagian dari mereka hanya sebatas mengajar, bukan lagi mendidik.
Kalau dengan makin banyaknya pelajaran, makin beragamnya buku, makin canggihnya sarana, ternyata membuat proses belajar mengajar makin tidak nyaman, siswa dan guru makin stress, UN jadi momok menakutkan yang menyiksa psikis siswa dan membuat guru tegang karena dipatok target, berarti..., adakah yang salah dengan pendidikan modern kita? Hari Pendidikan Nasional, sepertinya harus jadi moment untuk berkaca, merenungi kembali dan menoleh ke belakang apa yang tampaknya “hilang” atau terlewatkan dari sistem pendidikan kita. Satu hal yang harus diingat oleh siapapun yang akan jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet mendatang : standarisasi itu tak bisa sekedar di tadah di hilir, tapi harus ditanam sejak di hulu-nya. Selamat Hari Pendidikan Nasional, semoga dunia pendidikan kita makin baik.
[caption id="attachment_322342" align="aligncenter" width="290" caption="Buku Biologi SMP terbitan Balai Pustaka (foto : asnugroho.wordpress.com)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H