[caption id="attachment_322820" align="aligncenter" width="624" caption="Headline kotaksuara.kompasiana.com | foto : regional.kompas.com"][/caption]
Seharusnya hari ini, 6 Mei 2014, jadi hari penentuan, dimana KPU akan resmi mengumumkan hasil penghitungan suara manual hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu. Setelah itu akan disusul dengan pengumuman resmi KPU tentang perolehan kursi DPR RI dan DPD RI masa bakti 2014-2019, pada 9 Mei 2014, Jumat pekan ini. Namun tampaknya target ini akan tak terpenuhi, tanda-tanda ke arah itu sudah tampak sejak beberapa hari lalu. KPU sudah memulai penghitungan suara manual sejak Sabtu, 26 April 2014. Sampai hari ke-6, saat libur hari buruh 1 Mei lalu, KPU baru menyelesaikan penghitungan untuk 8 propinsi. Dua hari kemudian, KPU baru menyelesaikan 10 propinsi. Dan terakhir, sampai semalam baru 12 propinsi yang disahkan. Itu artinya tiap 2 hari ada progres 2 propinsi. Padahal di Indonesia ada 34 Propinsi (termasuk Kaltara yang baru memisahkan diri dari Kaltim). Artinya, sampai pagi tadi, baru 1/3 dari seluruh propinsi di Indonesia yang sudah disahkan perolehan suaranya. Mana mungkin yang 2/3 lagi selesai dalam waktu semalam?
Sementara, di sisi lain, setiap hari kita dengar pemberitaan di berbagai daerah terjadi ricuh yang mengiringi proses penghitungan suara manual. Mulai dari insiden adu mulut, bentrok fisik antar pendukung caleg/saksi parpol, sampai pembakaran kotak suara. Tuntutan Pemilu ulang terjadi di banyak daerah. Bagaimana bisa penghitungan suara selesai tepat waktu, kalau sampai sekarang, hampir sebulan pasca Pileg, masih ada tuntutan untuk dilakukan pencoblosan ulang.
Dua episode acara ILC – tanggal 15 dan 29 April 2014 – semakin menegaskan bahwa Pileg tahun ini bisa dikatakan terburuk sepanjang sejarah Pemilu sejak Indonesia merdeka. Bahkan Pemilu pertama 1955 yang diikuti lebih dari 100 partai saja tak serumit ini. Yang membuat Pileg kali ini rumit tampaknya karena begitu besarnya kecurangan yang terjadi secara massive dan sistematik. Massive karena terjadi di hampir semua propinsi di Indonesia. Ada 2 jenis kecurangan : kecurangan sebelum Pileg dilaksanakan dan kecurangan pasca Pileg. Kecurangan pertama, biasanya dilakukan dengan cara mempengaruhi/menggiring pemilih untuk memilih caleg tertentu dengan cara memberikan uang, barang atau bantuan lainnya, yang disebut money politics. ICW mengadakan pengamatan di 15 propinsi yang dipilih, Banten menduduki peringkat teratas kasus politik uang terbanyak. Kecurangan kedua, setelah perhitungan suara di tingkat TPS selesai dan direkap di tingkat PPS (kelurahan) dan PPK (kecamatan), maka caleg yang waswas perolehan suaranya tak mencukupi untuk membuatnya terpilih, akan mencurangi penghitungan suara.
[caption id="attachment_322821" align="aligncenter" width="259" caption="Menerima serangan fajar tanpa tedeng aling-aling (foto : politik.news.viva.co.id)"]
[/caption]
MONEY POLITICS
Ketua Bawaslu, Pak Muhammad, ketika diwawancara sebuah stasiun TV pernah mengatakan sedikit sekali pengaduan money politics yang bisa di bawa ke jalur hukum. Padahal Bawaslu ingin kasus-kasus politik uang itu bisa diselesaikan secara hukum agar semua yang terlibat – baik pelaku, perantara maupun penerima – dapat diberi sanksi hukum. Lalu kenapa kasus-kasus money politics (selanjutnya saya singkat “MP”) sulit diseret ke ranah hukum? Sederhana : karena tak ada saksi, umumnya masyarakat menolak dijadikan saksi.
Apa yang disampaikan Ketua Bawaslu sangat masuk akal. Apalagi MP di Pemilu Legislatif tahun ini jauh lebih massive dan terang-terangan dibanding Pemilu periode sebelumnya. Bahkan tak jarang ada desa/kampung/komplek yang secara terbuka memasang spanduk “Menunggu dan menerima serangan fajar”. Ada pula yang bahkan mencantumkan nomor ponsel di spanduk itu. Di hari tenang Pileg, banyak sekali pemberitaan soal ini di media massa, bahkan yang nyata-nyata disorot kamera televisi. Spanduk ajakan “Terima uangnya, jangan pilih orangnya” seakan membolehkan MP dan sekaligus mengajak ngerjain calegnya.
Setiap daerah memang memiliki kekhasan tersendiri dalam menghadapi pesta demokrasi. Ada yang cuek dan menganggap hajatan politik lima tahunan tak bakal berpengaruh pada kehidupan mereka. Namun ada juga yang turut hiruk pikuk menyambutnya dengan beragam profesi dadakan. Menjadi koordinator pengerah massa bayaran, ada yang jadi peserta kampanye sewaan, ada yang jadi timses caleg-caleg sebatas memasang spanduk/poster dan menyebarkan logistik kampanye, ada juga yang “pangkat”nya lebih tinggi, yaitu perantara/penghubung antara caleg dengan warga yang akan diarahkan suaranya sekaligus mengkoordinir distribusi “serangan fajar”.
Bayangkan jika anda tinggal di daerah yang masyarakatnya menyambut dengan suka cita pesta demokrasi, bak menyambut datangnya lebaran yang akan disertai bagi-bagi angpau. Begitu memasuki hari tenang, masyarakat ramai ngerumpi kapan amplop dari para caleg bisa mereka terima. Yang sudah menerima bercerita pada tetangga dan teman-temannya, membandingkan besaran pemberian masing-masing caleg. Semua dilakukan tanpa tedeng aling-aling, tanpa rasa sungkan apalagi takut. Sementara, anda tetap dengan idealisme “MP haram hukumnya, MP adalah pelanggaran berat Pemilu yang harus dilaporkan, caleg pelakunya harus dihukum dan dibatalkan kepesertaannya dalam Pemilu”. Beranikah anda melapor pada Panwaslu setempat? Kalau pun berani, adakah yang siap untuk diajak bersaksi? Kecuali anda siap jadi martir seperti Petugas Pengawas Lapangan yang diceritakan dalam tulisan HL ini.
Ada banyak alasan kenapa orang diam saja (tidak melapor) saat melihat MP dilakukan di depan matanya, atau menolak menjadi saksi kasus MP meski mengetahui langsung. Ada yang karena sungkan, sebab dia dan keluarganya termasuk yang ikut menerima pemberian caleg. Dalam lingkungan masyarakat yang permissive terhadap MP, semua warga yang punya hak suara dihitung berhak menerima “saweran”, sehingga tak perlu lagi ditanya mau atau tidak menerima, otomatis akan diberi. Biasanya sang perantara sudah menghitung setiap rumah ada berapa orang yang perlu diberi “jatah”. Ada pula yang karena takut. Meski ia dan keluarganya menolak menerima pemberian caleg berupa apapun, namun tak berani mengadu/melaporkan karena takut diserang warga sekitar, dikucilkan, dimusuhi atau difitnah balik.
[caption id="attachment_322823" align="aligncenter" width="518" caption="Benarkah rakyat sudah cerdas jika masih melegalkan politik uang? (foto : dyahsujiati.com)"]
[/caption]
PENCURIAN DAN PENGGELEMBUNGAN SUARA
Dengan sistem pemilu yang memberlakukan daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak, seorang caleg baru bisa terpilih jika parpolnya mendapatkan kursi di dapil tempatnya bertarung dan sekaligus dirinya jadi pengumpul suara terbanyak. Karena itu, penting bagi caleg memastikan suaranya adalah yang terbanyak. Bagaimana jika suaranya sudah bisa diprediksi kalah dari caleg lain sementara si caleg ngotot dirinya harus jadi? Ada beberapa modus kecurangan yang mungkin dilakukan :
1.Jika parpolnya terancam tak mendapatkan kursi di dapil tersebut, maka caranya dengan “mencuri” perolehan suara parpol lain untuk ditambahkan ke parpolnya.
2.Jika perolehan suaranya kalah dibandingkan caleg lain separtai di dapil itu, maka mencuri suara caleg lain atau suara yang hanya mencoblos tanda gambar partai, untuk dialihkan ke suaranya.
3.Jika kasusnya sama dengan nomor 2, bisa juga dengan cara “membeli” suara caleg lain separtai dengan kesepakatan dengan caleg tersebut, untuk dialihkan menjadi suaranya.
Cara nomor 1 dan 2 rawan menyulut gugatan antar caleg, baik antar parpol maupun internal parpol. Sedangkan cara nomor 3 relatif aman dari gugat menggugat, karena caleg yang suaranya dialihkan sudah mendapat kompensasi sesuai kesepakatan. Di setiap dapil umumnya ada caleg pelengkap/pemenuh kuota. Misalnya caleg perempuan yang dipasang hanya untuk memenuhi kuota pengajuan caleg dengan komposisi 30% perempuan. Atau caleg yang dipasang parpol agar kuota jumlah caleg di dapil itu bisa terpenuhi seluruhnya. Nah, caleg pelengkap dan pemenuh kuota ini biasanya tak melakukan aktivitas pemenangan (tak pasang spanduk/poster, tak membagikan logistik kampanye seperti kaos dan atribut lainnya, tak ikut melakukan kampanye terbuka berupa panggung hiburan atau aksi simpatik lainnya). Dengan sendirinya tak ada biaya yang dikeluarkan. Jadi kalau mendapatkan suara, anggap saja itu bonus. Kalau kemudian suaranya diminta caleg lain dengan kompensasi per suara sekian rupiah, maka itu dobel bonus.
Bisa juga caleg sesungguhnya, yang sudah keluar biaya cukup banyak, tapi perolehan suaranya masih jauh. Dari pada merugi sama sekali, lebih baik suara yang diperolehnya “dijual” kepada caleg yang bersedia “membeli”. Dengan jual-beli suara, maka pengalihan suara untuk menggelembungkan perolehan suara caleg tertentu, tak akan berbuntut gugatan. Caleg yang menolak suaranya dibeli, tak ada jaminan suaranya tak dicurangi. Kalau diminta baik-baik – dengan tawar menawar harga – tak diberikan, bisa saja dicurangi sekalian.
[caption id="attachment_322824" align="aligncenter" width="580" caption="foto : rmolsumsel.com"]
[/caption]
Mereka yang keberatan suaranya dicurangi, bisa saja menggugat ke KPUD, Panwaslu bahkan sampai bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Tapi tak ada jaminan gugatannya menang, sebab pelaku pencurangan pasti sudah mempersiapkan segala hal agar tak ada lagi alat bukti. Pembakaran kantor Kelurahan/Kecamatan yang banyak terjadi akhir-akhir ini, tujuannya untuk memusnahkan kotak suara berisi formulir C1 plano asli dari TPS. Dengan dibakar, alat bukti musnah, kecurangan akan sulit ditelisik. Formulir C1 yang dipegang para saksi, dengan mudah bisa dimanipulasi. Bahkan berita di media massa, banyak beredar Form C1 berhologram, mirip yang asli. KPU memang sudah sempat men-scan formulir C1, tapi belum seluruhnya. Ini terkait kendala teknis dan demografis yang tak memungkinkan Form C1 dari TPS segera sampai di KPUD di ibukota kabupaten.
Celah inilah yang dimanfaatkan para caleg nakal. Ketika mereka sudah bisa memprediksi perolehan suaranya jauh dari memadai – hal ini sudah bisa diketahui 1-2 hari pasca pencoblosan – maka sebelum rekap penghitungan suara dilakukan di tingkatan yang lebih tinggi, buru-buru mereka mengakali, termasuk dengan melibatkan penyelenggara pemilu di PPS, PPK dan KPUD.Di beberapa daerah, ditemukan “kontrak politik hitam di atas putih” antara caleg dengan penyelenggara Pemilu. Mirisnya, oknum penyelenggara Pemilu yang juga merangkap calo penggelembung suara, ada yang sudah pernah melakukannya pada saat Pilkada di daerah tersebut. Artinya : seseorang yang punya “cacat” sebagai pelaku kecurangan, masih bisa lolos terpilih menjadi penyelenggara Pemilu.
Maka, sulit mengatakan karut marut Pemilu Legislatif salah siapa. Politik uang tak terjadi jika hanya satu pihak yang mau. Seandainyamasyarakat tegas menolak politik uang, maka caleg nakal pun tak akan bisa menyuap pemilih. Artinya : politik uang terjadi karena ada caleg yang membeli suara, sekaligus ada masyarakat yang bersedia disuap. Begitupun kecurangan penghitungan suara, bisa terjadi karena peran banyak pihak, mulai dari caleg dan tim suksesnya, penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan, saksi, dll. Karena itu KPU meminta, parpol juga ikut menertibkan dan memberi sanksi tegas kadernya yang mencurangi Pemilu. Tapi apa iya parpol mau menindak tegas kadernya yang “berjuang” dengan segala cara untuk mendapatkan kursi? Bukankah kenaikan jumlah kursi juga menguntungkan parpol?
[caption id="attachment_322826" align="aligncenter" width="518" caption="Masyarakat bahkan secara terbuka menawarkan menjadi koordinator politik uang (foto : news.detik.com)"]
[/caption]
Sudah bisa dibayangkan, seperti apa wajah parlemen – baik di pusat maupun daerah – jika banyak diantara mereka yang terpilih karena kecurangan. Mereka yang menggunakan cara haram untuk mendapatkan kursi, kelak kalau sudah duduk di kursi, akan menghalalkan segala cara. Itu pasti! Mereka yang membeli suara, menyuap penyelenggara pemilu, kalau sudah jadi akan mengembalikan modalnya.
Kini, berbagai kecurangan itu jadi penghambat rekapitulasi suara di tingkat KPU Pusat. Yang bermain curang maupun dicurangi sama-sama menginginkan Pemilu ulang atau hitung suara ulang, tergantung strategi yang sudah dijalankan. Sampai kemarin, Bawaslu masih tidak merekomendasi mundurnya pengumuman hasil rekapitulasi nasional. Namun melihat progresnya yang sangat lambat, tampaknya molornya agenda-agenda KPU itu tak bisa dihindari.
[caption id="attachment_322827" align="aligncenter" width="530" caption="foto : politik.news.viva.co.id"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H