[caption id="attachment_325081" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana Gang Dolly di siang hari (foto : wanitawanita.com)"][/caption]
Suatu siang di tahun 2000, lupa tepatnya kapan, saya diundang teman untuk menghadiri pertemuan di rumah temannya di daerah Dukuh Kupang. Pertemuan diadakan sore, diawali sholat Ashar berjamaah dan buyar jelang Maghrib. Karena saya belum pernah kesana, teman saya hanya memberi tahu angkot yang harus saya tumpangi. Jam 1.30 siang saya sudah berangkat, selain karena belum pernah kesana, saya juga harus ganti angkot 2 kali, jadi lebih baik saya berangkat lebih awal. Angkot menuju lokasi pertemuan terasa lama sekali, mungkin karena saya belum pernah kesana, jadi terasa jauh. Satu demi satu penumpang sudah turun, tinggal saya sendiri. Saya pun pindah duduk ke jok depan, di samping sopir, agar lebih mudah mencari alamat yang saya tuju.
Tiba-tiba angkot yang saya tumpangi memasuki jalan agak sempit, di kiri kanannya ada deretan rumah-rumah yang di depannya terdapat plang (papan nama) berbentuk bulat mirip tutup botol bir ukuran raksasa. Memang pada plang tersebut ada merk dan logo sebuah bir terkenal, lalu ada tulisan “WISMA .... “ (nama wisma). Sontak saya terperangah. Segera saya menegakkan badan dan menjulurkan kepala keluar jendela angkot, memandangi apa yang tersaji di hadapan saya. “Pak, maaf, ini..., tempat yang..., itu...ya?” tanya saya ragu-ragu pada sopir angkot. “Iya Mbak, baru tahu toh? Belum pernah lewat sini?” tanya si sopir. Saya menggeleng dan tak ingin banyak tanya, saya memilih memuaskan mata saya mengamati apa saja pemandangan yang ada di depan saya.
Beberapa bulan sebelumnya, Jawa Pos – koran terbesar di Jawa Timur – menyajikan laporan khusus bersambung di halaman depan bagian bawah, tentang kehidupan di komplek pelacuran Dolly yang konon katanya terbesar di Asia Tenggara. Fokus dari liputan itu lebih ke soal sirkulasi uang yang beredar di sana setiap malamnya, kemana saja setoran mengalir, bahkan Jawa Pos menyoroti pula “jabatan” Ketua RT dan RW yang disana bisa jadi rebutan mirip ajang pilkada, karena besarnya setoran yang bisa diterima tiap malam. Lipsus harian Jawa Pos itu sempat menarik perhatian saya sekaligus geleng-geleng kepala, tak percaya begitu besarnya uang mengalir dari bisnis prostitusi. Memang yang dibahas bukan uang yang dinikmati para PSK. Justru itulah menariknya, mereka yang tak ikut bekerja pun bisa ikut menikmati aliran uang dalam jumlah besar.
Dari foto-foto yang terpampang di koran Jawa Pos itulah saya punya gambaran tentang “wajah” gang Dolly. Makanya, begitu melihat pemandangan serupa – rumah-rumah dengan papan nama berlogo merk bir – saya langsung mengira ini gang Dolly. Ternyata, yang saya lewati itu bukan Dolly, melainkan gang di kawasan Jarak. Dolly lebih besar dari Jarak dan “management” pengelolaan wisma-nya lebih teratur, termasuk penentuan tarif PSK, dll. Namun kawasan Jarak tak kalah populer dengan Dolly. Kabarnya, PSK yang dianggap sudah terlalu tua untuk dipekerjakan di Dolly, akan dipindahkan ke wisma-wisma di Jarak.
Karena saya lewat di sana masih sekitar jam 2.30 siang, suasana memang relatif sepi. Saya meminta sopir angkot melambatkan laju angkotnya. Saya perhatikan, tak semua rumah berfungsi sebagai wisma. Rumah yang tak ada plang berlogo merk bir, adalah rumah tangga biasa. Posisinya sama sekali tak terpisah dari wisma-wisma bordil, berbaur jadi satu. Tak jarang rumah-rumah itu memanfaatkan halaman depan rumahnya untuk dijadikan lokasi parkir. Ada tulisan soal tarif parkir. Bahkan ada rumah yang kesannya “maksa” banget untuk buka parkir. Karena tak punya halaman, maka teras rumah dan ruang depan pun difungsikan jadi area parkir. Setidaknya, rumah-rumah tangga itu ikut menikmati cipratan rupiah dari bisnis prostitusi di sekitarnya. Ada pula yang difungsikan jadi rumah bilyar dan karaoke.
[caption id="attachment_325083" align="aligncenter" width="530" caption="Salah satu Wisma di Dolly malamm hari (www.enciety.co)"]
[/caption]
Tak terlalu lama, angkot sudah berbelok dan memasuki jalan besar, akhirnya sampailah saya di tujuan. Tapi pikiran saya masih ke gang lokalisasi tadi. Jelang maghrib, acara berakhir dan kami bersiap untuk sholat maghrib. Usai sholat maghrib, kami pun pulang. Kali ini saya antusias sekali ingin segera melewati gang di Jarak yang saya lewati siang harinya. Baru sekitar jam 6.30 petang ketika angkot yang saya tumpangi melewati kawasan itu. Kali ini pandangan saya tak sebebas tadi, sebab penumpang angkot cukup banyak. Malam sudah mulai temaram, deretan wisma itu mulai diterangi lampu-lampu, apalagi rumah karaoke, lampunya warna-warni berpendaran. Sempat saya lihat beberapa wisma yang bagian depannya kaca, di dalamnya ada beberapa wanita berbaju terbuka dengan dandanan menor, duduk-duduk seperti menunggu pelanggan. Mereka bak manequin yang dipajang di etalase toko baju saja. Bedanya : mereka bisa mengobrol dengan rekannya atau sambil merokok. Bising suara musik dari wisma dan rumah karaoke di gang itu seakan menderu mengiri angkot yang lewat. Karena penumpang penuh, sopir angkot mempercepat lajunya dan sebentar saja kami sudah melewati kawasan itu. Sejak saat itu, saya belum pernah lewat kawasan lokalisasi lagi, sampai kini rencananya kawasan Dolly dan Jarak akan ditutup bulan depan.
=======================================
Dolly dan Jarak memang gemerlap oleh kilauan lampu warna-warni dan meriah dengan hingar bingarnya musik berirama disco dangdut yang diputar sepanjang malam. Namun, apakah kehidupan para PSK disana juga segemerlap dan semeriah itu pula? Tampaknya tak seindah itu. Para PSK yang setiap hari “dipajang” di balik kaca wisma dengan dandanan menor itu sudah ditetapkan bandrol harganya oleh mucikari/pemilik wisma. Dari bandrol harga itu, PSK hanya mendapat 30% saja dari tarif yang ditetapkan. Seorang PSK yang usia masih 30 tahunan, tarifnya bisa Rp. 200.000,00 sekali booking dengan rincian “main” selama 1 jam plus 2 kali karaoke. Dari tarif itu, ia hanya mengantongi uang Rp. 60.000,00 saja (30% dari Rp. 200 ribu). Yang 10% untuk makelar yang mencarikan pelanggann di depan wisma, mirip calo yang berteriak-teriak menawarkan angkot di terminal, makelar ini tugasnya menggiring tamu yang lewat untuk masuk dan mampir ke dalam wisma. Yang 60% untuk pengelola wisma/mucikari.
Lalu, uang Rp. 60 ribu itu untuk si Mbak PSK semua? TIDAK! Si Mbak PSK masih harus menyisihkan untuk membayar tukang cuci yang mencuci sprei dan baju yang dipakainya melayani pelanggan. Belum lagi membeli make up, baju-baju dan tak lupa jamu-jamuan. Tiap hari bekerja melayani banyak lelaki tanpa libur, mereka harus bisa menjaga stamina fisiknya. Karenanya, minimal 2 hari sekali mereka minum jamu-jamuan. Dan semua anggaran untuk menjaga kebugaran, perawatan tubuh dan memoles diri harus disisihkan dari 30% yang menjadi jatahnya. Itu sebabnya di acara Mata Najwa, Bu Risma – Walikota Surabaya – pernah cerita ada PSK yang sudah udzur, sudah umur 60 tahun tapi tetap melayani anak SD–SMP dengan bayaran 1.000–2.000 rupiah saja, supaya tetap bertahan hidup. Kemana uangnya selama jadi PSK? Habis untuk pembeli make up, baju, dll. Artinya, dengan prosentase bagi hasil yang minim, mereka dituntut tampil menarik.
Mereka harus bekerja setiap hari, 7 hari dalam seminggu, sebab tak bekerja berarti tak ada uang masuk hari itu. Mereka baru bisa istirahat kalau wisma sudah tutup sekitar jam 4 pagi. Sehari seorang PSK bisa melayani 5 – 7 pelanggan, kalau sedang rame, misalnya week end, bisa 10 – 13 lelaki yang dilayani. Bayangkan, betapa lelahnya fisik mereka dalam sehari semalam melayani banyak lelaki bergantian, yang tentu menguras energi fisik dan melibatkan emosi.
[caption id="attachment_325085" align="aligncenter" width="600" caption="para PSK (foto : forum.detik.com)"]
[/caption]
Sekali waktu teman saya cerita, dia punya tukang pijat langganan, sudah STW (setengah tuwek). Ibu tukang pijat itu sudah lama ditinggal suaminya dan harus menghidupi anak-anaknya. Karenanya ibu itu pernah bekerja di lokalisasi pelacuran di Surabaya. Sambil memijat, si ibu kerap cerita masa lalunya ketika jadi PSK. Nyaris tak ada sukanya, selalu penuh duka. Suka itu hanya soal uang semata. Kalau dapat pelanggan yang kasar, dia tak bisa menolak, alasannya : sudah dibayar dimuka, jadi harus mau melayani. Bukan sekali dua kali dia ketemu masokis seperti itu, toh semua perilaku itu harus diterimanya. Disakiti dan disiksa fisiknya demi kepuasan si penderita kelainan seks yang baru merasa puas jika lawan “main”nya kesakitan, sudah sering dialaminya. Kadang, dia sebenarnya sudah capek dan ingin istirahat, tak ingin lagi melayani tamu. Tapi apa boleh buat, demi kejar setoran ke mucikari, dia harus tetap melayani. Meski fisik sudah lungkrah, batin sudah lelah, mood sudah tak ada. Syukurlah, akhirnya dia bisa juga keluar dari pekerjaan itu dan meyakini bahwa tetap akan ada rejeki yang bisa dicari dengan cara lain, meski tak sebanyak uang yang didapat dari melacurkan diri.
Seminggu lalu, saya baca kisah seorang PSK di Dolly, yang terpaksa masuk ke sana karena merasa tak ada alternatif lain. Dia tak punya kemampuan dan ketrampilan apapun, sementara ada anak yang harus dihidupi dan orang tua yang harus ditanggung. Dolly terpaksa jadi tujuannya, meski selama melacur disana dia sebenarnya galau. Uang yang bisa dikirim ke kampung lumayan banyak ketimbang bekerja di pabrik. Tapi entah kenapa ia ingin hidup normal seperti perempuan lain pada umumnya. Tiap hari, ia kerap nongkrong di warung kopi depan wisma tempatnya bernaung. Pemilik warung sering mengajaknya ngobrol, mendengarkan curhatnya, sampai akhirnya si pemilik warung menyatakan niatnya untuk menikahi si Mbak PSK itu. Kaget ada lelaki yang mau menerimanya apa adanya dan mau menikahinya, ia pun langsung menerima lamaran itu. Mereka kemudian menikah, pemilik warung kopi tak lagi berjualan di komplek Dolly. Keduanya kini jualan es di pinggir jalan, es buah, es campur. Suami – istri bahu membahu melayani pembeli es. Istri yang meracik buah-buahan, suami yang membungkus. Begitu sehari-harinya, sebuah kehidupan sederhana, tidak muluk-muluk. Tiap hari harus kerja keras menjemput rejeki di pinggir jalan, menunggu pembeli es. Hasilnya tak menentu dan tidak banyak. Tapi Tuhan selalu memberi rejeki yang cukup untuk hambaNYA.
Si (mantan) PSK sebenarnya tak punya impian muluk. Tak berharap kerja kantoran di ruang ber-AC, tak berharap duduk manis di meja kasir restoran gede. Tak memimpikan lelaki tajir jadi suami. Dia – dan mungkin ratusan bahkan ribuan rekan seprofesinya – hanya ingin bisa hidup normal, asal ada penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tak perlu besar, asal hati tentram dan tak perlu lari dari kenyataan dan menghindar dari tatapan sinis masyarakat yang memandangnya jijik. Tak ada PSK yang menginginkan profesi ini dilakoni selamanya, tak ada PSK yang seumur hidup ingin menjual tubuhnya. Bukan seperti PNS yang ingin mengabdi sampai pensiun. Mereka sebenarnya juga ingin “mentas” dari lembah nista. Mereka juga ingin hidup normal di tengah masyarakat.
[caption id="attachment_325086" align="aligncenter" width="624" caption="Salah satu wisma di Dolly (foto : regional.kompas.com)"]
[/caption]
Apalagi profesi PSK bukan pekerjaan yang masa kerjanya dihargai untuk meniti jalur karir. Bisnis prostitusi adalah bisnis jualan tubuh manusia, yang selalu menuntut kebaruan. Sama seperti bisnis fashion, harus selalu ada stock baru yang up to date. Begitu pun di bisnis prostitusi, wajah baru, “barang” baru harus selalu tersedia demi memberi pilihan pada pelanggan. Karena itu, gadis-gadis dari kampung pun direkrut, ditawari “pekerjaan”, diiming-imingi gaji tinggi, tak tahunya dibawa ke lokalisasi. Jasa pencari gadis dari kampung untuk dibawa ke wisma lokalisasi, modus kerjanya mirip perusahaan penyalur TKW illegal, yang datang ke desa-desa, membidik targetnya, lalu dibawa ke komplek lokalisasi dan diserahkan ke pemilik wisma. Tentu saja calo pencari ini akan mendapat fee dari pemilik wisma, yang kelak harus dikembalikan, itu sebabnya PSK hanya mendapat bagian 30% saja, sebab ongkos membawanya ke kota tidaklah gratis.
Barang baru biasanya diberi bandrol harga lebih mahal ketimbang stock lama. Karena tak semua PSK masuk ke lokalisasi dengan kesadaran dan kemauan sendiri, maka mereka yang terjebak disana karena women traficking juga tak mudah untuk keluar. Terjebak disana tak bisa apa-apa lagi, terpaksa melayani. Mau lari tak berani, mucikari dan bodyguard sewaannya selalu mengawasi. Bisnis prostitusi pasti tak jauh-jauh dari premanisme dan jasa tukang pukul. Apalagi uang saku sudah tak ada lagi, sementara biaya hidup sejak tiba dari desa, sudah dihitung oleh pemilik wisma. Karenanya, untuk bertahan hidup dia harus “bekerja”.
Meski ada yang bekerja penuh keterpaksaan karena sudah terjebak, namun ada pula yang kemudian menikmatinya karena sudah kepalang basah. Betapa tidak, sebagai barang baru ia dipatok dengan tarif yang lebih mahal. Segera saja jadi primadona wisma, pilihan para pelanggan. Uang dan tips pun mengalir deras. Disinilah ia mulai merasakan enaknya mendapatkan uang banyak dengan mudah. Semua yang di desa dulu tak terbeli, kini bisa dibelinya : gadget, perhiasan, baju bagus, aksesori. Mereka yang tadinya polos pun segera “kepincut” uang, tak sadar bahwa dirinya dieksploitasi mucikari. Belum ‘ngeh’ bahwa laris manis dirinya justru mendatangkan keuntungan bagi mucikari dan pemilik wisma. Tahun-tahun ke depan, dia akan segera layu dan jadi PSK yang tarifnya biasa saja. Namun, sekali lagi, sudah terlanjur berkubang. Sampai kapan? Ketika sadar, mereka merasa sudah tak bisa bangkit lagi, sudah tak ada yang mau menerima jadi istri dan perempuan baik-baik.
[caption id="attachment_325087" align="aligncenter" width="630" caption="Wisma di Dolly (foto : www.lensaindonesia.com)"]
[/caption]
Ibarat lingkaran setan, kalau tak segera diputus, akan terus membelit. Karenanya, mengentaskan mereka keluar dari kubangan bisnis nista, itu pilihan paling tepat. Mereka harus diyakinkan bahwa masih ada jalan lain mencari nafkah yang “normal”. Mereka harus dibekali agar bisa mandiri dan percaya bahwa rejeki bukan hanya di lembah prostitusi. Jangan dulu bicara moral apalagi agama. Mereka juga tahu kok kalau yang mereka kerjakan itu dosa. Buktinya mereka juga tak mau keluarga dan tetangganya di kampung tahu kalau di kota mereka melacurkan diri. Tak usah diceramahi berbusa-busa soal surga dan neraka, mereka hanya perlu diyakinkan : ada jalan lain untuk bertahan hidup, mari mencoba jalan lain itu. Setelah kegelapan ada jalan menuju cahaya. Setelah kesulitan, akan selalu ada kemudahan, selama masih mau berusaha.
Karena itu, upaya untuk mengentaskan mereka dengan jalan memberikan pelatihan ketrampilan, membekali dengan pengetahuan wirausaha, memotivasi mereka, memberikan modal kerja agar bisa bekerja lebih baik sambil diberikan pendampingan, patut didukung. Bukan justru menolak penutupan lokalisasi dengan alasan para pemilik wisma, para mucikari dan beragam profesi lainnya yang meraup penghasilan dari berjualan tubuh para PSK, bakal kehilangan penghasilan. Bisnis prostitusi memang menggiurkan, ratusan juta bahkan milyaran rupiha mengalir dalam semalam. Namun sayangnya, para PSK justru berada di dasar piramida yang paling tak diuntungkan. Bekerja tanpa perlindungan, menanggung semua resiko, termasuk resiko hamil dan terpapar virus HIV/AIDS. Sementara, yang menangguk untung dari pekerjaannya begitu banyak. Ini hidup wanita si kupu-kupu malam, bekerja bertaruh seluruh jiwa raga...
[caption id="attachment_325088" align="aligncenter" width="620" caption="Coba lihat, anak kecil pun dieksploitasi untuk menolak penutupan Dolly (foto : www.tempo.co)"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H