Lihat ke Halaman Asli

Ira Oemar

TERVERIFIKASI

Bocah Cilik ini Menderita Kecanduan Seks Akibat Tinggal di Lokalisasi

Diperbarui: 4 April 2017   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14074933971218694255

[caption id="attachment_351875" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/kurator (Shutterstock)"][/caption]

Sudah banyak dibahas apa dampak dan ekses negatif lokalisasi pelacuran yang bercampur baur dengan perkampungan warga biasa, dimana banyak anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang sehari-hari tinggal dan beraktivitas di sekitar lokalisasi. Dampak paling “ringan” mungkin terganggunya waktu belajar anak-anak. Sebab aktivitas lokalisasi dimulai sejak petang hari hingga dini hari, dimana pada petang dan malam hari anak-anak butuh ketenangan untuk belajar, menghafal dan beristirahat. Sedangkan lokalisasi tak mungkin sepi dari dentuman musik hingar bingar, suara-suara orang mabuk, pertikaian, dll. Itu sebabnya, anak-anak warga sekitar umumnya sudah terbiasa kelayapan hingga larut malam dan bergadang, sejak usia dini.

Bukan itu saja, perilaku keseharian anak-anak di sekitar lokalisasi pun umumnya terpengaruh gaya orang-orang di lokalisasi. Saya banyak dapat cerita dari teman-teman yang berinteraksi dengan anak-anak yang tinggal di seputaran Dolly dan Jarak. Mereka terbiasa dengan gaya mengisap rokok dan menenggak miras dari botol. Bahkan anak-anak kecil yang minum soft drink pun, mengajak teman-temannya seolah mereka akan pesta miras : “ayo rek..., awak dewe omben-omben!” (ayo teman, kita minum-minum; maksudnya minum miras), sambil tangannya mengangkat botol minuman ringan lalu menenggaknya bak gaya menenggak miras. Bocah-bocah perempuan, juga terbiasa berperilaku genit.

Menurut teman yang mengajarkan mengaji pada anak-anak di gang Dolly, anak-anak itu biasa melihat ibu mereka keluar masuk kamar melayani pelanggan. Teman lain yang aktif membacakan cerita untuk anak-anak disana, mengatakan bahwa anak-anak kecil itu sudah terbiasa “mendengar” bagaimana ibunya melayani pelanggan. Karena memang kondisinya tidak memungkinkan anak-anak itu terpisah atau setidaknya ada area khusus untuk anak-anak. Wisma (rumah bordil) biasanya terdiri dari banyak kamar, tiap kamar dihuni oleh seorang PSK. Kamar-kamar itu sendiri berdempetan, hanya disekat tembok tipis saja. Anak-anak juga tinggal di wisma itu.

Salah satu stasiun TV swasta ketika sedang ramai issu penutupan lokalisasi Dolly pertengahan Juni lalu, menayangkan foto seorang bocah perempuan cilik – mungkin masih balita bahkan batita – yang tertidur pulas di atas sofa di sebuah lobby wisma, sementara di sekitarnya ada seorang PSK yang tampak membelakangi kamera, mungkin sedang bertransaksi memesan minuman atau apa, melalui ruangan berbatas kaca. Foto itu diambil oleh seorang akademisi sebuah PTN di Surabaya, yang melakukan penelitian untuk keperluan thesis dan dilanjutkan disertasinya, yang mengambil obyek penelitian 50 lokalisasi, termasuk Dolly. Peneliti tersebut menjadi narasumber di acara itu, dia mengatakan foto itu sangat menyentuh baginya, diambil sekitar jam 2 dini hari, ketika aktivitas di wisma lokalisasi belum usai sementara si bocah cilik itu sudah mengantuk.

Tak mungkin bocah itu tidur di kamarnya, sebab mungkin saja kamarnya – kamar jatah ibunya – sedang dipakai melayani lelaki hidung belang. Selama menunggu wisma tutup, ia “diletakkan” dimana saja, termasuk di sofa lobby – yang mirip ruang pamer tempat para PSK mejeng menunggu dipilih pelanggan – bahkan tertidur pun disitu. Anak seusianya mungkin harus dininabobokan dulu, dibacakan cerita, didekap dan dibelai ibunya, sampai ia merasa aman dan nyaman untuk tidur. Sedangkan bocah cilik yang hidup di lokalisasi, pengantar tidurnya adalah hingar bingar musik, asap rokok, denting botol miras beradu dengan gelas, derai tawa genit para PSK dan suara-suara para preman centeng wisma serta lelaki hidung belang yang datang dan pergi. Entah mimpi apa yang mengiringi malam-malam bocah yang sehari-hari hidup di lokalisasi.

KECANDUAN SEKS DI USIA 8 TAHUN

Ada kisah miris yang tersisa dari penutupan lokalisasi Dolly pada Juni lalu. Sebut saja namanya Ayu, bocah cilik ini dibesarkan di lokalisasi. Kini di usianya yang baru 8 tahun, Ayu mengidap ketergantungan dan kecanduan seks yang cukup hebat. Selama 3 bulan terakhir, Ayu ditangani secara khusus oleh psikiater. Untuk menjalani terapi setiap hari, Ayu ditempatkan di selter khusus, termasuk juga metode hipnoterapi untuk menangani trauma yang dideritanya.

Bocah SD itu tidak bisa menahan nafsu birahi bila bertemu kaum pria. Bahkan psikolog pria yang hendak memeriksa Ayu, malah digodanya dengan cara dipegang-pegang tubuhnya. Perilaku menyimpang Ayu itu membuat orang normal geleng-geleng kepala. Sejak kejadian itu, Pemkot Surabaya tidak lagi mendatangkan psikolog pria. Ayu hanya boleh ditangani psikolog perempuan, bahkan kini juga dibantu psikiater. Ibu Risma, Walikota Surabaya, hanya memperkenankan wartawati untuk mewawancarai Ayu dengan ditemani penjaga. Bahkan Ibu Risma pun ikut terlibat dalam obrolan di shelter khusus itu. Ibu Risma sempat ditanya oleh Ayu : “Bu Wali kok ndak pakai ini (sambil memegang bibir) dan ini (sambil memegang bulu mata)?” Maksudnya : kenapa Ibu Walikota tak memakai lipstick dan mascara. Hal itu kontan membuat Ibu Risma kaget, anak sekecil itu sudah bisa menanyakan dandanan. Apalagi, ternyata Ayu sudah memakai mascara. Mungkin bagi Ayu yang sehari-hari terbiasa melihat PSK berdandan menor, memakai gincu, bedak tebal, mascara dll adalah keniscayaan yang wajib dipakai setiap wanita.



Ibunya Ayu sudah malang melintang jadi PSK di berbagai lokalisasi di Surabaya, mulai Dolly, Jarak, hingga Moroseneng. Sejak kecil Ayu tinggal bersama ibunya dan melihat langsung saat ibunya melayani pria hidung belang. Jika psikolog Elly Risman pernah mengatakan bahwa seseorang yang terbiasa melihat gambar/foto/video porno, maka otaknya akan mengalami kerusakan. Makin muda seseorang kecanduan pornografi, makin parah kerusakan otaknya. Nah, bayangkan jika anak seperti Ayu yang sejak batita sudah melihat langsung adegan-adegan mesum yang belum saatnya dilihat bocah seusianya, tentu kerusakan otaknya lebih hebat lagi dan efek kecanduan yang dideritanya pun tak kalah hebat. Entah sampai berapa lama Ayu bisa pulih dan berperilaku normal layaknya anak seusia dia pada umumnya.

Ayu tak malu mengakui ia punya 5 orang pacar. Tentu pacar Ayu bukan anak kecil, melainkan pria dewasa, mulai dari tukang becak hingga pekerja biasa. Ayu kerap diajak menenggak miras, termasuk miras oplosan jenis cukrik hingga bir hitam. Menurut penuturan Ayu, rasanya sakit di perut dan leher, bagaikan disilet-silet. Kalau sudah begini, tentu secara medis pun Ayu butuh pengobatan. Sebab bisa jadi saluran cernanya juga sudah bermasalah. Sebab pria dewasa yang terbiasa meminum miras oplosan saja pasti akan berdampak pada ginjal, paru-paru dan jantungnya. Apalagi anak sekecil Ayu. Entah sudah sejak usia berapa kerongkongan dan perutnya dipaksa mengenal miras oplosan. Kasihan sekali anak ini, derita lahir batin yang menderanya, meski ia tak paham bahwa itu sebetulnya penderitaan. Ayu kecil tak mengerti, bahwa perilakunya menyimpang. Ayu cilik tak paham bahwa anak seusianya seharusnya masih polos dan lugu. Tega sekali lelaki dewasa yang memacari Ayu. Paedofili kah mereka? Baikkah mereka memperlakukan Ayu? Atau bahkan tega memaksa Ayu menuruti semua keinginannya demi nafsunya? Singa sekalipun tak akan membunuh anaknya, namun ibu Ayu, tanpa disadari telah merenggut masa depan Ayu. Semoga saja Ayu kecil masih bisa disembuhkan dan bisa hidup normal dan mendapatkan pendidikan yang layak.

TERJERAT KASUS HUKUM DI USIA 13 TAHUN

Gadis cilik lainnya adalah Cantik – sebut saja begitu – umurnya baru 13 tahun, namun telah berprofesi sebagai pemandu karaoke di komplek lokalisasi Moroseneng. Karena profesinya, Cantik dipaksa untuk mengkonsumsi sabu-sabu. Karena sudah agak besar, Cantik relatif lebih bisa menceritakan kondisi yang menimpanya kepada Ibu Risma. Cantik dipaksa bekerja di karaoke karena dia butuh uang untuk biaya sekolah. Cantik tinggal bersama ibunya sejak kedua orang tuanya bercerai. Bekerja di tempat karaoke membuat Cantik tak bisa menolak perintah pemiliknya. Ia dipaksa ikut pesta sabu-sabu sebanyak 4 kali, di bawah ancaman. Bahkan kini Cantik terjerat kasus narkoba dan sedang menjalani proses hukum di pengadilan. Cantik mengaku kapok dan tak tahan bekerja di tempat karaoke lagi.

Kalau dipikir secara matematis, memang tak masuk akal jika ibunya Cantik yang berprofesi sebagai PSK tak mampu menyekolahkan anaknya. Sebab, seperti kita tahu, para PSK yang diwawancarai media massa umumnya mengatakan pendapatan bersih mereka setiap bulan rata-rata Rp. 12 – 15 juta rupiah. Bahkan dalam kondisi sepi pun mereka masih bisa mengantongi Rp. 9 jutaan sebulan. Untuk wilayah Surabaya yang standar biaya hidupnya tak semahal Jakarta, pendapatan sebanyak itu setara dengan gaji manajer madya. Umumnya mereka berasal dari luar kota Surabaya (PSK Dolly – Jarak, hanya 5% saja yang warga Surabaya), sehingga mereka mengirim biaya untuk keluarganya di kampung. Anggap saja biaya hidup di kampung untuk orang tua dan anak mereka sekitar 3-4 jutaan. Bukankah masih tersisa cukup banyak untuk ditabung? Semestinya mereka bisa membeli asset untuk dipakai jadi modal usaha. Namun faktanya, para PSK itu sampai berumur di atas 40an tahun pun tetap saja menjadi PSK dan tetap tak punya tabungan. Anak-anak mereka pun sekolahnya ala kadarnya, tak sebanding dengan besarnya penghasilan PSK, setara dengan manajer madya yang mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah bagus.

Terlepas dari “barokah” tidaknya rejeki yang menentukan cukup atau tidaknya, namun dari pengamatan akademisi yang telah meneliti perilaku para PSK di 50-an lokalisasi, ia mengatakan umumnya para PSK itu punya pacar. Jadi, penghasilannya dari hasil jual diri, banyak habis untuk pacaran, bahkan katanya terkadang mengirim uang untuk keluarga di kampung kalah prioritasnya dengan memberi uang pada pacar. Nah, bisa jadi si Cantik yang tinggal bersama ibunya yang jadi PSK, tetap harus bekerja di rumah karaoke bila ingin sekolah, sebab penghasilan ibunya ludes untuk membeli dandanan, pacaran, dll. Bandingkan dengan seorang tukang becak yang penghasilannya hanya beberapa puluh ribu perhari ditambah honor sebagai petugas kebersihan sekolah yang hanya beberapa ratus ribu, namun mampu membiayai kuliah putrinya hingga jadi wisudawan terbaik. Faktor berkah tidaknya rejeki, itulah yang tak mau dipahami oleh para PSK yang ngotot tak mau keluar dari profesinya dan tak mau memulai hidup baru dengan jalan lain. Sebab mereka selalu berpegang pada nilai nominal belasan juta setiap bulan. Mereka tak lagi berpikir, bahwa masa depan anak-anak yang tinggal bersama mereka di lokalisasi, telah dirusaknya. Jadi, untuk apa dan untuk siapa sebenarnya mereka bekerja mencari uang belasan juta rupiah setiap bulan jika harus menjerumuskan darah dagingnya sendir?

Anak-anak seperti Ayu dan Cantik di luar sana mungkin masih ada. Bu Risma bahkan khawatir masih banyak anak-anak bernasib seperti itu di bekas lokalisasi. Beruntung Ayu dan Cantik ditemukan Pemkot sehingga mereka bisa direhabilitasi, diterapi. Semoga masih ada secercah harapan bagi mereka. Bagaimanapun, kedua bocah itu tak berdosa. Orang dewasa yang menjerumuskan dan memperalat mereka itulah yang keterlaluan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline