Satu studi yang pernah dilakukan di Indoensia mengungkapkan bahwa reformasi yang pernah kita alami punya dua sisi mata uang. Pertama adalah keterbukaan atas banyak hal di Indonesia, yang sebelumnya tidak pernah terjadi, termasuk keterbukaan informasi. Hal ini terjad, sebagian karena pengaruh teknologi, sebagian karena tuntutan zaman. Waktu itu kita melihat banyak negara-negara di dunia juga mengalami hal serupa.
Sisi yang lain adanya reformasi adalah sisi gelap berupa fenomena masyarakat madani yang intoleran. Dalam istilah populer masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya (beradab /punya adab). Tapi sayangnya adab yang berkembang sejak reformasi adalah adab intoleran.
Sebenarnya sangat sulit dimengerti bagaimana masyarakat yang majemuk dan toleran serta banyak dipuji oleh banyak negara soal pengelolaan kemajemukan, berkembang menjadi masyarakat yang intoleran. Ini tak lepas dari pengaruh para panutan yang memberikan penafsiran yang salah soal ajaran, jihad dll. Kita bisa melihat dan membaca, bagaimana seorang dosen memiliki puluhan bom panci dan memperkerjakan banyak orang untuk merakitnya. Mereka berencana untuk meledakkannya saat sebuah acara di jakarta.
Lalu kita juga membaca penelitian yang memaparkan banyaknya pondok pesantren dan para karyawan di beberapa kantor yang terpapar intoleransi dan radikalisme. Mereka ada karena ada panutan yang mengajarkan itu atau setidaknya mentolelir adab intoleran itu. Tak berhenti sampai di situ. Dunia pendidikan adalah bidang yang tak luput dari pengaruh intoleran ini. Sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai perguruan tinggi. Faktor guru ikut andi dalam memberikan ruang bagi intoleransui. Beberapa ekstra kulikuler juga turut mempengaruhi para mahasiswa atau siswa; kita bisa membaca anek berita soal ini di media sosial maupun di media massa.
Seringkali para panutan ini memulai pengajaran soal intoleransi dengan berdalih untuk menjaga moralitas umat serta menjaga Islam dari hal-hal yang dianggap menyimpang dan sesat. Namun kemudian kita menemukan bahwa penafsiran soal "menjaga" itu terlalu jauh bahkan mencederai ajaran agama itu sendiri. Organisasi Masyarakat seperti HTI yang sudah dibubarkan pemerintah berusaha untuk menjaga keyakinan soal pentingnya syariat Islam dan adanya khilafah Islamiyah dengan mempengaruhi generasi muda.
Mungkin kini kita perlu tokoh sosok seperti Gus Dur atau Nurcholish Madjid yang dengan telaten dan rajin merawat pluralisme dari level tokoh sampai akar rumput. Semoga banyak pihak mulai sadar akan penafisran yang tepat soal agama sehingga kita bisa merawat bangsa kita dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H