Lihat ke Halaman Asli

Sri Ken

Swasta

Membentengi Anak dari Virus Radikalisme di Medsos

Diperbarui: 6 Oktober 2023   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BPIP

Era media baru menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan guru. Di era kekinian, banyak informasi yang bisa masuk dalam pikiran anak-anak melalui konten-konten di internet. Tentu saja, menyaring informasi yang sedemikian beragam adalah hal yang sulit bagi remaja maupun anak-anak. Mereka yang cara berpikirnya, insting membedakan baik buruknya, belum terlalu mapan, dapat dengan mudah terpapar narasi-narasi yang membanjiri dunia maya.

Tak ayal, berita di media massa tentang anak dan remaja yang "salah jalan" berseliweran. Remaja yang melakukan kekerasan, anak yang mencoba bunuh diri, hingga isu seksualitas yang melanggar batas, kerap dipicu dari tontonan di internet.

Betapa tidak, tiap orang bisa mengakses sebuah media sosial yang jika diketik "seks", "bacok", "depresi" pada kolom pencariannya, konten-konten video berbau tiga terminologi itu segera muncul dengan mudahnya. Bahkan tanpa sensor! Banyak platform media sosial yang liar namun secara faktual tersedia bebas di hadapan.

Mencegah remaja dan anak-anak untuk tidak mengakses internet sama sekali menjadi hal yang serba rumit. Apalagi, sempat ada era di mana belajar memang dilakukan dari rumah via internet. Saat ini mereka sudah terlanjur akrab dengan dunia dalam jaringan.

Salah satu isu yang menjadi momok di media sosial adalah radikalisme yang berujung pada kekerasan. Tidak sedikit game online yang dimainkan secara bersama, kerap disebut "mabar" atau main bareng, yang berisi adegan peperangan. Mereka yang diperangi dianggap berstatus penjahat atau teroris.

Dandanan para teroris ini merujuk pada agama atau etnis tertentu. Gambaran semacam ini bisa masuk ke alam bawah sadar anak dan remaja. Sehingga mereka menganggap agama atau etnis tertentu itu teroris dan radikal. Padahal, meludah ke langit, justru mereka yang terancam virus radikalisme dan chauvinisme.

Contoh lain adalah dengan maraknya konten kekerasan di media sosial yang sifatnya intimidatif pada kelompok tertentu. Entah kelompok sosial, politik, maupun gerakan tertentu. Ujaran kebencian maupun fitnah yang beterbangan bisa menjadi ranjau bagi anak dan remaja yang mungkin secara tidak sengaja membuka tautan atau mengonsumsi konten tersebut.

Fenomena ini sudah menjadi lumrah pada zaman sekarang. Oleh sebab itu, orang tua dan guru mesti lihai dalam memberikan penjelasan. Segala kemungkinan mesti telah dibaca sedini mungkin.

Orang tua dan guru tidak boleh ketinggalan informasi. Mereka harus selalu mengingatkan anak dan remaja agar mewaspadai pengaruh-pengaruh buruk internet. Dengan demikian, sensor anak dan remaja dalam menyaring informasi menjadi lebih peka.

Tugas orang tua dan guru memang tidak mudah. Mereka adalah ujung tombak menciptakan generasi unggul bagi kemajuan bangsa. Tanpa komitmen yang kuat, bibit unggul yang dimiliki Indonesia tidak akan bisa tumbuh dengan baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline