Lihat ke Halaman Asli

Sri Ken

Swasta

Belajar dari Madiba

Diperbarui: 4 Maret 2018   05:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

merdeka

Ketika kita telah mengetahui kebenaran, maka kita dapat mulai meninggalkan masa lalu, melupakannya dan melangkah menuju masa depan yang damai - Madiba

Madiba adalah pahlawan. Ia banyak berbuat bagi negaranya -- Afrika Selatan dan dunia. Tak heran, mantan presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama memujanya;  menjadikannya panutan. Madiba adalah Nelson Mandela.  Ayahnya membabtisnya dengan nama Rolihlahla pada Juli 1918 dan kemudian banyak orang memanggilnya dengan Madiba -- yang merupakan nama marga.

Petikan kalimat itu adalah kutipan yang tertulis dalam konstitusi perdamaian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Di bawah uskup yang juga peraih Nobel Perdamaian dunia , Desmond Tutu. Komisi Rekonsiliasi Afrika Selatan ini berusaha menyelidiki fakta-fakta kekejaman Rezim Apartheid yang mencengkeram Afsel selama nyaris satu abad sejak awal abad 20.

Pemerintahan apartheid menjalankan kebijakan dan hukumnya dengan segregasi ras dan suku. Intinya, minoritas kulit putih (yang ada di pemerintahan dan merupakan kalangan kaya karena emas Afsel) memberikan banyak batasan pada pada mayoritas kulit hitam (penduduk asli Afsel) dan berwarna (imigran Asia yang ada di Afsel)

Madiba --atau Nelson Mendela adalah salah seorang penentang kebijakan itu. Dia bergabung dengan ANC (Kongres Nasional Afrika) , dan bersama Kongres Pan Africa (PAC) melawan pemerintahan apartheid yang keji karena memburu, membunuh dan menyiksa serta aneka kekerasan rasialis lainnya pada penduduk Afsel. Apartheid berbuat sangat brutal pada masyarakat setempat. Karena menentang itulah, Madiba dipenjara selama 27 tahun.

Pada tahun 1990 ketika Mandela dibebaskan, masyarakat Afsel mulai menuntut agar negara itu dikendalikan dengan cara demokrasi. Puncaknya adalah 1994 ketika Madiba terpilih menjadi presiden Afsel. Pemerintahan apartheidpun usai.

Tahun 1996-1998, Desmon Tutu bekerja untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan seperti ditulis di atas. Sepanjang tiga tahun, sekitar 20 ribu korban berkumpul dan bersaksi di hadapan komisi itu. Dalam proses rekonsiliasi, korban atau keluarga korban duduk berhadapan dengan pelaku kekejaman. Misanya, seorang ibu korban duduk berhadapan dengan seorang pembantai putranya. Pelaku kekejaman,  banyak melakukan penyiksaan sebelum menembak korban.

Ketika berhadap-hadapan itulah , pembantai menyampaikan pengakuan dan minta maaf kepada korban atau keluarga korban. Ada korban atau keluarga yang bisa menerima dengan tulus tapi banyak yang tidak bisa menerimanya.

Meski respon dengan berbagai emosi, proses rekonsiliasi antara pelaku dan korban apartheiddi Afsel itu secara psikologis dapat melepaskan (release) perasaan kedua belah pihak. Mereka terbantu untuk menatap masa depan tanpa harus dihantui masa lalunya. Ketika kita telah mengetahui kebenaran, maka kita dapat mulai meninggalkan masa lalu, melupakannya dan melangkah menuju masa depan yang damai

Spirit inilah yang dibawa juga oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ketika menyelenggarakan Silaturahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Satukan NKRI) yang mempertemukan 124 mantan Narapidana Terorisme (Napiter) dengan 51 korban / penyintas atau keluarga korban.

Pada kesempatan itu, ada satu rasa yang diikat untuk melangkah pada masa depan yang lebih baik. Diharapkan silaturahmi ini menjadi awal dalam menciptakan perdamaian abadi di Indonesia , bebas dari terorisme.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline