Lihat ke Halaman Asli

Sistem Pemilu Bikin Caleg Gila?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pakar Psikologi Politik Prof Dr Hamdi Muluk menyatakan sistem Pemilu yang berlaku saat ini memang memungkinkan calon anggota legislatif yang gagal terpilih, menjadi gila. “(Karena) sistemnya ini terlalu membuka lebar pintu bagi orang untuk bereksperimen prilaku,” tegasnya kepada mediaumat.com, Sabtu (15/2) melalui sambungan telepon.

Salah satu eksperimen prilaku tersebut adalah mencoba peruntungan menjadi caleg, padahal itu tidak rasional bagi dirinya. “Padahal jumlah orang yang betul-betul mampu dinominasikan untuk menjadi caleg itu sedikit. Mampu di sini ya mampu pengetahuannya, mampu akhlaknya, mampu track record-nya, mampu juga dari segi pendanaan dan didukung partai,” ungkapnya.

Menurut Hamdi, dengan sistem terbuka ini juga akan bersaing di antara caleg dari anggota parpol sendiri. Ya tentu sangat mahal biayanya. Sudah pinjam sana-sini, sudah habis satu milyar kok belum cukup juga. Nanti kalau tidak terpilih stres dia karena tidak bisa mengembalikan pinjaman.

“Jadi sistem kita ini juga tidak rasional. Ya sudahlah, terjadilah itu, yang tidak kuat mental kepental, masuk rumah sakit jiwa. Nah, ini yang diantisipasi oleh rumah sakit jiwa. Atau pura-pura gila supaya tidak ditagih utangnya,” bebernya.

Partai yang ada juga tidak menyaring dengan ketat calon calegnya. Lagi-lagi karena sistem pemilunya kan berupa proporsional terbuka dan banyak partai. “Ini yang bikin kacau!” tegasnya.

Akibatnya, lanjut Hamdi, partai disuruh memilih sepuluh orang calegnya di satu daerah pemilihan (dapil), misalnya. Partai panik, harus mencantumkan nama orang sebanyak itu. Padahal orang yang berkualitas di masyarakat itu sedikit. Dan partai, karena dituntut untuk mengisi kolom caleg yang banyak itu akhirnya mengendorkan seleksi di dalam tubuh partai sendiri.

Tapi Parpol juga kadang kelakuannya tidak bertanggung jawab. Suka malakin (memeras, bahasa politikusnya sewa perahu, red) orang yang mau jadi caleg. Artinya, orang-orang yang baik, yang ingin tetap mengabdi ke republik ini dengan jalur yang benar yang tidak usah membayar uang perahu, tetapi partai menyaring calegnya berdasarkan kualifikasi kemampuan dan integritas, bukan karena menyogok, akan tersingkir.

Menurutnya, banyak orang-orang bersih yang mau tulus mengabdi ke republik datang ke partai ditanya: ‘Mau bayar sewa perahu berapa Lu?’ Kalau orang bersih ini bilang tidak punya duit, maka dijawab: ‘Mau sehebat apa pun Lu, profesor doktor apa pun Lu, kemampuannya sehebat apapun belum tentu bisa naik perahu.’

“Banyak contoh kasusnya, teman-teman saya ya melaporkan pengalamannya seperti itu. Jadi, parpol-parpol itu tidak mencari orang berkualitas kok, mencarinya ya wani piro tadi. Makanya ya banyak pengusaha yang masuk jadi legislator kan? Karena mampu membayar wani piro tadi.” pungkasnya.

Download Aplikasi Androidnya di Google Play Store atau https://play.google.com/store/apps/details?id=com.appmk.magazine.AOURGEKEXRFACDPKCH&hl=in

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline