Lihat ke Halaman Asli

Marginalisasi Masyarakat (Pendukung Kebudayaan) Perkebunan Kelapa Sawit dalam Industrialisasi di Indonesia*

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_160118" align="alignleft" width="300" caption="Imajinasi Kesejahteraan"][/caption] Strategi pembangunan negara-negara maju secara signifikan berdampak pada strategi pembangunan yang dibuat negara-negara berkembang. Dengan pembagian dunia ke dalam tiga bagian yaitu core, semi-periphery, dan periphery; problem yang muncul kemudian adalah persoalan struktural yang menimbulkan relasi yang cenderung eksploitatif. Industrialisasi merupakan salah satu contoh konkrit bagaimana relasi ini berlangsung. Industrialisasi, dalam hal ini akan dimaknai sebagai suatu konsep sekaligus strategi pembangunan yang didalamnya melibatkan banyak aktor dengan bermacam kepentingan. Dalam konteks negara berkembang, perlu kiranya menempatkan persoalan industrialisasi dalam konteks ruang yang lebih kompleks. Selain bersinggungan dengan soal produksi dan distribusi, yaitu large scale production. Industrialisasi menuntut adanya modernisasi ekonomi, yaitu adanya pertumbuhan ekonomi dalam konteks perubahan proporsional yang besar; dari primer menuju produksi sekunder sampai kepada peningkatan dalam produksi tersier. Prakteknya,  industrialisasi berkaitan erat dengan soal perebutan, dominasi dan marginalisasi. Maka perlu dicermati bagaimana sebenarnya basis kebudayaan  masyarakat yang masih hidup di mayoritas lokasi di Indonesia, khususnya di lokasi yang dijadikan basis industri penopang negara. Dalam konteks ini, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur akan menjadi locus dalam tulisan ini. Persoalan di balik perkebunan sawit tidak hanya sekadar imajinasi kesejahteraan paska berlangsungnya proyek industri CPO (crude palm oil) besar-besaran seperti yang dipropagandakan di era Soeharto. Bukan juga soal keberlimpahan manfaat dari kelapa sawit seperti yang diungkap Ca’da Mosto, seorang petualang abad ke-15 tentang penemuan minyak kelapa sawit, “Ia memiliki harumnya bunga violet, rasa munyak zaitun, dan warna yang memberi nuansa safron pada makanan tetapi lebih menarik” (Wacana Ed. 26: 50). Tetapi saat ini, kumparan persoalan tersebut menjadi lebih kompleks dan membesar. Ekses-ekses negatif atas perkebunan kelapa sawit kini tidak lagi tentang kerusakan lingkungan hayati, tetapi lebih jauh memberi dampak negatif pada lingkungan kebudayaan dan kerapuhan bangunan sosial masyarakat perkebunan kelapa sawit. Ada dua poin utama yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pertama, tentang pola dan karakter industrialisasi pada perkebunan kelapa sawit. Hal ini akan mencakup basis dan mekanisme produksi yang berlangsung di perkebunan kelapa sawit. Kedua, implikasi terhadap lingkungan kebudayaan masyarakatnya. Argumen yang dibangun dalam poin ini adalah basis industrialisasi di Indonesia yang menjadikan perkebunan sawit sebagai tumpuan penghasilan berdampak pada marginalisasi petani dan masyarakat lokal. Kalimantan Timur yang didaulat menjadi salah satu daerah basis industri CPO, mengalami satu gegar budaya sebagai akibat dari dimarginalisasikannya masyarakat dalam proses-proses tersebut. Hal ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks kolonialisme yang mengawali sejarah panjang ekspansi sawit.

*rencana Paper (masih mentah) Ika Ayu K - Mahasiswi S2 Sosiologi Fisipol UGM, Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline