Lihat ke Halaman Asli

Rakyat Miskin Bunuh Diri, Tanggung Jawab Siapa ?

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakyat Miskin Bunuh Diri, Tanggung Jawab Siapa ?

Oleh : Muhammad Iqbal

Pengurus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)

Pernah Menjadi Konsultan Bappenas 2011

Kasus bunuh diri karena himpitan ekonomi kembali terjadi, kali ini Seorang Ibu bernama Malkiah bersama anaknya Salman yang berumur 3 tahun melompat ke sungai Cisadane di Bogor, Suaminya telah meninggal dunia 2 tahun yang lalu karena sakit dan aksi bunuh diri dengan melompat ke sungai disaksikan anak sulungnya yang berusia 6 tahun, mereka sehari-hari bekerja sebagai pengemis dan karena tekanan ekonomi sang Ibu memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya dengan tragis. Sang anak mengalami trauma yang dalam, bahkan ketika mayat keduanya akan dipulangkan ke kampung halamannya di Serang, aparat tidak tega karena keluarga tersebut teramat miskin dan akhirnya di makamkan oleh masyarakat setempat di pemakaman umum di Bogor.

Kisah ini menjadi pemberitaan luas di berbagai media massa, dan sudah tentu bukan yang pertama terjadi, mungkin saat ini ada jutaan rakyat Indonesia yang menghadapi himpitan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 mencatat jumlah rakyat miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita perbulan dibawah gari kemiskinan) mencapai 30.02 juta orang (12,49%) dari total penduduk Indonesia, angka ini tentu saja sangat menyedihkan, walaupun pemerintah saat ini mengklaim angka kemiskinan tersebut terus berkurang, namun situasi ini sangat ironis dengan kemewahan para pemimpin dan pejabat Negara, korupsi merajalela, hukum yang "tajam ke bawah namun tumpul ke atas" seolah menjadi hal yang biasa, pencuri piring, kayu bakar, pemungut buah di ladang orang di penjara dan diadili tanpa belas kasihan dan bahkan hukuman lebih berat daripada koruptor yang menyengsarakan rakyat, bahkan banyak para koruptor yang sudah jelas-jelas tertangkap tangan dan melarikan diri hanya di vonis ringan, fenomena ibarat gunung es yang sewaktu-waktu bisa menjadi "bom waktu" bagi pemerintah karena ketidakadilan dalam penegakan hukum. Seorang pencuri yang terpaksa mencuri karena lapar dan keterpaksaan untuk menghidupi anaknya bisa mendapatkan hukuman berbanding pejabat yang terbukti miliaran rupiah karena mereka memiliki uang, banyak kasus jaksa dan hakim yang dijatuhi hukum disiplin dan bahkan beberapa diantara mereka tertangkap tangan menerima suap. Para buruh dan petani tidak habis-habisnya melakuka unjuk rasa karena ketidakadilan bagi buruh kecil yang diperlakukan semena-mena dan petani yang mempertahankan status tanahnya.

Disaat rakyat kelaparan dan harus bertahan hidup, para pejabat dari tingkat pusat hingga daerah sibuk mementingkan kelompok dan golongan serta mempertahankan kekuasaan, rapat di hotel-hotel mewah dengan makanan yang mubazir, studi banding hanya untuk menghabiskan anggaran diakhir tahun, pemalsuan perjalanan dinas hingga mark-up pengadaan barang dan jasa adalah hal yang biasa, bahkan diakhir tahun anggaran banyak acara-acara di hotel-hotel mewah dengan tujuan penyerapan sisa anggaran. Fenomena yang sangat kontradiktif dengan kehidupan rakyat miskin yang tinggal di kolong jembatan, rumah kardus, rumah gerobak, gelandangan dan para pengemis dijalanan. Masih banyak rakyat Indonesia sehari makan sehari tidak, belum tersentuh listik, jalanan dibiarkan rusak, jembatan putus, sementara kita tega menganggarkan "pesta demokrasi " untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) mencapai Trilyunan Rupiah, sementara masih banyak rakyat miskin yang kekurangan makan, bukan juga karena malas, tetapi banyak diantara mereka adalah para janda yang ditinggal mati suami, anak-anak yatim, orang tua jompo, dan para penyandang cacat yang tidak mampu mencari nafkah dan tidak memiliki jaminan sosial dari negara.

Solusi dan Saran

Kisah Ibu dan Anak yang bunuh diri seperti diatas merupakan fenomena "gunung es" di negeri ini, masih banyak para kaum dhuafa, para janda yang ditinggal mati suami, anak yatim dan rakyat miskin lainnya yang harus bertahan hidup dalam himpitan ekonomi, pemerintah harusnya tidak hanya menganggarkan program pemberantasan kemiskinan secara makro, namun kebutuhan dasar rakyat miskin yang memang benar tidak mampu karena keadaan keterbatasan juga harus dipenuh oleh Negara sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, sudah seharusnya para janda yang ditinggal mati suaminya, anak yatim piatu yang ditinggal mati orang tuanya, orang tua jompo yang tidak mampu lagi bekerja, dan kaum dhuafa yang tidak mampu bekerja karena keterbatasanya sudah seharusnya dipenuhi kebutuhan dasarnya oleh Negara. Demikian juga dengan peran serta masyarakat, lembaga filatropi, lembaga zakat, organisasi masyarakat harus memiliki kepedulian. Bantuan untuk rakyat miskin harus mudah di akses kepada yang memerlukan, mungkin disebagian rakyat miskin enggan meminta-minta dan masih memiliki rasa malu, sensitifitas kitalah yang harus ditingkatkan. Dalam Al-Qur'an surat Al-MAA'UUN Ayat 1-7, Allah Swt telah mengingatkan yang artinya : Ayat (1) Tahukah kamu orang yang mendustakan agama ? (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim (3) dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin (4) Maka kecelakalah bagi orang-orang yang shalat, (5) yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, (6) orang-orang yang berbuat riya (7) dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline