Lihat ke Halaman Asli

M. Iqbal

Part Time Writer and Blogger

Cerpen | Kedai Kopi

Diperbarui: 4 Desember 2017   01:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara riuh rendah terdengar dari jauh dan dekat, bincang-bincang antar manusia di setiap sudut. Bau-bau kopi tercium mesra dipenuhi sesak oleh para lelaki paruh baya. Mereka seakan melepas penat seharian dengan secangkir kopi.

Saya sungguh takjub dengan kopi dan gelasnya yang begitu kecil. Ia mampu membias pengunjung kedai kopi duduk hingga punggung kebas. Kopi tercipta sebagai alat komunikasi politik yang mengemuka.

Ngopi yok?

Kata-kata itu seakan membius untuk segera duduk di kedai kopi. Mengisi bangku-bangku dan mengisi perut dengan sejumlah panganan menggugah selera. Walaupun penuh kesederhanaan, kedai kopi bak ketenangan sejenak sembari menarik nafas. Letaknya yang strategis semakin memudahkan langkah kaki bergerak.

Saya merasa kedai kopi klasik punya sesuatu berbeda yang ditawarkan. Duduk di kursi "malas" membuat tubuh dan tulang belakang merenggang senang. Letaknya yang di sudut jendela makin begitu syahdu, hembusan angin serasa menghilangkan gerah.

Secangkir kopi meluncur dengan cepat, panasnya seakan bisa buat lidah terbakar. Cukup hebat si bartender kopi, ia sengaja membuat kopi sepanas mungkin, kalau bisa dara bara letusan gunung api. Si pemilik kedai kopi tahu dengan kopi yang panas, durasi duduk di kedai kopi juga lama. Sudah pasti dagangannya yang lain habis pula.

Hal lain yang buat saya begitu takjub adalah koran-koran menganggur yang buat hati pengunjung berontak membaca. Isu-isu yang kadung hangat sehangat kopi membuat koran jadi barang pertama yang ditanyakan oleh pengunjung.

Sebuah kenikmatan tersendiri saat membolak-balikkan halaman koran, membaca satu persatu rubik berita dari ujung kiri atas sampai kanan bawah. Cara ini dilakukan untuk kopi segera mendingin, namun pengunjung tetap meminum perlahan-lahan. Itu bak sebuah kebiasaan yang begitu mengikat, bahwa tak afdal minum kopi secepat kilat.

Ada satu hal lain yang begitu melalaikan di kedai kopi klasik, andai di kedai kopi konvensional Wi-fi adalah nyawa. Di kedai kopi klasik koran dan papan catur punya peran membuat waktu berjalan cepat. Sebuah slogan tak tertulis seakan terpampang bagi penantang catur:

Laki tanding bila lawannya sebanding!!!

Pikiran berpikir keras, agar bidak catur berpindah dan menusuk setiap sisi pertahanan lawan sampai kata SKAK MAT terdengar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline