Lihat ke Halaman Asli

Seberapa Penting Kenaikan Pajak Hiburan?

Diperbarui: 6 Februari 2024   02:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pajak hiburan, sebagai bentuk pungutan fiskal oleh pemerintah kabupaten/kota, memegang peran penting dalam mendukung penerimaan pajak daerah. Dengan memberlakukan tarif pajak ini, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dan mengurangi ketergantungan pada dana transfer dari pemerintah pusat. Meskipun demikian, pemberlakuan pajak hiburan ini menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku industri hiburan, terutama dalam konteks pemulihan pasca pandemi Covid-19.

Desentralisasi fiskal, sebagai konsekuensi dari otonomi daerah sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bertujuan untuk meratakan pembangunan nasional. Dengan melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke tingkat daerah, upaya optimalisasi desentralisasi fiskal diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Namun, para pelaku usaha menyuarakan keprihatinan terkait penyusunan UU HKPD yang dianggap mengesampingkan partisipasi mereka. Kenaikan tarif pajak hiburan menjadi beban ekstra bagi pengusaha, terlebih dengan pajak PBJT sebesar 40%, PPN sebesar 11%, PPh badan sebesar 25%, dan PPh pribadi antara 5%-35%, tergantung pada penghasilan kena pajak. Dalam merespons hal ini, Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti) telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dengan argumen bahwa layanan SPA seharusnya dikategorikan sebagai jasa kesehatan atau kebugaran bukan hiburan. Gugatan ini diterima oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 Januari 2024.

Taufan Rahmadi, seorang pakar strategi pariwisata Indonesia, menyampaikan pandangannya terkait dampak positif dan negatif dari penerapan pajak hiburan. Meskipun dapat meningkatkan pendapatan pemerintah, kebijakan ini berpotensi mengurangi minat wisatawan mancanegara yang dihadapkan pada biaya liburan yang lebih tinggi. Terlebih lagi, kebijakan ini dianggap kurang tepat pada saat industri pariwisata baru saja pulih dari dampak pandemi. Rahmadi menyarankan agar pemerintah lebih dulu mensosialisasikan aturan ini kepada pelaku usaha dan mempertimbangkan implementasinya pada tahun 2026, ketika kondisi pariwisata diperkirakan telah kembali normal, sesuai prediksi United Nation World Tourism Organization (UNWTO).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline