Lihat ke Halaman Asli

Menghadirkan Sulawesi Tengah dalam Semalam di Kota Malang

Diperbarui: 18 Desember 2017   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penari. Dokumentasi pribadi.

TADULAKO FESTIVAL #3 "Melihat Sulawesi Tengah dari Tanah Rantau", tema yang menarik tertulis pada undangan yang dikirimkan Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sulawesi Tengah (IPPMST) Malang. Dari nama kegiatannya dapat dipastikan ini adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk ketiga kalinya, dan ternyata ini kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh IPPMST Malang.

Sebagai salah seorang perantau dari Sulawesi Tengah yang berada di Malang, ini adalah TADULAKO FESTIVAL pertama yang akan saya hadiri. Musikalisasi puisi, musik-musik tradisional dan tarian tradisional Sulawesi Tengah yang akan ditampilkan dalam acara tersebut mendorong rasa penasaran yang besar untuk segera menyaksikannya.

Saya mengenal sebagian besar dari anggota IPPMST, mereka adalah mahasiswa S1 asal Sulawesi Tengah yang kuliah di beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Kota Malang. Sebagai mahasiswa tentunya keseharian mereka disibukkan dengan aktivitas perkuliahan sebagaimana mestinya. Tidak sedikit organisasi kemahasiswaan yang mereka ikuti, akan tetapi menjadi menarik bagi Saya adalah saat IPPMST memanggil, mereka bersatu dalam kegiatan yang mencoba mengangkat nilai-nilai lokal budaya dan kesenian Sulawesi Tengah dalam sebuah pertunjukkan.

Pukul 20.00 WIB, TADULAKO FESTIVAL #3 dimulai. Hari ini, Sabtu 16 Desember 2017, diadakan di Baiduri Caf and Resto Jln. Raya Tlogomas, Kota Malang. Berbeda dari acara-acara biasanya yang diawali dengan sambutan-sambutan, acara kali ini langsung diawali dua tarian berturut-turut yaitu Tari Peule Cinde (Kota Palu) dan Tari Moduai (Kab. Tolitoli).

Tari Peule Cinde dari Palu, Sulawesi Tengah. (Dokumentasi Pribadi)

Tari Moduai dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. (Dokumentasi pribadi)

Tari Peule Cinde (Palu) ini merupakan karya dari salah seorang seniman besar Sulawesi Tengah yaitu Alm. Hasan Bahasyuan, adalah tarian yang digelar untuk menyambut tamu, dibawakan oleh para wanita, dengan menaburkan bunga ke arah para tamu. Sama halnya dengan Tari Peule Cinde, Tari Moduai (Tolitoli) juga adalah tarian untuk menyambut tamu, terutama tamu kehormatan.

Dua orang MC akhirnya muncul menyapa pengunjung dengan pakaian adat suku Kaili (Palu), Sulawesi Tengah. Susunan acara dibuat sangat mengalir dengan tanpa jeda yang panjang, setelah penjelasan singkat tentang tarian sebelumnya, pertunjukkan dilanjutkan dengan dua tarian lagi yaitu Tari Balatindak (Banggai Kepulauan) kemudian disusul Tari Motaro dari Kabupaten Poso.

Tari Balatindak dari Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. (Dokumentasi pribadi)

Tari Motaro dari Poso, Sulawesi Tengah. (Dokumentasi pribadi)

Tari Balatindak (Banggai Kepulauan) adalah tari perang, di mana tari ini bercerita tentang sayembara adu ketangkasan bertarung untuk menjadi Panglima Perang di Kerajaan Banggai. Gerakan para penari yang semuanya adalah pria sangat gesit dan tangkas memperagakan adegan pertarungan yang mendebarkan, sangat menghibur penonton. 

Setelah tari bertema perang dilanjutkan dengan Tari Motaro (Poso), tarian rakyat suku Pamona dan kulawi ini adalah tarian penyambutan bagi para pahlawan perang yang pulang membawa kemenangan dan sebagai wujud rasa syukur. Salah satu hal yang menarik dari Tari Motaro adalah pakaian adat khas yang sangat cantik, dengan warna terang dan rok yang bersusun-susun, sepintas seperti rok perempuan eropa.

Seperti sebelumnya dengan disela penjelasan singkat MC tentang sinopsis tarian, selanjutnya kami disuguhi sebuah monolog. Monolog ini diperkaya dengan musik pengiring dan alunan suara penyanyi latar yang merdu membuat suasana semakin syahdu. Ini cerita tentang anak yang merantau menuntut ilmu jauh dari kampung halaman, rasa rindu akan rumah dan keluarga yang harus dilawan untuk mengejar cita-cita. Monolog ini dibawakan penuh penjiwaan oleh seorang mahasiswa Sulawesi Tengah asal Luwuk bernama Chandra Saputra.

Monolog. (Dokumentasi pribadi)

Seni kontemporer juga tidak ketinggalan, dua penampil secara berurutan oleh KPMB Buol (Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah) diawali sebuah sajian musik yang merupakan perpaduan alat musik modern dan tradisional dan juga memadukan dua kebudayaan yang berbeda antara budaya buol, Sulawesi Tengah dan budaya Jawa menjadikan sebuah komposisi musik instrumental berjudul "Tangi Turu". Masih bersama KPMB Buol, selanjutnya mereka menampilkan kolaborasi Tari Kontemporer berjudul "Moulindo" yang sangat enerjik.

KPMB Buol

Tari kontemporer

Sambil menoleh kanan kiri dan mencoba menyapa para penonton di jejeran saya, ternyata acara ini tidak hanya disaksikan oleh perantau dari Sulawesi Tengah akan tetapi dari berbagai daerah, ada mahasiswa yang dari Provinsi lain di Pulau Sulawesi seperti Gorontalo, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan juga ada dari Kalimantan dan Sumatera. Teman-teman dari IPPMST telah menunjukkan, ini sebuah peluang yang sangat baik mengenalkan Sulawesi Tengah pada Indonesia lewat kegiatan seni dan budaya dengan memanfaatkan kemajemukan Kota Malang yang didiami pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline