Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Hujan Membasahi Cerita yang Membisu

Diperbarui: 11 Januari 2025   08:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh John-Mark Smith: https://www.pexels.com/id-id/foto/amplop-coklat-di-atas-meja-281962/ 

RINTIK hujan mengetuk-ngetuk atap rumah tua itu dengan iramanya yang tidak beraturan. Senja menyelinap, merayap di antara celah-celah awan kelabu, membawa serta keremangan yang perlahan menggerogoti sudut-sudut ruangan rumah yang menyimpan sejuta kenangan. Di sebuah kursi rotan yang sudah dimakan usia, Pak Darmo duduk termenung. Tangannya yang keriput menggenggam sehelai amplop kusam---surat terakhir dari putri semata wayangnya yang telah pergi merantau ke kota besar lima belas tahun silam.

Sudah berapa musim hujan berlalu sejak saat itu? Pak Darmo tak lagi menghitung. Yang dia tahu hanyalah rasa sepi yang mengendap seperti debu di sudut-sudut rumahnya, dan kerinduan yang menggantung berat di dadanya seperti awan mendung di luar sana. Surat itu---satu-satunya penghubung antara dia dan putrinya---kini hanya tinggal serpihan kenangan yang nyaris pudar.

"Ayah, maafkan Dewi yang harus pergi," begitu bunyi kalimat pertama dalam surat itu. Pak Darmo masih hafal setiap kata yang tertulis di dalamnya, meski tinta hitamnya telah memudar termakan waktu. "Kota ini menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Dewi janji akan pulang setelah sukses nanti."

Janji yang tak pernah terwujud.

Lima belas tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengubah banyak hal. Desa kecil tempat Pak Darmo tinggal kini telah berganti wajah. Sawah-sawah hijau yang dulu membentang sejauh mata memandang, kini telah berganti menjadi deretan rumah dan toko-toko yang sibuk dengan hiruk-pikuknya. Pohon rambutan di halaman rumahnya yang dulu sering dipanjat Dewi kecil, kini telah tumbang dimakan rayap. Hanya rumah tua ini yang masih berdiri kokoh, menjadi saksi bisu perjalanan waktu yang terasa begitu panjang.

Setiap kali hujan turun, Pak Darmo selalu teringat pada putrinya. Dewi kecilnya yang dulu senang berlarian di bawah tetesan air hujan, tertawa riang tanpa beban. Dewi yang rajin membantu di sawah, tidak peduli terik matahari atau guyuran hujan. Lalu ketika dewasa dia memutuskan untuk pergi, membawa serta mimpi-mimpi besarnya ke kota.

"Pak Darmo!" Sebuah suara mengejutkannya dari lamunan. Bu Ratih, tetangga sebelah rumah yang sudah seperti saudara sendiri, berdiri di ambang pintu dengan payung hitam di tangan. "Sudah sore begini kok masih melamun? Ayo makan dulu."

Pak Darmo tersenyum tipis. Bu Ratih memang selalu perhatian padanya sejak dia tinggal sendiri. Setiap sore, wanita paruh baya itu pasti datang membawakan makanan---kadang nasi dengan sayur lodeh, kadang bubur ayam, atau apa saja yang dia masak hari itu.

"Terima kasih, Bu Ratih. Tapi saya belum lapar," jawab Pak Darmo pelan.

Bu Ratih menghela napas. Dia tahu betul apa yang sedang dipikirkan tetangganya itu. "Masih memikirkan Dewi?" tanyanya lembut sambil melangkah masuk dan menutup payungnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline