Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Ketika Rimba Berbisik Lirih

Diperbarui: 8 Januari 2025   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi | Photo by Lukas Hartmann: pexels.com

EMBUN pagi menusuk tajam, meresap ke dalam jubah perjuangan yang kian lusuh dimakan waktu. Di sini, di tengah hutan perbatasan Perak yang menyimpan sejuta rahasia, aku---Harun bin Mahmud---menemukan diriku terjebak dalam lilitan pengkhianatan bersama idealisme yang tidak bertepi.

Tujuh tahun telah berlalu sejak aku menanggalkan cangkul, meninggalkan kehidupan petani yang terbelit kemiskinan di kampung halaman. Revolusi yang dulu berkobar dalam dada terasa semakin jauh, bagai fatamorgana di padang gersang. Satu per satu, kawan seperjuangan gugur, sementara penguasa dengan lihai memainkan strategi adu domba, memutus rantai dukungan rakyat yang menjadi urat nadi perlawanan kami.

Malam itu, Abdullah datang dengan nafas memburu bersama berita yang mengoyak keyakinan. "Ada pengkhianat," bisiknya parau, suaranya bergetar di antara desir angin malam. Nama yang kemudian meluncur dari bibirnya bagaikan belati yang menghunjam tepat ke jantung: Pak Ismail---sosok yang selama ini menjadi mercusuar perjuangan kami---telah berkomplot dengan musuh.

Kenangan demi kenangan berkelebat dalam benakku bagai potongan film usang. Pak Ismail yang dengan sabar mengajariku taktik gerilya, yang membangkitkan api revolusi dalam dadaku, kini tidak lebih dari sekedar bayangan semu sebuah idealisme yang mulai memudar.

"Kita harus bertindak," Abdullah berbisik di tengah keremangan malam, matanya berkilat tajam memantulkan cahaya bulan yang mencuri-curi di antara celah dedaunan. "Sebelum pengkhianatan ini menelan lebih banyak nyawa."

Dilema mencekik, menghadirkan pergulatan dalam batin yang tidak berkesudahan. Membunuhnya berarti membunuh sebagian dari diriku sendiri. Bukankah revolusi yang kami perjuangkan berdiri di atas fondasi keadilan, bukan dendam? Namun dalam perang gerilya, garis pemisah antara keduanya seringkali lebur dalam kabut ketidakpastian.

Embun pagi mulai menitik, tampaknya langit pun turut merasakan beratnya pilihan yang harus kuambil. Kugenggam pisau lipat pemberian ayah, benda sederhana yang akan menjadi saksi bisu pertarungan antara loyalitas yang dibungkus pengkhianatan, antara ideologi yang berbalut kemanusiaan.

"Revolusi memakan anak-anaknya sendiri," gumamku mengulang kata-kata seorang komandan tua yang telah mendahului kami. Dan di antara rimba yang menyimpan seribu rahasia, rencana mulai terjalin.

Fajar belum sepenuhnya merekah ketika kami bergerak. Abdullah melangkah di depanku bagai bayangan di antara semak belukar, menuju perkampungan tersembunyi di lereng bukit---tempat Pak Ismail biasa mengadakan pertemuan rahasia.

Kenangan demi kenangan menghantam benakku sepanjang perjalanan. Enam tahun lalu, Pak Ismail adalah cahaya yang menerangi hidupku yang gelap sebagai petani miskin yang tertindas. Dia mengajariku membaca, berbicara tentang revolusi, dan membuka mata hatiku akan ketidakadilan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline