Namaku Lala. Aku kelas 2 SD. Bu Ani guruku, guru kelas yang paling istimewa di dunia! Bukan karena Bu Ani punya rambut paling panjang atau tas paling cantik, tapi karena Bu Ani punya sesuatu yang lebih berharga: kesabaran yang tak pernah habis dengan senyum yang selalu menenangkan.
Aku ingat sekali waktu itu, saat ulangan Matematika. Soal perkalian bikin kepalaku pusing tujuh keliling. Angka-angka itu berputar-putar di mataku, sampai aku merasa mau menangis. Teman-temanku sudah selesai mengerjakan, tapi aku masih terpaku di soal nomor tiga.
Aku menggigit bibirku, jari-jariku gemetar memegang pensil. Bu Ani mendekat, dia membungkuk lalu tersenyum lembut padaku. "Lala, ada yang sulit ya?" tanyanya dengan suara yang sangat lembut.
Aku mengangguk, air mataku hampir tumpah. Bu Ani tidak langsung menjelaskan jawabannya. Dia malah mengajakku bermain menggunakan biji-biji jagung. Dia menunjukkan cara perkalian dengan cara yang menyenangkan, menggunakan biji jagung itu sebagai alat bantu. Satu per satu, dia menjelaskan dengan sabar, sampai aku mengerti.
Aku merasa bodoh karena sebelumnya aku hanya menghafal rumus tanpa pernah memahami konsep penjumlahan berlipat di dalam perkalian. Bu Ani tidak pernah membuatku merasa bodoh. Dia selalu sabar membantuku memahami setiap pelajaran. Dia selalu punya cara yang kreatif untuk membuat pelajaran menjadi menyenangkan.
Suatu hari, Bu Ani membawa boneka-boneka kecil ke kelas. Kami belajar tentang pecahan dengan membagi boneka-boneka itu. Ada juga saat kami belajar tentang tumbuhan dengan menanam biji bunga matahari di pot kecil. Kami merawatnya bersama-sama, dan Bu Ani mengajari kami tentang siklus hidup tumbuhan.
Saat pelajaran seni rupa, kami diminta untuk melukis pemandangan alam. Aku sangat kesulitan! Aku tidak bisa membuat gunung yang terlihat megah, langit dengan warna biru yang cerah, atau pohon yang rindang. Lukisanku terlihat seperti coretan-coretan tak beraturan. Aku benar-benar merasa putus asa. Teman-temanku sudah hampir selesai dengan lukisan mereka, sedangkan lukisanku masih berupa selembar kertas putih yang kumuh.
Aku menunduk, merasa sangat malu. Bu Ani menghampiriku dengan senyumnya yang membuatku tenang. Dia tidak langsung menegur lukisanku yang jelek. Sebaliknya, dia mengeluarkan sebuah kotak berisi berbagai macam bahan: daun kering, ranting kecil, biji-bijian, batu kecil yang berwarna-warni, dan benang wol.
"Lala," kata Bu Ani, "kamu tahu, pemandangan alam itu tidak selalu harus dilukis dengan cat, kan?"
Dia menunjukkan padaku bagaimana membuat kolase pemandangan alam menggunakan bahan-bahan yang ada di kotak itu. Dia membantuku menempelkan daun kering sebagai pohon, ranting kecil sebagai ranting pohon, batu-batu kecil sebagai gunung, dan benang wol sebagai sungai. Aku bisa menambahkan detail-detail kecil lainnya sesuai imajinasiku.