"Jadi... apa benar, kita sudah merdeka?" Suara pemuda itu bergetar ada amarah yang terlontar, suara yang bergemuruh itu terlontar penuh keraguan.
Ia menatap langit senja yang memerah di bawah kolong jembatan, matanya kosong. Di tangannya terselip sebuah buku usang tentang sejarah perjuangan kemerdekaan, halamannya terbuka pada sebuah kisah pertempuran ideologi yang heroik.
"Merdeka?" Lelaki tua itu membalasnya dengan pertanyaan, lelaki tua yang sedang duduk di sampingnya itu menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kau merasa sudah merdeka?"
Pemuda yang sedang dirundung kebingungan itu menggeleng. "Aku pun tak tahu, Pak. Aku merasa terkekang oleh kemiskinan, oleh ketidakadilan, oleh rasa putus asa yang tak pernah ada habisnya."
Lelaki tua itu tersenyum pahit. "Kau tahu, Nak. Kemerdekaan itu bukan hanya tentang tanggal perayaannya saja, atau ucapan proklamasi belaka. Kemerdekaan itu tentang jiwa, tentang tekad, tentang perjuangan yang tak pernah berhenti."
"Aku tak paham, Pak?" suaranya terdengar sangat putus asa.
Lelaki tua itu terdiam sejenak, menatap wajah pemuda yang sedang dilanda kebingungan itu dengan tatapan penuh iba. Ia mengerti kekecewaan serta keputusasaan yang dirasakannya. Dia sendiri telah merasakan pahitnya penindasan serta ketidakadilan selama bertahun-tahun lamanya.
"Dengan pendidikan, Nak," jawab lelaki tua itu, suaranya pelan namun tegas, "dengan pengetahuan, kau bisa melawan ketidakadilan, kau mengatasi kemiskinan, kau bisa juga membangun masa depan yang lebih baik."
"Pendidikan? Mana mungkin, Pak?" Pemuda itu menggelengkan kepala, "Lihatlah sekeliling kita, Pak. Anak-anak tak bisa bersekolah, orang tua tak punya uang untuk makan, apalagi untuk sekolah."
"Ada banyak jalan, Nak," kata lelaki tua itu, "ada beasiswa, ada bantuan dari pemerintah, ada juga orang-orang baik yang ingin membantu."