Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Asmaranya Membuncit

Diperbarui: 3 Agustus 2024   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar oleh: Q. Hng Phm dari pexel.com

SEJAK awal netra Kartoyo berjumpa dengan wajah lembut berbalut tudung warna pastel itu tidak dapat hilang dari pelupuk matanya. Pemilik paras serupa bidadari itu bernama Yuna.

Setiap hari Kartoyo berusaha sekuat tenaga mencuri waktu barang sekejap saja untuk menatapnya, merekam raut cantik Yuna lalu disimpannya rapat-rapat di dalam benaknya dari pagi hingga esok hari.

Bertahun-tahun, sejak awal Kartoyo duduk di bangku sekolah itu, dia sudah menyimpan perasaannya, tapi dia tidak ingin mengungkapkannya, dia takut akan kehilangan momen indah yang dilakukannya setiap pagi, tiap kali beradu tatap dengan Yuna.

Lagi pula Yuna sudah mempunyai seorang kekasih hati yang sering menjemputnya setiap sore. Tiap kali Yuna dijemputnya hati Kartoyo tercabik-cabik, Kartoyo selalu berkhayal suatu hari dia ingin mengayuh sepeda dengan membonceng Yuna.

"Bung... minggir sedikit, kau menghalangi jalanku!" teriak Wardi di belakangku sambil menyundulkan roda ban sepedanya.

Kartoyo terkejut, "Eh... maaf... maaf... Wardi."

Seketika pandangangan yang membuat hatinya terbakar api cemburu itu menjauh, Wardi telah merusak khayalan Kartoyo di sore yang suram yang penuh dengan awan-awan kelam bergelayut di hati Kartoyo.

Dengan perasaan kesal Kartoyo mengayuh sepedanya pulang.

***

"Assalamualaikum..." ucap Kartoyo setelah mencium punggung tangan ibunya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline