PADA keheningan malam, Zulaekha sedang menghamba. Bukan hanya kepada Yusuf, tetapi juga kepada cinta sejati yang mengajarkannya untuk menjadi lebih baik. Dia tahu dengan pasti bahwa penghambaannya kepada Yusuf merupakan interpretasi dari perjalanan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri, serta tentang arti cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak menuntut, tetapi memberi. Cinta yang tidak merampas, tetapi membebaskan.
Dari setiap nafas yang dihembuskan, Zulaekha memohon kekuatan kepada Tuhan, agar hatinya tetap teguh berbalut ikhlas. Ia tahu bahwa Yusuf adalah ujian sekaligus anugerah yang diberikan kepadanya, dan melalui Yusuf, dia belajar untuk mencintai dengan cara yang lebih mulia dan suci.
***
"Aku mau kamu di sini, tolong jangan pergi..." bisik Zulaekha di telinga Yusuf. Suaranya gemetar, penuh harapan yang hampir putus asa.
"Maaf Zulaekha, aku harus pergi," balas Yusuf tegas. Yusuf menghalau jari-jari manja Zulaekha yang melingkar di lengannya. Dalam hatinya, Yusuf merasakan rasa simpati yang mendalam, namun dia tahu bahwa jalan yang benar harus ditempuh, meskipun sulit.
Zulaekha maju beberapa langkah mendekati Yusuf, matanya berkaca-kaca. "Kenapa, Yusuf? Apa aku enggak cukup baik untukmu? Apa cintaku enggak layak untukmu?" Tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar di tengah keheningan malam.
Yusuf menatapnya dengan tatapan yang sangat lembut, tapi sorot matanya penuh dengan ketegasan. "Zulaekha, kamu itu wanita yang sangat luar biasa, kamu wanita yang hebat, Kamu wanita yang mandiri sekaligus kuat. Zulaekha, cinta sejati itu tidak bisa dipaksa. Cinta yang sesungguhnya itu harus datang dari hati yang suci dengan niat yang tulus, bukan dari dorongan nafsu atau hastrat dari keinginan sesaat."
Air mata perlahan mengalir di pipi Zulaekha. Dia merasakan hatinya teriris dengan luka yang dalam, di satu sisi dia juga memahami apa yang baru saja Yusuf katakan. "Yusuf, aku cuma mau merasakan cinta yang tulus dari kamu. Aku mau terus sama kamu, aku mau menghargai kebaikan, ketulusan juga perhatianmu."
Yusuf menghela nafas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Zulaekha, kalau kamu benar-benar mau menghargai semua yang baru saja kamu katakan itu, maka kamu harus belajar untuk mencintai dirimu sendiri terlebih dahulu. Kamu harus menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam dirimu, sebelum kamu bisa membaginya dengan orang lain."
Kata-kata Yusuf bagai sebilah pedang yang tajam menusuk hati Zulaekha semakin dalam, sekaligus membuka mata hatinya. Perlahan, dia menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk mengejar bayangan kebahagiaan dari orang lain, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan sejati harus datang dari dalam dirinya sendiri.