Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Dear Semesta, Aku Rindu Senyumnya!

Diperbarui: 21 Juni 2024   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar oleh Anastasia Shuraeva dari pexel.com

SETIAP helaan nafas adalah doa yang tak terucap, harapan yang meniti di atas seutas benang tipis, menggantung pada waktu yang terus berdetak. Rinduku telah menciptakan ruang di antara kesibukan yang terus memburu, mengisi kekosongan beserta kejenuhanku dengan bayangan senyummu yang hadir dalam angan. Rinduku adalah penantian yang setia, menanti takdir dua hati yang tidak akan pernah bersua.

Rinduku bagai cawan yang penuh dengan air mata, di setiap tetesnya mengisahkan cinta yang menggebu, yang pernah ada dan akan selalu ada. Rinduku bukan perasaan, tetapi sebuah perjalanan batin yang menggugah jiwa, membawa aku pada perenungan tentang makna kehadiran seseorang dalam hidup ini.

***

MATAHARI pagi baru saja menyingsing, sinarnya yang hangat perlahan membelai lembut hamparan bunga ungu yang berkilauan. Dari kejauhan, ladang ini tampak seperti permadani dengan warna ungu yang menghampar sejauh mata memandang, mengisi udara dengan aroma yang menenangkan dan membangkitkan kenangan indah.

Setiap langkah di antara barisan tanaman lavender adalah perjalanan dalam wangi yang melenakkan. Aromanya yang khas, menenangkan, dan menyegarkan, mengajak siapa saja yang singgah untuk melupakan sejenak segala hiruk-pikuk dunia. Suara lembut angin yang berhembus dan kicauan burung yang menyambut pagi menambah kesan damai, menjadikan ladang ini tempat yang sempurna untuk bermeditasi, bercengkerama, atau sekadar menikmati keindahan alam.

Anna, dengan rambut cokelat yang terurai di bawah topi jeraminya, melangkah perlahan di antara barisan tanaman lavender. Di setiap langkahnya menyeruak senyuman lembut yang tak dapat disembunyikan. Ia terpesona oleh keindahan yang ada di sekelilingnya, seakan-akan setiap kelopak bunga lavender itu berbisik, menyambutnya dengan keharuman yang menguar.

Anna seorang Agromon, dia memilih Ladang lavender di Provence setelah lulus kuliah, karena tempat itu seperti sepotong surga di bumi, tempat di mana keajaiban alam berpadu dengan keindahan yang memesona. Ketika musim panas tiba, ladang-ladang ini berubah menjadi lautan ungu yang berkilauan di bawah sinar matahari. Gelombang lavender yang membentang sejauh mata memandang menciptakan pemandangan yang tak tertandingi, mengundang siapa pun yang melihatnya untuk hanyut dalam pesona yang membawa kedamaian.

Di sini, waktu terasa terhenti. Di bawah langit biru yang cerah, ladang lavender menawarkan latar yang sempurna untuk momen-momen romantis. Jalan setapak yang berkelok di antara barisan tanaman, dengan bunga-bunga ungu yang bergoyang lembut di kedua sisi, mengarahkan langkah-langkah menuju impian. Saat matahari terbenam, langit berubah menjadi kanvas oranye dengan sapuan merah muda, menhadirkan suasana yang semakin memikat.

Di pinggir ladang, sebuah rumah kecil dengan tembok batu berdiri dengan anggun. Temboknya yang dihiasi tanaman rambat, dengan jendela-jendela kayu yang terbuka lebar memperlihatkan isi rumah yang sederhana namun hangat. Di depan rumah itu, seorang wanita tua sedang sibuk mengolah lavender menjadi minyak esensial, tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Senyumnya merekah melihat Anna yang berjalan mendekat, seperti melihat cermin masa mudanya sendiri.

"Hi Anna," sapa wanita tua itu dengan senyuman terindahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline