Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Perjanjian Keramat, Xieshu

Diperbarui: 20 Mei 2024   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar oleh Sandra Peng dari pexel.com

Malam itu benar-benar mencekam. Langit diselimuti awan gelap yang berat, nampaknya mereka sedang menahan napas dalam kesunyian yang menakutkan. Angin berhembus pelan, membawa bisikan-bisikan yang terdengar seperti rintihan roh-roh yang gelisah. Di jalan-jalan sempit itu, bayang-bayang panjang dari lampion merah bergoyang pelan, menciptakan tarian yang mengerikan di antara bayangan dinding-dinding bangunan tua.

Di sebuah rumah kayu yang sudah reyot, seorang wanita tua duduk di depan altar, wajahnya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip. Di atas altar yang dikenal sebagai "Shen tai," meja untuk sembahyang, berbagai persembahan telah disiapkan: buah-buahan, bunga, dan dupa yang terbakar perlahan, menyebarkan aroma menenangkan yang menyelimuti ruangan. Bibir wanita itu bergetar, mengucapkan mantra kuno dalam bahasa Tionghoa yang penuh dengan kekuatan dan misteri.

"Nan wu Amituofo, she wo zui nie, hu wo ping an" [1]

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lorong di belakang rumah, langkah itu berat dan lambat, seperti milik seseorang yang menanggung beban dunia di pundaknya, langkah itu membuat rumah kayu itu berteriak dalam deritan susuan lantai kayu yang reyot. Wanita tua itu berhenti berdoa, matanya menyipit, tiba-tiba tubuhnya menegang. Ia tahu, sosok yang mendekat bukanlah manusia.

Pintu lorong terbuka dengan derit yang menyayat telinga, dan bayangan gelap muncul di ambang pintu. Udara seketika menjadi dingin, napas wanita itu berembun di depan wajahnya. Sosok itu melangkah maju, memperlihatkan tubuhnya yang kurus dengan mata merah menyala yang memancarkan kebencian abadi.

"Wen," suara serak dan dalam memanggil nama wanita itu, suara berat itu terdengar seperti berasal dari kedalaman bumi. "Kau belum menyelesaikan janji kita."

Wen menggigil, kenangan akan perjanjian terkutuk yang dibuatnya bertahun-tahun lalu kembali menghantuinya. Ia mengira bahwa waktu telah menghapus hutang yang harus dibayarnya, namun malam ini, roh itu kembali menuntut haknya. Api lilin tiba-tiba padam, ruangan menjadi sangat gelap gulita. Di dalam kegelapan itu, Wen merasakan tangan dingin mencengkeram bahunya, menariknya perlahan ke dalam bayangan abadi.

Wen berusaha melawan, tapi kekuatan roh itu terlalu besar. Ia terhuyung-huyung mundur, mencoba menarik diri dari cengkeraman yang mengerikan itu. Bibirnya kembali bergetar, mengucapkan mantra yang pernah diajarkan oleh gurunya bertahun-tahun yang lalu.

"Da ci da bei Guanshiyin Pusa, qiu nin baoyou wo, qu san xie ling." [2]

Namun, roh jahat itu hanya tertawa dingin, suara yang menggema di seluruh ruangan, membuat darah Wen membeku. "Doamu tidak akan menyelamatkanmu, Wen. Janji adalah janji. Kau berhutang nyawa padaku."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline