Bagi ayah Suranto, sudah pandai membaca dan menulis saja cukup, tidak perlu sampai bertitel, bukan tanpa sebab ayahnya Suranto mengatakan hal itu.
"Ayah, aku akan cari beasiswa!" Suranto berusaha membujuk ayahnya yang masih berpeluh sambil menurunkan hasil tangkapan ikan di dalam keranjang anyaman bambu.
"Liat, Ayah cuma bisa tangkap satu keranjang," ucap Ayah sambil menunjuk keranjang bambu yang baru saja diturunkannya, "Kalau kamu bantu Ayah, kita bisa dapat dua keranjang, bisa dapat tambahan uang untuk biaya adikmu sekolah," tegasnya sambil menatap mata Suranto tajam.
"Tapi, Ayah..."
"Sudah, sudah... jangan kebanyakan menghayal kamu..." bantah Ayah Suranto sambil berlalu, "bawa keranjang itu, biar langsung ditimbang pak Bimo."
Suranto hanya diam melihat punggung Ayah yang pergi menjauh. Suranto ingin sekolah yang tinggi agar dapat membantu perekonomian keluarganya. Namun, Ayah Suranto memiliki pemikiran yang berbeda.
Ayah Suranto selalu menyebut Larso, Bimo dan Sulastri, tetangga Suranto, ayahnya juga nelayan, mereka bertiga setelah lulus kuliah kesulitan mendapatkan pekerjaan, ujung-ujungnya jadi nelayan juga, sementara Sulastri menikah dengan nelayan, padahal, Ayah mereka susah payah mencari mencari ikan, bahkan sampai rela berhutang untuk membiayai kuliah mereka. Untuk apa kuliah?
***
"Dek, jaga Ayah ya..." Suranto meletakan kedua tangannya ketika mengatakan kalimat itu, "mas mau pergi ke Jakarta."
Fitri yang masih duduk di bangku SMP itu tidak dapat berkata-kata, air matanya meleleh dari sudut matanya, andai saja Tuhan tidak menjemput Ibu, mungkin Ayah tidak akan seperti ini, Ayah memang keras kepala, tapi, Ibu selalu tahu cara melunakkan hati suaminya.