Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Perempuan-Perempuan yang Merindu

Diperbarui: 2 Mei 2024   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tepian pantai yang sunyi, rasa itu datang seperti ombak yang tak henti-hentinya menghantam batu karang yang berdiri kokoh dan tegar. Setiap sapuan air laut yang singgah di antara pasir memanggil hati yang terpendam jauh di dalamnya, membangkitkan kenangan yang pernah terlupakan di dalam lautan ingatan. Angin malam berbisik lembut, membawa aroma asin dari laut yang tak terbatas. Di bawah langit gelap yang berkilauan dengan gemerlap bintang, rindu menjadi sahabat yang setia dalam kesendirian.

Kisah-kisah yang pernah terlupakan mengalir seperti sungai yang beranak-pinak di dalam benak, memenuhi hati dengan kehangatan dan kepedihan di masa lalu. Mata yang terpejam mengejar bayang-bayang yang terlunta-lunta, mencoba menangkap guratan yang telah tergerus oleh waktu. Dan di tengah riak-riak kehidupan yang terus berubah, rindu tetap berdiri, seperti mercusuar di tengah badai, memandu langkah-langkah yang terdampar menuju kembali ke pelabuhan yang dulu pernah mereka panggil, rumah.

***

"Nak..." Satrio sedang bersimpuh di bawah kaki ibunya, ia sedang meminta restu, yang mungkin saja ketika restu itu diberikan, ia akan menjadi sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya, atau boleh jadi, restu itu akan menjadi kendaraan menuju kesuksesan.

"Iya, Buk..."

"Jangan lupa ibadah, jaga iman kamu," ucap ibunya sambil menitikkan air mata.

Satrio sebenarnya tidak ingin beranjak dari kampung yang telah membesarkannya, dia juga merasa berat melangkahkan kakinya jauh dari dari ibunya, apa lah daya Satrio, semua pemuda di kampungnya pergi merantau, ada yang bekerja menjadi kuli bangunan proyek jalan tol, ada yang bekerja sebagai pelayan toko-toko elektronik di Glodok, ada juga yang menjadi kuli panggul di pasar Tanah Abang.

Seharusnya dua minggu yang lalu dia ada di kampung, tapi, dia memilih untuk pergi bersama seorang perempuan yang sudah lama dikenalnya, dia mengenal perempuan itu sejak pertama kali tiba di Jakarta, berkat perempuan itu, kehidupan Satrio tidak lagi sama, semenjak merantau dia lupa segalanya, lupa ibadah, lupa iman dan lupa diri, dua minggu yang lalu, ibunya sakit, dia malah menyuruh Sulastri adiknya yang mengurus ibu mereka.

Lima tahun sudah, Satrio tidak berjumpa dengan ibunya, ada-ada saja alasannya, itu pun dia mengabari Sulastri melalui pesan singkat, Satrio pun menjadi buah bibir di kampung, tetangga kanan dan kiri sibuk mengulas namanya, dari uraian singkat hingga analisis yang membuat perbincangan mereka semakin tak berujung.

Tiada hari tanpa bergunjing tentang Satrio, bukan salah mereka, Satrio juga yang menyebabkan mulut-mulut mereka menari-nari bersama kata-kata yang terus menerus di asah, mungkin tajamnya kabar burung yang beredar di kampung itu lebih tajam dari pada silet, tua, muda, besar, kecil, semua berujar, semua mengeluarkan pendapatnya masing-masig, ada yang mengatakan hal yang baik, namun, tidak sedikit pula yang mengatakan hal buruk.

Sulastri seling sekali mengeluh, dia kesal dengan ocehan yang beredar tentang Satrio, tetap saja Satrio tidak bergeming, dia tetap tidak pulang, Satrio tidak pernah lupa dengan ibunya, setiap hari ulang tahun, Satrio selalu mengirim hadiah, tak tanggung-tanggung hadiah yang diberikan Satrio.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline