Lihat ke Halaman Asli

Iqbal Maulana

Mahasiswa

Cerpen "Ketika Soekarno di Ende"

Diperbarui: 4 Juli 2024   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah rumah sederhana di tepi pantai Ende, Soekarno duduk merenung. Angin laut membawa aroma asin yang khas, menyentuh kulitnya yang kecokelatan oleh terik matahari. Di balik wajahnya yang tegar, ada kegundahan yang mendalam. Pengasingan ini terasa berat, jauh dari hiruk-pikuk perjuangan kemerdekaan yang telah ia geluti.

Setiap pagi, Soekarno memulai harinya dengan berjalan kaki menyusuri pantai. Deru ombak dan canda burung camar menjadi teman setianya. Di tengah kesunyian ini, pikirannya tak pernah berhenti bekerja. Ia menulis, membaca, dan merencanakan masa depan bangsa yang ia cintai. Rumah yang ia tinggali bersama keluarganya menjadi pusat kegiatan intelektual. Buku-buku bertumpuk di setiap sudut, dan coretan-coretan ide memenuhi lembaran-lembaran kertas.

Suatu hari, saat sedang duduk di bawah pohon sukun yang rindang, Soekarno melihat sekelompok anak-anak bermain di pantai. Mereka tertawa riang, berlarian mengejar layang-layang yang terbang tinggi di langit biru. Pemandangan itu membuat hatinya hangat. Ia teringat pada masa kecilnya sendiri, penuh keceriaan dan mimpi.

“Pak, bolehkah kami duduk di sini?” tanya salah satu anak dengan penuh sopan.

Soekarno tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja, duduklah.”

Anak-anak itu duduk mengelilingi Soekarno, mata mereka berbinar-binar. Mereka mendengar kabar bahwa pria ini adalah tokoh besar, seorang pemimpin yang diasingkan oleh penjajah. Rasa ingin tahu mereka tak terbendung.

“Pak, apa Bapak rindu rumah?” tanya seorang anak perempuan dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu.

Soekarno terdiam sejenak. “Ya, Nak, Bapak rindu. Tapi Bapak lebih rindu pada kebebasan. Kebebasan untuk kita semua.”

“Bapak sedang memikirkan cara agar kita bisa merdeka, ya?” tanya anak lainnya.

Soekarno tersenyum. “Betul sekali. Setiap hari Bapak berpikir, menulis, dan merencanakan. Suatu hari nanti, kalian akan hidup di negeri yang merdeka, bebas dari penjajahan.”

Mata anak-anak itu semakin berbinar. Mereka mendengar kata-kata yang menggetarkan hati, kata-kata yang penuh harapan. Dari percakapan sederhana di bawah pohon sukun, semangat kemerdekaan mulai tumbuh di hati mereka yang masih belia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline