[caption id="" align="aligncenter" width="590" caption="Savana Sumba. Foto: http://muslimtravelergirl.blogspot.com"][/caption]
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka / Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh / Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda / Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
Sepenggal bait akhir puisi “Beri Daku Sumba” sudah lama berputar-putar pada labirin otak saya. Menunggu jalan keluar. Mewujud nyata. Sang penyair, Taufik Ismail, tahu betul bagaimana saya begitu merindu pada tanah Sumba. Rindu sekali bisa hadir menyesap aroma savana-savana luas dengan kuda-kuda yang melenggang bebas. Rindu sekali dapat bercengkerama dengan pria-pria yang duduk gagah di punggung kuda mahir menggiring gembala. Rindu sekali Sumba bisa jadi nyata.
Sebuah senja pada sebuah awal Januari tahun ini, di Malioboro Jogja. Ribuan kilometer dari Sumba. Saya terduduk di antara lalu lalang pejalan. Di antara hiruk pikuk kendaraan. Di antara realitas bersenang-senang wisatawan. Saya sedang menunggu seorang dia. Kami berjanji bertemu untuk menyusun ‘itenary’ perjalanan. Sebuah perjalanan petualangan yang saya beri tajuk “Kembara Nusa Tenggara”. Sumba menjadi satu wilayah yang akan kami sambangi. Flobamor – Flores Sumba Timor tapi tanpa Alor – pada penghujung akhir Februari.
Tapi, setengah jam sudah saya menunggu. Tak jua datang seorang dia. Ah, bukannya cemas, suasana riuh Malioboro membawa imajinasi saya pada sosok Umbu. Siapakah Umbu? Umbu tidaklah asing dengan Malioboro. Lelaki ini juga tidaklah asing tentang Sumba. Karena Umbu lah, Malioboro dan Sumba menjadi wilayah yang sangat dekat dan akrab. Ribuan kilometer tak lagi berjarak. Umbu adalah “Presiden Malioboro”. Umbu adalah legenda puisi dari Sumba.
Nama lengkapnya Umbu Wulang Landu Paranggi. Padanya mengalir darah bangsawan, cucu seorang raja Sumba. Dia dilahirkan di Kananggar, Waingapu, NTT, 10 Agustus 1943. Meski lahir di Sumba, dia selalu menganggap Yogyakarta adalah tempat kelahiran keduanya. Umbu terlibat membidani dan mengasuh Persada Studi Klub (PSK) di Yogyakarta tahun 1969. Karena kebiasaannya nongkrong di kawasan Jalan Malioboro, dia dijuluki “Presiden Malioboro”. Hingga 1979, Umbu pindah ke Bali.
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu / Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Begitulah pembuka Puisi “Beri Daku Sumba”. Puisi bertahun 1970 ini menjadi persembahan sang maestro sastra Indonesia, Taufik Ismail, kepada Umbu. Seorang lelaki muda asal Sumba yang berkarya di Jogja, yang saat itu sedang menyeruak di jagat sastra Indonesia.
Tapi, bukan karena ingar bingar karyanya. Umbu adalah lelaki sederhana yang gigih merasukkan sukma puisi kepada para remaja. Dia senang menyemai benih-benih puisi di kalangan remaja yang mana mereka tidak harus menjadi penyair. Baginya, puisi adalah kehidupan. Kehidupan adalah puisi. Umbu sama sekali tak berniat mencetak barisan penyair. Sebab, menurutnya, seseorang menjadi penyair adalah pilihan hidup atau panggilan jiwa, bukan hasil cetakan.
Dan hingga kini, Taufik Ismail senantiasa mengiming-imingi saya untuk ke Sumba. Dan, Umbu selalu menanamkan kegairahan mencipta sajak-sajak indah tatkala menginjakkan kaki di Sumba.
Sabana tandus/ mainkan laguku / harum nafas bunda / seorang gembala berpacu(Sabana– Umbu Landu Paranggi)
Tiba-tiba, kelana pikiran saya berujung pada kehadiran seorang dia. Berkerudung ungu dibalut jaket putih semu abu-abu. Sebuah senyum merekah di antara pipi tembem yang merona merah. Ah, biasa saja sebenarnya. Sudah terlalu lama saya menunggu dia. Kami pun lekas menuju sebuah kafe di sebuah pojok Jogja menemui seorang kawan lain yang juga daritadi menunggu. Kami bertiga akan merangkai sajak perjalanan Kembara Nusa Tenggara.
Bersama Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A
Mulanya saya berkelana ke segala penjuru Indonesia ingin tak terkekang. Bebas menggelandang akan dijalankan. Siapa saja tak masalah menjadi kawan berpetualang. Tak masalah juga untuk sendiri berjalan-jalan. Pada intinya, siapapun, bagaimanapun atau apapun bukan menjadi soal untuk menjalankan misi pribadi saya: “Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A”
Hanya, soalnya adalah mengapa Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A.
“Danmencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat ... “ Soe Hok Gie.
Itulah alasan saya mesti mendatangi daerah-daerah di Indonesia, bahkan sampai pelosok-pelosoknya. Saya mesti membuktikan apa yang dikatakan Multatuli sejak abad-abad silam dalam Max Havelaar (1860) bahwa “Kepulauan Nusantara sebagai deretan kepulauan di khatulistiwa yang teruntai laksana zamrud”. Mengenal lebih dekat, lebih intim dengan rakyat, alam, budaya, dan sejarah Indonesia tentu lebih meyakinkan saya tentang Indonesia. Lebih tepatnya, tentang meyakinkan saya mengapa mesti mencintai tanah air saya: Indonesia.
Saya ingin mencintai Indonesia tidak dari sekedar tahu dari namanya: INDONESIA. Namun bisa memetiknya dari tiap kata I, N, D, O, N, E, S, I, A. Memetiknya langsung dari realitas-realitasnya. Membujur dari Sabang sampai Merauke. Melintang dari Miangas sampai Rote. Seperti Jalaluddin Rumi pada The Masnavi mempertanyakan dalam syair “Do names not tell of a reality? Can rose grow from R, O, S, and E?” Tidakkah nama menunjukkan realitasnya? Seperti mawar yang tumbuh dari M, A, W, A, R? Nama hanyalah sekadar nama, tak bermakna, jika tidak tahu realitas yang sesungguhnya.
Kalau sekedar nama, Indonesia hari ini seperti apa yang tersaji di media. Ah, begitu menjemukan dan membiaskan. Mayoritas adalah segala ingar bingar manusia di ibukota. Bukan tentang kebaikan (kalau ada pun itu sedikit). Tapi keburukan, kejahatan, dan kerakusan para manusia. Itulah yang menjadi santapan masyarakat sehari-hari. Bukankah adagium media, “Bad News is Good News”? Saya skeptis pada media. Skeptis tidak berarti membenci, tapi tidak berarti sepenuhnya menyetujui.
Kabar baik dan indah tentang Indonesia pun mulai saya cari. Bukan di media tapinya. Saya mulai mencarinya dengan berkeliling Jogja. Panorama alam, budaya serta kehangatan masyarakat sebegitu mudahnya dinikmati di Yogyakarta. Merapi, Malioboro, Keraton, Boko, hingga Hutan Adat Wonosadi serta pantai-pantai elok di Gunungkidul. Di Jawa Tengah, saya bisa temukan ‘indigenousity” Dieng dengan anak gimbalnya, melengkapi pesona budaya dan alamnya. Dari ujung Barat hingga ujung timur Jawa, pun sudah saya jelajahi untuk menemukan cerita-cerita inspiratif di Baduy sampai Banyuwangi.
[caption id="" align="aligncenter" width="592" caption="Lembah Harau, Sumatera Barat. Tebing penuh pesona. @iqbal_kautsar"][/caption]
Bagaimana luar Jawa? Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A seutuhnya masih memerlukan perjuangan panjang. 34 provinsi di Indonesia begitu banyak. Apalagi ada 1.128 suku bangsa yang tinggal hingga pelosok-pelosok. Atau, 13.487 pulau di seluruh Indonesia yang rasanya tak mungkin dikunjungi semua. Namun, bukankah saya mesti memulainya dari satu langkah. Lao Tzu bilang “Perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama”
Memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A di luar Jawa, saya awali pada dua bulan Kuliah Kerja Nyata di Sumatera Barat. Cakrawala saya tentang kehidupan Minang terbuka. Saya bisa menikmati masakan terlezat di dunia, rendang, sambil memaknai kehidupan matrilineal Minang. Seminggu penuh di Lombok Nusa Tenggara Barat, saya bersama kawan menelisik keindahan alam Pulau Seribu Masjid sembari menelusuri kehidupan Suku Sasak. Di Pulau Bangka, saya ber-solo travelling menikmati batuan granit eksotis di tepian pantai sambil menangkap ironi tambang timah di daratan dan lepas lautan.
Hingga, sebuah sore di Teluk Kendari. Kami, saya dan seorang dia, duduk di tepian laut. Bersantai menuju malam sembari beristirahat selepas bekerja seharian. Saat itu, kami sedang bersama mengerjakan proyek di Sulawesi Tenggara.
“Suka jalan-jalan juga yah?” kataku menghangatkan percakapan. “Iya, tapi tak jauh-jauh. Asalkan bisa menikmati senja” seraya dia memandang lepas lautan yang mulai menghitam.
Ah, sekedar sebuah percakapan biasa saja. Tak ada yang istimewa. Sekedar partner pekerjaan. Esok harinya, pesawat Garuda Indonesia membawa kami pulang ke Yogyakarta transit di Jakarta. Sama juga seperti pesawat yang memberangkatkan ke Kendari untuk merintis cerita.
Dua bulan kemudian. Saya dan seorang dia hadir di Makassar. Kembali bersama dalam satu tim melaksanakan proyek di Sulawesi Selatan. Sebuah sore yang sangat indah, dia mengajak ke Pantai Losari. Katanya, demi menemani melihat sunset sempurna hingga tertelan Selat Makassar. Begitu romantis kalau kami sepasang kekasih. Sayangnya bukan. Saya sekedar sebagai kawan yang dia percayai untuk berbagi kegalauan saat senja.
[caption id="attachment_243450" align="aligncenter" width="560" caption="Pantai Losari Makassar. Sunset istimewa untuk penikmat senja. @iqbal_kautsar"]
[/caption]
Akhir pekerjaan di Makassar, tim kami memutuskan berwisata ke Toraja. Ah, begitu senangnya saya. Ini kesempatan untuk bertakzim pada Tana Toraja, sebuah kawasan yang penuh pesona alam dan budaya di jantung Sulawesi. Tempat yang dikenal sebagai wisata orang mati ini sampai dianggap Patricia Schultz (2000) dalam bukunya, sebagai salah satu dari 1000 tempat yang harus dikunjungi sebelum mati. Toraja pun makin mendekatkan kami. Hingga kedekatan kami berlanjut di pesawat Garuda Indonesia Makassar-Jakarta-Jogja. Saya dan seorang dia duduk bersebelahan kursi.
Namun, kedekatan kami terjalin dalam satu ikatan, setengah tahun berikutnya. Pada sebuah pagi, akhirnya kami memutuskan saling memahami lebih dekat. Pepatah Jawa bilang “witing tresna jalaran saka kulina”. Seseorang suka sesuatu/seseorang karena terbiasa.
Bagi saya sepertinya “witing tresna jalaran saka kelana” lebih tepat. Kami sering berkelana bersama untuk menyegarkan pikiran, memaknai alam dan masyarakat sekaligus mendekatkan diri kami. Ah, tapi dia tak mau kalah. “Witing tresna jalaran saka senja”. Mentang-mentang seorang dia adalah penikmat senja.
Kini, memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A seperti ada suntikan inspirasi baru. Seorang dia ingin saya libatkan menjadi rekan berpetualang menjelajahi Indonesia. Bukankah lebih indah tatkala bisa mengajak orang tersayang ikut memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A, tanah air yang saya cintai? Bukankah lebih indah tatkala dia ikut memiliki misi mencintai tanah airnya, seperti yang saya punyai? Bukannya saya memaksakan. Nyatanya dia juga ingin menjelajahi pesona Indonesia dalam ensiklopedi hidupnya. Tulus menemani. Sebuah kesamaan passion dan cita-cita.
Kembara Nusa Tenggara pun kami rencanakan menjadi pembuka petualangan bersama memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A. Nusa Tenggara Timur dipilih karena setiap jengkalnya menawarkan cerita yang romantis antara manusia dengan alamnya awet sejak berabad silam. Masih banyak dijumpai khasanah tradisi asli masyarakat. Pada alamnya, berserakan panorama yang bergantian savana, gunung api, hutan lebat yang dikelilingi lautan membiru. Sebuah permulaan cerita kami yang kedengarannya romantis nan eksotis.
[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="Festival Pasola di Sumba. www.indonesia.travel"]
[/caption]
Dan Sumba adalah puncak segala pengembaraan kami di Nusa Tenggara. Kami berencana hadir pada Pasola 7 Maret 2013 di Wainyapu, Sumba Barat. Kami ingin menjadi saksi tradisi khas Sumba yang telah menggaung ke seluruh dunia. Menyaksikan ‘perang-perangan’ dua kelompok berkuda. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang ujungnya dibiarkan tumpul. Pasola untuk memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik.
Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga. Yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.(Pramoedya Ananta Toer)
Sumba, (Masih) Sebuah Cita Cinta
Tapi...
Penghujung akhir Januari, sebuah kisah muram terjadi. Bukanlah sebuah cinta yang berakhir di bulan Januari, seperti lagu Glen Fredly. Bukan pula kesedihan karena ditinggal Januari yang berarti memasuki Februari. Peristiwa akhir Januari memaksa kami membatalkan Kembara Nusa Tenggara. Apa gerangan? Maskapai penerbangan yang akan kami gunakan harus menutup usaha karena pailit. Kecewa. Sebuah lara yang tajam menghujam.
Itu artinya kami mesti menunda untuk memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A di Nusa Tenggara Timur. Tertundalah petualangan loncat pulau. Timor – Flores – Sumba.
Sebenarnya, andai kami bisa menggunakan Garuda Indonesia, Kembara Nusa Tenggara tidaklah akan tertunda. Tapi apa daya, dengan kantong sendiri tiket perjalanan Jakarta/Surabaya – Kupang begitu berat. “Ada harga ada rupa,” begitulah pepatah Jawa. Pelayanan Garuda Indonesia memang terbaik bintang lima. Maka, kami mesti menabung lebih banyak dana. Semoga bisa kelak nanti mempercayakan Garuda Indonesia untuk terbang ke Nusa Tenggara. Merealisasikan rindu kami.
Dan, kami masih menabung rindu untuk Sumba.
Menyimpan kangen pada Pasola..
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput / Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala / Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut / Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
Sebait lagi puisi “Berilah Daku Sumba”. Ah, benar-benar terus terngiang di telinga hingga saat ini. Terekam jelas di lipatan-lipatan memori. Saya masih ingat baris-baris indah puisi itu menemani saya menyusun rencana petualangan ke Sumba. Ringkik kuda dan teriakan gembala begitu kentara saat mengiringi pencarian informasi di pulau yang dikenal sebagai Pulau Sandelwood ini.
Sumba ternyata bukan sekadar padang sabana dan ringkikan kuda sandel. Oleh para arkeolog, Pulau Sumba juga disebut sebagai “the living megalithik culture”. Di pulau yang luas wilayahnya 10.710 km², budaya megalitik terus hidup dari 4.500 tahun yang silam. Masih lestari hingga sekarang. Kuburan megalitik mudah ditemukan di halaman rumah warga maupun di setiap perkampungan adat. Bagi orang Sumba, kubur megalitik merupakan lambang kebanggaan atau kebangsawanan.
[caption id="" align="aligncenter" width="558" caption="Suasana kampung adat Sumba. foto: travel.kompas.com"]
[/caption]
Kampung Lai Tarung rencananya merupakan salah satu yang akan kami kunjungi di Sumba. Kampung adat tua di Sumba Barat ini menyediakan batu kubur megalitik yang telah ada dari berabad-abad lalu. Tak kalah eksotisnya, adalah adanya rumah yang berbentuk atap menara dengan tutupan ilalang. Seperti itulah wujud rumah tradisional khas Sumba. Imajinasi kami berada di dalamnya. Membaur sehari bersama warga kampung. Belajar tentang kearifan budaya setempat. Ah, setidaknya kami bisa menyicil imajinasi.
Pesona Sumba juga hadir pada pantai-pantai pasir putihnya. Sumba adalah surga pasir putih, tak kalah dengan Bali Pulau Dewata. Merata di pesisir Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, hingga Sumba Timur, pantai-pantainya memanjakan mata.
Apalagi hadir saat peralihan hari, fajar atau senja. Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut. Dan juga terbenam.Pantai Marosi, Pantai Etreat, Pantai Nihiwatu di Sumba Barat menjadi beberapa pantai yang akan kami kunjungi. Begitu indah rasanya bisa menari-nari berkejaran di atas pasir putih di kolong langit biru. Selain itu untuk menikmati panas Sumba. Bukankah di pantainya, panas khas Sumba bisa mencapai derajat tertingginya? Tak masalah kami gosong. Sudah layak menjadi oleh-oleh kenangan di Sumba.
Baiklah.. Begitulah. Seperti itulah yang membuat kami mendamba Sumba.
Tapi, tulisan di atas masih sekedar di atas kertas. Sekedar secuil narasi rencana perjalanan di Sumba. Masih menunggu untuk terwujud.
Demi menolak lupa, sampai sekarang kami terus setia merawat mimpi untuk menginjakkan kaki di Sumba. Kami masih menumbuhkan asa bahwa kami bisa hadir di tengah savana. Bisa bermain bersama kuda dan para penunggang kudanya. Bisa berinteraksi dengan warga di halaman depan rumah-rumah khas. Bisa tertawa bersama anak-anak lugu dan lucu. Bisa tahu cara menenun kain ikat khas Sumba. Bisa menyaksikan kubur megalitikum. Bisa belajar budaya Sumba, Bisa menikmati khasanah panorama alam. Bisa berlarian di atas pantai berpasir seputih permata. Dan, bisa menjadi saksi tradisi Pasola.
Maka, beri daku Sumba, beri dia Sumba. Beri kami Sumba! Ya Allah, semoga secepatnya. Begitulah sebuah doa kami agar dengan penuh cinta bisa memetik I, N, D, O, N, E, S, I, A di Sumba. Serta, tak tertunda lagi. Agar kami tidak kehabisan asa untuk Sumba.
Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan (Melodia– Umbu Landu Paranggi)
Itulah juga kenapa kami bersabar demi Sumba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H