Lihat ke Halaman Asli

Meretas Jalan Petani Melek Informasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mengapa pekerjaan petani begitu diremehkan? Mengapa petani tidak dipandang seberharga kontribusinya yang ‘menghidupkan’ kehidupan manusia beserta peradabannya? Apa yang salah dengan petani?

Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang sampai saat ini saya masih tidak habis pikir, begitu kuatnya terasosiasikan pada petani-petani di Indonesia. Seakan menjadi seorang petani merupakan kutukan atas ketidak berdayaan. Menjadi petani ibarat pilihan hidup yang ternistakan. Mata pencaharian petani ditempatkan pada ‘kasta’ terbawah peradaban. Jelas ini tak sebanding dengan kemuliaannya. Tidak sebanding dengan kebermanfaatannya. Ironis.

Kembali ke masa SD, atau bahkan TK. Masih terngiang jelas tak ada satupun anak SD, termasuk saya sekalipun, yang bercita-cita menjadi petani saat dewasanya. Semuanya lebih memilih bercita-cita menjadi pilot, pengusaha, dokter, guru, kiai, bahkan insinyur. Bahkan, anak yang bapaknya petani, tak pernah muncul di benaknya untuk bercita-cita menjadi petani, selayak bapaknya.

Malahan, jika orang tuanya adalah petani, pasti ia akan membangun mindset pada anaknya agar kelak saat dewasa tidak menjadi petani. “Nak, kalau dewasa jangan menjadi petani, susah hidupnya. Susah kesempatan untuk naik haji, apalagi beli mobil. Orang juga tidak akan memandang mulia kalau kamu jadi petani”. Itulah realitas yang biasa terjadi pada keluarga petani. Sang anak tak akan sekalipun untuk diarahkan orang tua menjadi petani. Menjadi petani identik dengan menderita dan tertinggal dalam peradaban.

Saya paham benar kenyataan hidup demikian, sebagai hal yang lazim pada keluarga petani. Ini karena saya anak desa, yang pastinya akrab dengan kehidupan keluarga petani. Kakek nenek saya adalah petani. Paman dan bibi sebagian besar bertani. Hanya, ‘beruntung’ bapak dan ibu saya adalah pasangan guru, bukan petani. Namun, saya tak pernah diarahkan untuk bertani. Mengenalnya pun tidak diarahkan. Sepupu-sepupu saya yang orang tuanya petani sering bercerita seperti realitas di atas. Pokoknya jangan menjadi petani!

Identik dengan Kemiskinan

Mungkin ada benarnya orang tua tidak berkehendak anaknya menjadi petani. Berbicara fakta, sebagian besar petani terjerat dalam kemiskinan. Kehidupan petani adalah melarat, lusuh, kotor dan renta. Seakan yang jelek-jelek adalah milik petani. Hidup petani seakan berada pada lingkaran setan (vicious circle). Makanya, agar keluarga petani dapat sejahtera, mereka mengarahkan keturunannya agar tidak menjadi petani. Logis dan praktis bukan?

Berbicara data, petani juga identik dengan kemiskinan. Melihat data BPS, jumlah orang miskin lebih banyak berada di desa, dibanding di kota. Per tahun 2010 ini, jumlah orang miskin di desa adalah 20 juta orang, sedangkan di kota sebesar 11 juta orang. Padahal, kemiskinan di pedesaan sebagian besar hampir persennya ‘dinikmati’ oleh para petani (Azhar Azis, 2009). Dijustifikasi oleh data BPS demikian, maka ketakutan menjadi petani pun semakin kentara. Meskipun sejatinya, petani tidak pernah memahami data-data kemiskinan BPS demikian. Tak cukup berpengetahuan, itulah kiranya karena petani di Indonesia sebagian besar hanya lulusan pendidikan dasar.Namun, data ini tetap saja berdampak pada ‘mindset’ lulusan-lulusan perguruan tinggi untuk antipati menjadi petani, sekalipun ia adalah lulusan fakultas pertanian.

Namun demikian, bukan berarti jumlah orang yang menggantungkan hidupnya di sawah, kebun, tambak atau lainnya yang dapat dikategorikan sebagai petani, berkurang dari tahun ke tahun. Tidak, mereka malah bertambah! Ini tentu suatu anomali hidup: berusaha untuk dihindari, akan tetapi akhirnya jatuh berkubang dalam penghidupan sebagai petani.

Atau lebih tepatnya, ini adalah sebuah keterpaksaan hidup bagi anak manusia, yang tersungkur dalam peperangan persaingan hidup yang makin kejam, yang makin menuntut kualifikasi entah itu strata lulusan formal maupun kemampuan informal lainnya. Anak manusia yang tidak beruntung atau ditakdirkan tidak untuk beruntung ini, akhirnya mau menerima peruntungan menjadi petani, demi mampu melanjutkan hidupnya. Meskipun, lebih banyak terpaksa sejatinya.

Data BPS dapat menjelaskan bagaimana sektor ‘terbelakang’ ini masih menjadi ‘favorit’ bagi lahan penghidupan manusia. Pada tahun 2004, terdapat 40,6 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan sejenisnya. Pada tahun 2009 jumlah itu pun meningkat menjadi 43 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan sejenisnya. Peningkatan ini pun dapat menjelaskan bagaimana pun jua, mata pencaharian sebagai petani akan selalu eksis dan dibutuhkan, meskipun dianggap rendah sekalipun.

Mata pencaharian petani, meskipun dibenci, tetaplah akan selalu abadi. Selama orang membutuhkan makan untuk hidup, disitulah para petani masih diberikan kesempatan untuk memberikan kemuliaannya. Sekarang, daripada kita terus menerus menganggap rendah petani, yang mana itu adalah kelaknatan kehidupan, lebih baik dan beradab kita berupaya untuk mengangkat derajat martabat petani kita. Petani harus diberdayakan dan disejahterakan. Karena di situlah kesejahteraan bangsa Indonesia secara keseluruhan pun terengkuh.

Kebutuhan Informasi bagi Petani

Disadari atau tidak, belum banyak perhatian dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, atas penyediaan informasi pertanian kepada para petani. Terutama mengenai harga komoditas pertanian dan perkebunan. Kebanyakan perhatian pemerintah lebih diarahkan kepada hal-hal seperti penyuluhan, pemberian pupuk ataupun bibit serta regulasi pertanian. Padahal, hal seperti itu tidak menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi petani. Petani memang tercukupi pupuknya, bibitnya, pengetahuan menanam dan juga dilindungi melalui peraturan.

Akan tetapi, petani tetap saja tidak memiliki informasi dan kapabilitas untuk mengetahui harga pasar yang ideal, menentukan harga komoditas serta mengambil keuntungan dari penjualan komoditasnya (Kresnamurti, 2002). Karena tidak memiliki informasi yang relevan dan reliable ini secara mandiri, petani pun bergantung pada harga yang ditentukan para tengkulak. Padahal kita tahu sendiri lah, bahwa harga versi tengkulak ini sangat menguntungkan tengkulak itu sendiri dan petani tidak berkesempatan menerima marjin pendapatan yang wajar.

Maka, bisa dipahami bahwa kemelaratan para petani lebih banyak disebabkan pada kurangnya informasi terkait komoditas yang ditanamnya, terutama mengenai harga jualnya. Petani kita tidak berdaya dalam alur sistem penjualan dan pemasaran komoditas yang ditanamnya. Lantas, ini bisa menjadi jawaban kenapa petani di Indonesia susah untuk sejahtera. Petani tetap berada pada kemelaratannnya, sekalipun ia telah membanting tulang bekerja mati-matian.

Sungguh sangat mengibakan sekali, petani yang menanam dengan jerih pengorbanan, bahkan disertai dengan realitas gagal panen. Namun, yang paling mendapat keuntungan adalah para tengkulak dan penjualnya. Akar masalah ini sejatinya ada pada informasi harga komoditas pertanian yang tidak didapatkan oleh petani. Andaikan pun ia mendapatkan informasi harga, belum tentu jua ia bisa mengintepretasikan dan menggunakan informasi harga yang diperolehnya.

Coba lihatlah, harga cabai yang melambung tinggi nyatanya tidak banyak dinikmati oleh para petani. Pada awal tahun 2010 ini, harga cabai per kilogramnya masih sekitar Rp 18.000. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, harga cabai melonjak menjadi Rp 44.000. Saat puncaknya, bahkan harga cabai sempat mencapai Rp 80.000. Gila! Terdapat kenaikan sebesar 125 persen dari awal hingga akhir 2010 ini. Kenaikan ini jauh melebihi inflasi tahun 2010 yang ‘hanya’ 6,3 persen. Maka, sampai-sampai BPS pun geram untuk ‘mengeluarkan’ komoditas cabai dari perhitungan inflasi.

Namun, bukan itu substansinya. Makna yang bisa kita telaah sejatinya adalah apakah kenaikan sebesar 125 persen tersebut bisa berdampak pada kenaikan petani cabai sebesar 125 persen juga. Nyatanya tidak demikian. Teman saya yang kebetulan menjadi petani cabai di Kabupaten Magelang, membagikan pengalamannya bahwa kenaikan harga cabai yang menggila itu tidak berdampak signifikan pada pendapatannya. “Naik pendapatannya sih naik, tetapi tidak sampai dua kali lipatnya lebih seperti kenaikan harga cabai di pasaran.” Itulah nasib sang petani. Ia masih saja menderita atau lebih mujurnya tidak berhasil pantas sejahtera meskipun harga komoditas yang ditanamnya naik melonjak tinggi.

Petani tidak pernah menerima kenyataan manis atas melonjaknya harga cabai ini. Penyebabnya, petani terlampau menerima harga yang terlalu rendah dari pembelinya. Paling maksimal, petani cabai menerima harga setengah dari harga jual di pasar. Maksimal hanya setengahnya! Padahal harga itu belum dikurangi dengan kos-kos produksinya, seperti pembelian bibit, perawatan tanaman, pengadaan obat hama dan pupuk, kos tenaga kerja hingga pengadaan air. Bisa dibayangkan, tidaklah besar sejatinya marjin keuntungan yang diperoleh para petani cabai. Itu pun baru komoditas cabai yang saat ini menjadi primadona, bagaimana dengan komoditas pertanian lain yang harganya naik ‘biasa’ saja. Jelas, semakin kecil keuntungan yang dinikmati petani.

Realitas di lapangan ini makin meneguhkan bahwa petani nyatanya bukanlah pihak yang menerima manfaat terbesar atas komoditas yang ditanamnya sendiri. Lebih banyak manfaat itu dinikmati kepada tengkulak dan distributor lain. Oleh karena itu, benarlah kata Bayu Kreshnamurti (2002) bahwa peranan informasi harga komoditas sangat diperlukan untuk menyejahterakan petani. Bahkan, mungkin jauh lebih penting ketimbang sekedar penyuluhan-penyuluhan yang selama ini kurang aplikatif.

Operator Seluler Meretas Jalan

Sekarang, yang dibutuhkan adalah bagaimana upaya menyediakan informasi komoditas pertanian ini kepada petani. Ini bukanlah perkara yang mudah karena sebagian petani ‘bersarang’ di pedesaan. Bahkan ada juga yang hidup di daerah terpencil berdinding perbukitan yang terjal. Ini merupakan tantangan yang harus dihadapi, karena bagaimanapun juga informasi sangat dibutuhkan untuk menaikkan derajat kesejahteraan petani.

Perlulah makanya, peran operator seluler untuk ikut serta berpartisipasi untuk menyediakan informasi pertanian kepada para petani. Malahan, penulis beranggapan bahwa operator seluler lah yang menjadi garda terdepan penyediaan informasi.

Alasannya adalah operator seluler lebih terpercaya untuk menyediakan layanan terbaik, yang terjangkau dan dapat diakses oleh masyarakat petani. Bukannya menafikkan peran pemerintah, pemerintah selama ini terlampau birokratis dan kurang atensi dalam perawatan, sehingga tidak bisa terjamin sustainabilitas informasi bagi petani. Namun demikian, pemerintah mesti dilibatkan sebagai pencipta payung hukum agar kepentingan operator seluler ini tetap terlindungi. Harus ada kemitraan strategis antara operator seluler dengan pemerintah dalam hal penyediaan informasi-informasi kepada petani.

Operator seluler bisa mulai meretas jalan kontribusi kepada petani Indonesia, yakni dengan membangun menara BTS yang mampu meng-cover desa-desa pertanian. Ini langkah dasar selayaknya suatu operator seluler ingin memperluas jaringan pelanggan. Hanya saja, upaya pendirian BTS ini tidak semata-mata hanya asal didirikan saja dengan kemampuan jaringan minimal. Daerah-daerah pertanian pun semestinya di-cover minimal jaringan 3 G, agar akses informasi pertanian bisa dilakukan dengan cepat dan berbasiskan internet.

Tidak cukup hanya dengan berdirinya BTS yang berjaringan 3 G. Malahan, upaya itu seakan hanya kulitnya saja. Belum memasuki substansi yang lebih dalam. Bahkan, tidak perlu 3G jika terpaksanya, tidak masalah demikian asalkan operator seluler menyediakan konten informasi pertanian, yang mudah diakses oleh para petani dengan jaringan yang tersedia. Penyediaan informasi pertanian seperti harga komoditas utamanya, bisa bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, BPS, maupun Bulog.

Tak hanya itu, selain mengenai harga, konten informasi pertanian pun dapat seperti informasi teknologi alat pertanian yang dapat diaplikasikan oleh petani, teknik-teknik pengolahan, pemupukan dan pemberantasan hama. Pada intinya, konten informasi tersebut berisikan tentang berbagai hal yang dibutuhkan oleh petani, agar dapat secara optimal bekerja dan memperoleh penghasilannya.

Namun, seperti kita ketahui bahwa sebagian besar petani Indonesia tidak melek informasi, apalagi menggunakan informasi tersebut. Oleh karena itu, operator seluler pun harus bertanggung jawab untuk mengedukasi para petani. Kegiatan edukasi ini lebih dititik beratkan pada bagaimana para petani mampu menggunakan informasi pertanian tersebut. Ini sebenarnya yang lebih penting, karena intepretasi atas informasi sangat diperlukan untuk memberikan pengetahuan kepada petani agar bisa menggunakan informasi pertanian dengan semestinya.

Metode yang bisa dilakukan adalah operator seluler bisa mendirikan stan informasi pertanian di desa-desa atau sentra-sentra pertanian. Upaya ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah desa setempat. Kalaupun tidak bisa mendirikan stan, operator seluler bisa rutin datang ke desa-desa setiap minggu atau bulan, untuk mengedukasi para petani. Pastinya, alternatif kedua ini mesti dilakukan secara berkala agar memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi para petani.

Untuk sentra-sentra pertanian utama, seperti daerah Dieng, Kopeng, dll, ada baiknya operator seluler mendirikan pusat informasi yang berdomisili tetap. Pusat informasi ini digunakan untuk mendekatkan operator seluler kepada para petani agar terjadi interaksi yang lebih intensif. Petani bisa mendapatkan informasi harga komoditas secara lebih jelas. Di sisi lain, operator seluler pun bisa mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dari para pelanggannya, yakni para petani. Akibatnya, masing-masing pun mendapatkan manfaat yang menguntungkan.

Tentu upaya mulia ini tidak akan terlaksana jikalau tidak ada pendanaan yang memadai. Proyek besar ini pun mendapatkan sokongan pendanaan mandiri dari operator seluler. Perusahaan operator seluler pun bisa memanfaatkan mekanisme dana CSR (Corporate Social Responsibility). Dana CSR ini sangat cocok sekali dari segi maksudnya, yakni untuk memberdayakan para petani. Tidak kah sangat mulia bagi perusahaan operator seluler untuk ikut berkontribusi menyejahterakan para petani Indonesia? Tentu sangat mulia sekali, sesuai dengan core competency-nya.

Penutup

Sudah saatnya penderitaan petani di Indonesia ini diakhiri. Masalah klasik yang selama ini menggelayuti pada ketiadaberdayaan petani yakni ketiadaan informasi atas harga komoditas pertanian pun semestinya ditebas. Di sinilah peran operator seluler sangat diperlukan. Operator seluler dapat menjadi pahlawan bagi para petani dengan menyediakan informasi tentang pertanian.

Aksi yang bisa dilakukan pun dapat berupa pembangunan jaringan komunikasi dan informasi sampai ke pelosok desa, utamanya desa sentra pertanian; menyediakan konten informasi pertanian, seperti harga komoditas, teknologi dan lain-lain; mengedukasi para petani tentang bagaimana menggunakan informasi pertanian; dan mendirikan pusat informasi pertanian di daerah-daerah sentra pertanian.

Upaya mulia operator seluler ini merupakan upaya nyata untuk meretas jalan bagi untuk para petani agar melek informasi. Melek informasi ini sangat dibutuhkan oleh petani agar mampu mengangkat derajat kesejahteraannya secara mandiri dan berkelanjutan. Operator seluler pun memiliki kontribusi penting untuk mengangkat derajat petani ke arah yang lebih tinggi. Akhirnya, kita pun tak perlu malu lagi berprofesi menjadi petani. Karena, si petani yang dulu direndahkan kini sanggup menangguk kesejahteraannya. Semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline