Menurut data badan pusat statistik struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh para pelaku usaha mikro dan kecil, dengan 51,3 juta unit atau 99,79% dari seluruh unit yang ada. Dengan perkembangan usaha mikro dan kecil, maka lembaga keuangan seperti koperasi amat berpeean penting dalam mendukung perkembangannya. Sistem koperasi di Indonesia sendiri terbagi menjadi 2 yaitu sistem koperasi konvensional dan sistem koperasi syariah. Dalam sistem koperasi syariah atau sering disebut dengan lembaga koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) dalam masyarakat, akademisi hingga praktisi lebih dikenal dengan BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Faktanya Indonesia memiliki tingkat perkembangan yang sangat signifikan dan dinamis.
Hal ini ditunjukan dengan beberapa indicator operasional seperti asset, funding, financing, maupun jumlah karyawan mengalami pertumbuhan. Bahkan dunia perbankan banyak yang melakukan kerja sama dengan BMT guna menyalurkan pembiayaan kepada UMKM. Pada tahun 2010 diketahui bahwa sekitar 5200 BMT serta mempunyai 10 juta nasabah, sedangkan untuk wilayah penyebaran wilayah jawa masih mendominasi dengan jawa barat sebanyak 637 BMT, jawa tengah 513 dan jawa timur sebanyak 600 BMT.
Jika dicermati dari angkanya sangat besar untuk ukuran lembaga keuangan, namun berdasarkan beberapa penelitian yang ada sejatinya BMT masih ada beberapa kekurangan sehingga belum secara maksimal dalam mendukung UMKM khususunya dalam aspek Good Corporate Governance (GCG). Maka ada beberapa hal yang menjadi kritik yang membangun untuk BMT diantaranya:
- Dalam hal transparansi
- Dalam hal informasi keanggotaan, masih banyak masyarakat yang belum memahami mengenai status anggota mereka di BMT. Hal ini dikarenakan pola pikir masyarakat yang memposisikan diri sebagai nasabah layaknya di dunia perbankan. Karena BMT mengusung sistem koperasi yang artinya setiap orang yang berkecimpung didalamnya adalah anggota BMT tersebut, dengan ketentuan hak dan kewajiban yang telah diatur.
- Informasi kondisi dan pembiayaan, masih kurangnya keterbukaan akses informasi ketika menyimpan atau mengajukan pembiayaa. Hal ini terjadi karena mulanya hubungan antara anggota dan staff koperasi adalah hubungan pertemanan atau personal bukan kelembagaan. Sehingga kedeppanya hal ini menimbulkan resiko.
- Informasi kondisi keuangan yang belum transparan, faktanya dilapangan masih banya BMT yang belum membuka akses kondisi keuangan mereka kepada public.
- Informasi kebijakan yang masih belum teratur, kebijakan dasar operasional BMT sering kali muncul secara dadakan tanpa adanya analisis yang mendalam serta seringkali ikut-ikutan pasar. Kebijakan pernghitungan bagi hasil, margi dan ketentuan simpanan.
- Dalam hal akuntabilitas
- Faktanya banyak BMT yang tumbuh pesat dikarenakan pengaruh tokoh, hal ini bisa menjadi boomerang tersendiri apabila petumbuhannya tidak dibarengi dengan sistem yang menunjang. Karena bisa saja ketika hilangnya ketokohan tersebut maka secara tidak langsung BMT bisa hancur.
- Sistem informasi & teknologi yang masih lemah menjadi kritikan yang tidak aka nada habisnya. Kurangnya peralatan yang memadai dan menunjang dalam perkerjaan seringkali menyebabkan sistem dikerjakan secara manual dan berakibat maraknya kesalahan karena human error.
- Kurangnya profesionalitas dalam pengelolaan, karyawan BMT berkerja hanya berdasarkan contoh-contoh yang telah ada sebelumnya. Sehingga hal ini dapat menunda pertumbuhan BMT ketika ada sesuatu ataupun masalah yang baru. Lambannya dalam beradaptasi karyawan menjadi kritikan yang banyak ditemui dalam pengelolaan BMT.
- Dalam hal responbility
- Dasar hukum koperasi syariah atau BMT masih sangat lemah, faktanya hanya 25 % BMT yang terdaftar secara illegal. Serta banyak BMT yang belum menjalankan sistemny sesuai regulasi yang ada.
- Kurangnya relevansi antara produk, akad dan implementasi menyebabkan kurangnya kepercayaannya masyarakat pada BMT. Hal ini disebabkan edukasi produk, akad dan implementasi diantara karyawan sendiri amat sangat lemah. Faktanya jatah pelatihan di BMT hanya dilakukan 2 kali dalam setahun. Sehingga amat jauh berbeda dengan perbankan yang terus menerus meng upgrade dengan melakukan pelatihan minimal 2 bulan sekali.
- Dalam hal indepedency
- Badan independen, belum adanya badan independen khusus yang mengawal operasional BMT selain audit eksternal.
- Profesionalitas pengelola, masih banyaknya BMT yang dikelola berdasarkan kekerabatan menjadi penyebab agak sussahnya membangun profesionalitas
- Fairmess
- Status karyawan, status yang masih belum jelas ataupun kontrak seringkali menjadi penyebab keluar masuknya karyawan secara berkala atau pergantian karyawan. Selain itu senioritas yang masih sangat kental menyebabkan sistem reward dan punishment tidak berjalan semestinya.
Maka dalam menyikapi beberapa kritikan tersbut perlunya rekomendasi ataupun saran guna memperbaiki kinerja BMT sendiri, yaitu:
- Pemerintah dalam hal ini kementrian koperasi dan regulator OJK perlu merumuskan suatu regulasi dan kebijakan yang tepat bagi BMT. Dalam hal ini khususnya hal pengembangan sumber daya manusia dan aspek permodalan.
- Selama ini perkembangan BMT hanya dikawal oleh asosiasi perkumpulan BMT, peran yang masih kurang maksimal diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam pengembangan BMT. Hal-hal seperti standarisasi SOP, SOM dan sistem informasi yang digunakan , akses peorgram yang terjangkau dalam pendanaan serta standarisasi audit internal maupun eksternal menjadi penilaian terstandar yang dapat mengukur kinerja dan tingkat kesehatan BMT.
- Pentingnya komunikasi yang rutin dan berkala antara stakeholder BMT terkait, antara pemerintah, praktisi, pakar, akademisi dan masyarakat pengguna BMT fslsm mengembangkan BMT.
- Perlunya belajar lembaga keuangan BMT dan komparasi dengan Negara lain.
sumber riset ilmiaha analisa BMT bu Euis Amalia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H