Liburan panjang mempunyai dampak yang begitu besar, dari uang, ekonomi, kendaraan hingga keletihan. Namun ada beberapa hal yang seringkali tidak dibahas yaitu aspek silaturahim yang semakin lama semakin memudar. Mengapa demikian?
Hidup dalam keluarga bukan hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak akan tetapi lebih dari itu. Ayah memiliki kakak dan adik serta orang tua bahkan ayah memiliki beberapa paman dan bibi. Begitu dengan Ibu maka tidak heran ketika momentum acara-acara besar seperti perayaan agama, perayaan nikahan maupun hal lain seringkali ajang berkumpulnya sebuah keluarga besar.
Namun uniknya banyak diantara kita yang tidak akrab dan saling mengenal dalam keluarga besar tersebut apalagi keluarga besar yang notabenenya berbeda tempat tinggal bahkan yang tinggal di luar negeri. Dimulai pertemuan yang jarang hingga kendala bahasa dan adat istiadat menjadi alasan utama betapa jauhnya hubungan saudara dalam keluarga besar.
Bahkan faktor kekayaan dan kecerdasan seringkali menjadi momok dan adu gengsi antar saudara dalam keluarga besar. Contohnya ada beberapa keluarga yang mendoktrin anaknya agar tidak terlalu sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarga yang notabenenya miskin dan bodoh. Sehingga memicu saling tidak mengenalnya dan jarak antar cucu dan sepupu dalam keluarga besar.
Memang tidak terhindari harta dan tahta selalu menjadi momok yang selalu hadir dalam permasalahan dalam keluarga besar. Hal-hal yang sering terlontar ketika bertemu pun selalu relatif sama yaitu sekolah dimana? Kuliah dimana? Kerja dimana ? perusahaan apa? Jabatannya apa? Hingga tinggalnya masih mengontrak atau rumah sendiri? Atau ketempat kumpul keluarga besar naik apa? Kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Begitulah realita walaupun secara biologis mereka masih dalam satu garis keturunan yang sama namun kesenjangan sosial sudah terbentuk. Mungkin inilah indikator isu kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia.
Hal ini belum terlalu parah jika isu kesenjangan sosial dalam keluarga ditambah dengan hal pembagian waris. Layaknya sebuah drama kolosal hingga drama akbar akan terjadi, perselisihan, perkelahian secara dingin maupun amarah bahkan pembunuhan. Namun jika ditarik sejarah mereka semua sejatinya pernah merasakan masa kecil bersama dengan segala keluh kesah dan kesedihan hingga kebahagiaan. Lantas kemana semua kenangan tersebut?
Ego dan tidak ada rasa kepemilikan dalam menjaga silaturahim keluarga besar menjadi faktor utama selain faktor jabatan, kekayaan dan kecerdasan menjadi faktor pendukung timbulnya perpecahan. Tidak sedikit masalah keluarga yang pada akhirnya menjadi suatu hal yang normal dimulai dari enggan menyapa, berkunjung kepada keluarga yang lebih miskin ataupun membeda-bedakan status menjadi dampak perpecahan.
Faktanya, saudara kandung maupun saudara dalam keluarga besar hanya sekedar teman namun berbanding terbalik dengan teman akrab seringkali sudah dianggap seperti saudara kandung.
Mengapa demikian?
Faktor kedekatan dan pertemuan yang sangat sering menjadi hal terpenting ketika seseorang mulai akrab dengan teman. Dimulai dari kecocokan dalam mengcurahan segala keluh-kesah hingga menjadi pendengar setia disaat masalah datang silih berganti. Bahkan masalah pendidikan terutama teman yang selalu mendukung ketika sedang datang masa-masa sulit merupakan hal yang sering dijumpai ketika melakukan persahabatan atau berteman akrab.
Tidak hanya disitu isu perekonomian khususnya ketika datang masa-masa kantong kering, sering kali temanlah yang paling dominan membantu dibandingkan saudara kandung ataupun saudara dalam keluarga besar. Faktor status sosial merupakan isu penyebab teman lebih diutamakan dibandingkan saudara. Susah, sedih, senang tanpa sebab akibat dan terkadang melebihi rasa ikhlas dan pamrih merupakan kelebihan teman daripada saudara.