Selain aspek legalitas dan hukum, aspek target pangsa pasar juga perlu dikritisi. Mengapa demikian? karena jika menyasar masyarakat pedesaan sejatinya tabungan pos bukanlah pemain utama dalam hal pengumpulan dana dari masyarakat. Adanya koperasi berbasis pedesaan, BMT atau Baitul Mall wa Tamwil yang menjamur disetiap desa dapat menjadi kompetitor utama dalam program ini. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, Koperasi yang ada per 31 Desember 2014 bahwa jumlah Koperasi di Indonesia sebanyak 209.488 unit terdiri dari Koperasi aktif 147.249 unit (70,28%) dan Koperasi tidak aktif atau koperasi yang benar-benar tidak aktif dari segi usaha maupun organisasi sebanyak 62.239 unit (29,72%). Hal ini dapat menjadi perpecahan konflik kepentingan dan persaingan yang semakin ketat guna mengumpulkan dana dari masyarakat.
Bahkan kompetitor lain seperti BMT, menurut ketua Asosiasi BMT Se-Indonesia (Absindo) Aries Muftie memperkirakan ada 5.000 BMT di Indonesia. Jika tiap BMT punya empat cabang ada 20 ribu cabang BMT dan jika tiap BMT punya 100 nasabah saja, ada dua juta nasabah BMT. Hal ini juga menambah persaingan program ini, selain koperasi dan BMT sejatinya sudah ada bank nasional yang bermain di sektor pedesaan seperti Bank Rakyat Indonesia juga menjadi kompetitor yang tidak bisa dianggap remeh. Sehingga kedepannya program tabungan pos ini hanya menjadi tanggungan pemerintah saja namun sepi peminatnya.
Jika menelaah dari pemberitaan media masa, kedepannya tabungan pos akan dikelola sendiri oleh PT Pos Indonesia, tidak bekerja sama dengan bank namun dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adanya rencana program susulan seperti asuransi pos berskala mikro yang akan diusung oleh pihak PT Pos Indonesia.
Sejatinya menambah deretan program yang telah diusung oleh OJK seperti Jaring (Jangkau, Sinergi dan Guideline), Laku (Layanan Keuangan) Mikro, Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif), dan Simpanan Pelajar (Simpel). Sehingga dalam hal ini tabungan pos sebenarnya menjadi tumpang tindih atas program yang telah ada dan menjadi tugas tambahan bagi OJK guna mengawasi transaksi keuangan. Dimana program yang telah ada belum cukup teruji kualitasnya dalam meningkatkan keuangan yang inklusif.
Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat merupakan hal yang sangat vital guna mensukseskan program tabungan pos. Masih rendahnya angka pendidikan di Indonesia menjadi pekerjaan rumah yang paling utama. Hal ini diperkuat dengan publikasi Badan Pusat Statistik dalam indeks pembangunan manusia menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2014, rata-rata lama sekolah penduduk 25 tahun keatas di Indonesia hanya mencapai 7,73 tahun atau setara dengan kelas VII.
Selain itu dengan target pangsa pasar masyarakat pedesaan, maka jarak tempuh yang lumayan jauh cukup menguras dana transportasi yang besar. Oleh karena itu dalam mensosialisasikan dan mengedukasi diperlukannya tenaga ahli yang mumpuni dan dana yang besar. Masih banyak hal-hal yang harus disempurnakan sebelum program tabungan Pos dijalankan sehigga sesuai dengan harapan dan tidak menjadi program percobaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H