Meskipun tidak sefasih orang Arab, aku bersyukur bisa membaca Alquran. Sejak kecil aku diajari membaca Alquran secara intensif, mulai dari huruf Hijaiyah, kata, kalimat, juz amma, surat Al-Baqarah, hingga keseluruhan surat. Setiap tahun kadang mengkhatamkan satu kali, kalau lagi mood bisa dua-tiga kali. Terus, pernah juga aku coba menghafalkannya, tapi tidak pernah berhasil kecuali beberapa juz (dan sekarang sudah lupa semuanya).
Namun, ada yang patut aku sesali. Pengalaman pertama membaca Alquran sama sekali tidak ada kaitannya dengan arti maupun makna. Aku tidak pernah diajari membaca Alquran dengan arti maupun maknanya. Akibatnya, saat ini aku membaca Alquran tanpa tahu maknanya. Aku membacanya seperti waktu aku kanak-kanak di saat guru memintaku untuk membacanya dengan suara keras.
Kini, aku masih mempertahankan kebiasaan itu, entah mungkin sampai tua. Dan betapa sulitnya mengubah kebiasaan itu. Aku sudah nyaman dengan membaca seperti ini, tidak perlu bersusah payah untuk mengetahui artinya. Toh membacanya saja sudah mendapatkan pahala. Lihat kawan, kemalasanku bisa aku tutupi dengan dalih pahala. Hebat, bukan?
Oh Tuhan, ternyata caraku membaca Alquran hingga kini nyaris sama dengan yang dilakukan anakku saat ini. Oh malunya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H