Indonesia. Negeri yang kaya. 17.000 lebih pulau. Ratusan jenis satwa dan tumbuhan endemik. Kopi, teh, dan rempah-rempah yang semerbak baunya hingga ke semenanjung Iberia. Kekayaan bahari hingga barisan gunung menjadi paku bumi alami yang puncaknya menampilkan betapa eloknya negeri di atas awan.
Puluhan jenis barang tambang sumber cuan dan energi--entah bagi segelintir orang atau seluruh rakyat negeri ini. Kebudayaan sosial yang beragam. Suku, agama, ras yang walaupun berbeda-beda tetapi sudah satu karena ikatan yang dibuat para pemimpin negeri, Bhinneka Tunggal Ika. Sungguh, Indonesia adalah negeri yang kaya.
Namun, dibalik kekayaan yang telah Tuhan berikan ini, muncul satu pertanyaan besar, Benarkah kekayaan itu untuk bangsa ini? Satu pertanyaan besar ini tentunya tidak berdiri sendiri. Berbagai pertanyaan kecil berada di kaki satu pertanyaan besar ini.
Pertanyaan kecil, yang sebenarnya bermakna besar pula. Karena ini menyangkut kesenjangan sosial-ekonomi serta kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan sebagai generasi penerus, saya merasa bertanggung jawab terhadap nasib bangsa ini kedepannya. Maka dari itu, muncullah karya dalam bentuk tulisan ini.
Kembali ke pertanyaan. Apakah kekayaan itu untuk bangsa ini? Saya rasa jawaban yang paling tepat adalah belum sepenuhnya. Mari kita lihat, dari pemanfaatan barang tambang saja terlebih dahulu. Salah satu dari dua tambang emas terbesar di dunia ada di Indonesia. Tepatnya di Tembagapura, Papua.
Tetapi apa yang terjadi? Selama kurang lebih setengah abad kekayaan emas Indonesia di Tembagapura dikeruk oleh asing. Indonesia (rakyat Indonesia) hanya mendapatkan segelintir dari kekayaan alam yang dikeruk di tanahnya sendiri. Memang saat ini sudah di nasionalisasi. Saham sebesar 51% sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Kinerja pemerintah ini tentunya layak di apresiasi. Tetapi, tulisan kali ini tidak membahas poin tersebut. Poin yang ingin dibahas adalah selama kurang lebih 50 tahun, kekayaan sendiri, hasil bumi sendiri, mereka yang menikmati.
Itu baru dari sektor tambang. Bahkan hanya satu dari puluhan jenis barang tambang yang ada di Indonesia. Kita belum berbicara soal tembaga, minyak bumi, hingga batubara. Tetapi, satu contoh diatas saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa bangsa ini masih dijajah.
Kita beralih ke sektor lain. Mari berbicara soal sektor perkebunan. Menurut data dari Sawit Watch, 7,8 juta hektare lahan sawit di Indonesia adalah kepunyaan asing. Ini sama dengan lebih dari 50% luas lahan sawit di Indonesia. Modal asing bahkan bisa masuk sampai 95% atas rekomendasi Menteri Pertanian. Modal ini untuk usaha industri hasil perkebunan seperti Gula Pasir, Pucuk Tebu, Teh Hitam/Teh Hijau, Tembakau Kering, Cengkeh dan masih banyak lagi.
Di sektor properti kita juga kecolongan. Investor asing yang sangat besar datang dari negeri Tingkok. Memang Indonesia bukan yang terbesar bagi Tiongkok. Karena pada dasarnya Tiongkok memang tidak terlalu suka beremigrasi ke Indonesia akibat trauma genosida etnis 1965 dan 1998. Tapi, pada kenyataannya, dewasa ini Tiongkok menyerbu Indonesia.
Kita berfokus pada bidang properti. Melalui perusahaan-perusahaan seperti China Sonangol Land, Wuzhou Investment Group, Phoenix Property, Country Garden Holdings Co Ltd, dan masih banyak lagi, Tiongkok menapaki kaki nya di sektor properti ibu pertiwi.
Yang lebih miris lagi, Indonesia adalah negara yang disebut sebagai negara agraris. Bahkan disebut juga sebagai negara maritim. Dua status yang menunjukkan bahwa Indonesia kaya sumber daya pertanian maupun perairan. Tetapi, apa yang terjadi pada sektor pangan? Hampir semua kebutuhan pangan kita impor dari negara lain. Beras, kedelai, singkong, biji gandum, tepung terigu, bahkan jagung pun kita impor dari Vietnam. Memang, menstabilkan harga bahan pokok serta kebutuhan akan cadangan bahan pangan ketika terjadi bencana adalah alasan diberlakukannya kebijakan impor.