Lihat ke Halaman Asli

Raysandie Iqbal Wardana Putra

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 23107030140

RUU Penyiaran, Kebebasan Pers Terancam?

Diperbarui: 4 Juni 2024   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Demo RUU Penyiaran - sumber : Tribunnews

Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang sedang dibahas di DPR RI menjadi topik hangat dan kontroversial di Indonesia. RUU ini bertujuan untuk memperbarui Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran agar lebih relevan dengan perkembangan teknologi dan media digital saat ini. Namun, beberapa pasal dalam RUU ini memicu kekhawatiran tentang potensi ancaman terhadap kebebasan pers dan kontrol yang lebih ketat terhadap konten media digital.

Isi dan Kontroversi Pasal dalam RUU Penyiaran

Salah satu isu utama yang menimbulkan kontroversi adalah pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa jurnalistik dari Dewan Pers ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pasal 42 ayat 2 dalam RUU ini menyebutkan bahwa KPI akan menangani penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran, yang sebelumnya merupakan domain Dewan Pers berdasarkan UU Pers 1999. Hal ini dianggap tumpang tindih dan dapat melemahkan peran Dewan Pers.

Pasal lain yang mendapat sorotan adalah Pasal 50B ayat 2 huruf (c) yang melarang penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Larangan ini dianggap membatasi ruang lingkup dan kebebasan jurnalis dalam melaporkan isu-isu penting yang membutuhkan penyelidikan mendalam. Poin ini dinilai tumpang tindih dengan Pasal 4 huruf q UU Pers yang menegaskan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.

Selain itu, Pasal 50B ayat 2 huruf (k) melarang konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, yang dikhawatirkan dapat digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi.

Pengawasan Terhadap Media Digital

RUU Penyiaran juga memperluas cakupan pengawasan KPI hingga ke platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Disney+Hotstar, dan layanan over-the-top (OTT) lainnya. Hal ini berarti bahwa semua platform digital ini harus mematuhi peraturan penyiaran yang berlaku untuk media konvensional. Pengawasan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari konten digital yang dianggap merusak karakter dan nilai-nilai bangsa Indonesia.

RUU Penyiaran akan memberikan kewenangan yang absolut kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI yang selama ini mengawasi TV dan radio akan diperluas untuk mengawasi konten digital juga melalui Pasal 1 Ayat (9) dan Pasal 17 revisi UU Penyiaran, meski tidak di rinci Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis mengatakan,"Baik live streaming maupun rekaman, podcast, dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV" kata Abdul, (19,03,2024)

Reaksi dan Kritik

Banyak pihak, termasuk jurnalis dan organisasi kebebasan pers, mengkritik RUU ini. Mereka khawatir bahwa aturan baru ini akan mengarah pada sensor yang lebih ketat dan menghambat kebebasan pers. Dewan Pers dan organisasi seperti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menyatakan bahwa RUU ini bisa membawa Indonesia kembali ke masa di mana penyensoran dan pembredelan karya jurnalistik menjadi hal yang biasa.

Kebijakan ini nantinya tidak hanya mengekang Jurnalis tetapi juga Content Creator yang berkarya di dunia digital karena KPI akan mendapatkan wewenang tambahan untuk menentukan kelayakan konten di platform-platform digital, baik visual maupun audio

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline