Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Iqbal

Mahasiswa Komunikasi

Bimbang Keluar Masuk Zona Nyaman

Diperbarui: 18 Desember 2020   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kira-kira beberapa minggu yang lalu saya baru saja mendengarkan dan menonton obrolan dalam podcast PONARI di kanal Youtube Fery Irwandi ~anda bisa menontonya terlebih dahulu untuk mendapatkan pemahaman ocehan saya secara paripurna~.

Dalam podcast tersebut dibahas kenapa orang-orang atau kita sering mendapati ujaran mengenai  keluar dari zona nyaman. Bahkan menjadi salah satu lagu yang sangat populer. Padahal jika kita sudah berada pada zona nyaman, mengapa kita harus keluar dari zona itu. Dan untuk mendapatkan zona nyamannya saja sudah cukup susah.

Saya sepenuhnya setuju dengan apa-apa yang dibicarakan dalam podcast tersebut. Bahwasanya untuk keluar dari zona nyaman tentu membutuhkan keberanian yang besar bukan. 

Atau malahan harus menjadi orang yang nekat. Tapi bagi saya yang belum menemukan zona nyamannya, hal yang pertama harus dilakukan adalah menemukan dimana zona nyaman saya. Apakah saya sudah nyaman dengan kondisi hidup sekarang ini, apakah saya sudah bangga dengan pencapaian saat ini, lalu bagaimana dengan kebutuhan ekonomi dan lain-lainnya ? sudahkah itu cukup dan layak serta puas ? kenapa harus buru-buru keluar dari zona nyaman.

Oh ya, Zona nyaman  setiap orang juga berbeda-beda kita tidak bisa memukul rata dan menyamakannya. Standar untuk merasa cukup dalam hidup saja berbeda-beda. Adakalanya kita bisa nyaman dengan hal-hal kecil dan sepele namun  bisa membuat kita bahagia.

Yang jelas, menurut saya mungkin masih banyak diluar sana yang belum mendapatkan zona nyamannya. Kita masih berjuang untuk menemukan dimana zona nyaman yang  bisa membuat saya, kita, dan kalian  merasa adem ayem dan tak perlu khawatir dengan hari esok. 

Bagi saya untuk lulus tepat waktu kemudian mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak, kebutuhan sehari-hari bisa terpenuhi dengan baik bahkan bisa membiayai mimpi dan hobi saya itu sudah menyenangkan sekali ~walaupun saya belum pada posisi itu ya~ dengan begitu saya tidak perlu untuk mati-matian hidup idealis mengejar passion yang mungkin tidak bisa menghidupi saya atau harus hidup dengan penuh lara agar bisa mendapatkan filosofi hidup. Tidak masalah saya tidak hidup dari apa yang saya senangi asalkan apa yang saya senangi itu masih bisa saya lakukan sampai tua nanti.

Itulah yang membuat saya juga  terheran heran dengan apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Kabupaten saya baru saja rampung menyelenggarakan pemilihan bupati. Ada tiga pasangan yang ikut dalam laga pertarungan  tersebut.  Saya sempat iseng mencari jumlah harta kekayaan dari ketiga paslon yang ikut, penasaran dengan berapa banyak harta yang diperlukan jika ingin ikut dalam kontestasi politik di tingkat daerah. 

Dan saya cukup tercengang ketika melihatnya, karena dari masing-masing ketiga paslon tersebut semuanya memiliki jumlah  harta diatas 10 miliar. Angka yang cukup besar sepertinya di kabupaten saya, apalagi salah satu paslon nya bertempat tinggal satu kecamatan dengan saya dan itu membuat saya terkejut sampai dua kali, ternyata ada orang yang satu kecamatan dengan saya dan kekayaannya  masyallah luar biasa.

Tapi bukan perkara banyak sedikitnya jumlah harta yang membuat saya penasaran setengah mati dengan pemikiran orang-orang ini. Kenapa mereka mau untuk mengajukan diri mencalonkan menjadi bupati dengan biaya yang tidak sedikit tentunya, dan belum tentu menang pula. 

Bukankah itu sebuah pertaruhan yang menjanjikan sekaligus mengerikan. Kenapa mereka tidak menikmati saja hidupnya dengan uang yang sudah terkumpul, atau melebarkan sayap bisnisnya dengan harapan menambah pundi kekayaan. Atau melakukan hobi dan kesenangan yang dahulu belum bisa dilakukan semasa belum mempunyai uang. Saya paham orang perlu memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, Tapi apakah itu memang benar-benar perlu ? apa alasannya ? dan serius saya menanyakan hal itu karena saya tidak punya cukup uang untuk menduduki hierarki itu. Ya, hidup memang penuh dengan belokan dan tanda tanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline