[caption id="" align="aligncenter" width="239" caption="Pura Giri Mulyo"] [/caption] Tak banyak mungkin yang tahu bahwa di pedalaman Wonosobo terdapat komunitas Hindu kecil, bahkan di kalangan umat Hindu sendiri. Wonosobo tidaklah populer menjadi destinasi tirta yatrakarena tak banyak informasi mengenai keberadaan dan eksistensi umat Hindu di sana. Saya sendiri tak akan pernah tahu jika tidak diberi tahu oleh Bapak Joko Hariyanto, seorang guru Agama Hindu di Banyumas, saat kunjungan saya ke kantung umat Hindu di Klinting Banyumas. Di sebuah dusun bernama Jurangjero, kata beliau, terdapat beberapa umat Hindu yang merupakan peralihan dari penghayat kepercayaan Mintaraga.
Akses menuju Dusun Jurangjero sebenarnya sangat mudah, namun karena saya awam akan daerah Wonosobo maka saya serahkan pencarian dusun tersebut ke Google Maps. Apesnya, Google Mapshanya bisa mencari nama tempat yang diketahui nama desanya. Pekerjaan saya bertambah untuk mencari nama desa letak Dusun Jurangjero. Untunglah saya menemukan nama desa tersebut, bahkan lengkap dengan nama pura dan pemangku yang ada di dusun tersebut lewat gowinda.wordpress.com.
Dusun Jurangjero, Desa Candiyasan, Kecamatan Kertek adalah detail letak kantung umat Hindu etnis Jawa di Wonosobo. Sekitar 100 meter dari gapura Dusun Jurangjero, saya langsung menemukan sebuah pura yang menurut situs yang saya sebutkan sebelumnya bernama Pura Giri Mulyo. Hal yang saya lakukan kemudian adalah bertanya kepada warga sekitar, di sebelah pura kebetulan terdapat sekelompok warga yang sedang menjemur tembakau, letak kediaman salah satu mangku pura yaitu Bapak Warsito. Memang template orang Jawa yang ramah, pertanyaan saya tidak saja diberikan sebuah jawaban namun juga diberikan tawaran untuk diantarkan ke kediaman sang mangku pura.
Kediaman Mangku Warsito tampak seperti rumah Jawa kebanyakan, berbentuk Joglo dengan sebuah pintu utama setinggi orang dewasa. Dan seperti kebanyakan manusia Jawa juga, saya disambut dengan hangat, walaupun belum pernah saling bertemu dan mengenal, oleh Mangku Warsito. Tanpa kami minta dan tanpa menanyakan maksud kami untuk datang ke sana, beliau langsung bercerita tentang dirinya, umat Hindu sekitar, dan keberadaan pura di Dusun Jurangjero, setelah kami memperkenalkan diri tentunya.
[caption id="" align="aligncenter" width="239" caption="Mangku Warsito"]
[/caption]
Awalnya, warga Dusun Jurangjero serta kebanyakan warga Desa Candiyasan menghayat kepercayaan Mintaraga yang merupakan kepercayaan asli Jawa (Kejawen). Seperti umumnya umat Hindu Jawa yang merupakan peralihan dari kepercayaan Kejawen, tahun 1965 s.d 1966 nerupakan tahun-tahun yang menjadi landmark afiliasi penghayat kepercayaan ke agama-agama yang diakui di Indonesia. Beberapa dari mereka kemudian menganut Hindu walaupun secara sembunyi-sembunyi karena terdapat intervensi tersembunyi dari beberapa pihak. Umat Hindu di Jurangjero sendiri baru mulai berani menyatakan diri sebagai Hindu secara implisit sejak tahun 1997, tahun saat Pura Giri Mulyo mulai dirintis untuk dibangun, walaupun tahun 2004-lah mereka mulai mengaku sebagai Hindu secara resmi. Peralihan menjadi Hindu ini sendiri berlangsung secara damai dan tanpa paksaan. Ajaran Hindu dianggap dekat dengan Kepercayaan Mintaraga yangs ama-sama menjunjung tinggi keberadaan leluhur atau pitara. Eyang Lurah Semar Badranaya sendiri merupakan tokoh utama dalam Kepercayaan Mintaraga yang dalam Hindu disebut Kanjeng Betara Ismaya. Menurut informasi dari Mangku Warsito, umat Hindu di Dusun Jurangjero saat ini berjumlah 43 KK dan tidak hidup mengelompok.
Selain menceritakan tentang umat Hindu, Mangku Warsito juga menjelaskan tentang perekonomian di Desa Jurangjero yang didominasi oleh ekonomi agraris. Mayoritas dari umat Hindu Jurangjero adalah penggarap lahan perkebunan jagung dan tembakau. Ada juga yang bekerja sebagai pedagang sayur dan pengepul sayur seperti salah satu putra Mangku Warsito sendiri. Mengenai jagung dan tembakau ini sendiri, saya memiliki sedikit cerita menarik. Layaknya tamu di rumah orang Jawa, kami disuguhi beberapa kudapan seperti peyek dan teh. Ternyata kudapan peyek kacang tadi dibuat dari tepung jagung yang merupakan olahan sendiri keluarga Mangku Warsito. Teh yang disguhkan untuk saya juga ternyata berasal dari teh di kebun belakang keluarga Mangku Warsito. Dan yang paling menarik adalah saya sempat merasakan panganan karbohidrat alternatif berupa nasi jagung olahan Ibu Warsito. Dipadu dengan sayur sawi yang juga dari kebun sendiri dan sambel hijau yang cabenya juga dari kebun sendiri. Sebuah pengalaman yang tak pernah terlupakan. Sehabis makan, saya juga sempat mencoba rokok tingwe alias linting dhewe yang tembakaunya merupakan olahan lokal Jurangjero. Mangku Warsito sendiri juga merupakan perokok berat yang setiap habis satu batang tingwe langsung melinting batang berikutnya.
[caption id="" align="aligncenter" width="239" caption="Mangku Warsito yang Perokok Berat"]
[/caption]
Melihat dari banyak dan kayanya sumber daya alam yang ada di sekitar umat di pedalaman Jawa, sudah selayaknya mereka tidak merasa minder. Mereka harus berkonsentrasi untuk memperbaiki kehidupan perekonomian mereka sehingga tidak mudah menjadi obyek konversi pendakwah dan misionaris yang jualan pokoknya adalah masalah ekonomi. Dan sudah menjadi tanggung jawab moral kita sebagai umat Hindu yang sudah mapan untuk membantu mereka, tentu bukan dengan memberi uang dan bantuan instan namun dengan memberi penyertaan dan pendampingan dalam perkembangan perekonomian umat.
Ah Jurangjero, terima kasih atas Teh, Sayur, Nasi Jagung, dan Tembakau-mu.
Nasi Jagung