Belakangan ini, setelah era reformasi, berbagai ormas bernuansa lokal bermunculan di Bali. Ada yang mengatasnamakan pelayanan masyarakat, pendidikan, lingkungan hingga yang bersifat kepemudaan. Ormas kepemudaan tersebut mempunyai basis massa hingga ke pelosok desa di Bali. Mereka menggunakan simbol-simbol Hindu, mengaku membela Bali, tapi pada kenyataannya itu hanya tameng untuk melakukan pemerasan secara halus kepada pengusaha besar hingga pedagang kaki lima di Bali. Bahkan lebih mirisnya beberapa pejabat pemerintahan dan pengurus partai di Bali adalah pengurus aktif ormas tersebut. Otomatis ormas tersebut dijadikan tameng oleh pejabat.
Melihat fenomena tersebut, sebagai generasi muda Bali berlatar belakang kearifan lokal dan agama yang mengedepankan perdamaian dan keadilan, tentu kita harus bergerak. Ketika di bangku SMK dan perkuliahan saya sempat mengikuti beberapa kegiatan Gerakan Integrasi Nasional, yang bertujuan merangkul seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan ras dan agama, melalui seminar dan dialog bertema perdamaian. Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya akhir 2010 saya diperkenalkan dengan organisasi kepemudaan sebenarnya, yaitu Rotaract Club of Denpasar yang berkedudukan di Kota Denpasar - Bali. Rotaract Club yang tersebar di berbagai negara di dunia, berafiliasi dengan Rotary International yang mempunyai visi besar menciptakan perdamaian dunia.
Konflik antarormas preman kerap kali terjadi, karena perebutan lahan pemerasan, hingga permasalahan pribadi, puncaknya pada tahun 2015 lalu terjadi kerususan di LP Kerobokan yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Keinginan kuat saya adalah mengembalikan fungsi ormas yang sebenarnya, untuk benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Bali secara umum, tanpa memandang agama & latar belakang sosial berbasis kearifan lokal. Semoga melalui perjuangan saya di Rotaract Club memberikan pembelajaran mulai dari anak-anak tentang pentingnya perdamaian. Kedamaian tidak hanya soal bebas dari masalah kerusuhan, tapi menciptakan damai di dalam diri lewat spiritual.
Karena di Bali sendiri imbas pariwisata hanya menguntungkan sebagian pihak, terutama orang luar Bali bahkan orang asing menguasai berbagai akomodasi pariwisata. Orang Bali banyak yang menjual lahan, uang hasil jual tanah habis untuk konsumtif. Ketiadaan lapangan pekerjaan memicu premanisme, dan orang cenderung menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup. Kesan tradisi yang kaku sering menjadi kendala bagi orang Bali untuk berkembang sesuai dengan kondisi kekinian. Secara pribadi saya ingin menjadi jembatan bagi kawan-kawan untuk belajar lebih dalam tentang tradisi Bali, menghidupkan kembali budaya pertanian yang menjadi karakter masyarakat Bali.
Peranan tokoh agama sangat diperlukan dalam mewujudkan perdamaian dan harmonisasi di Bali. Serta pemimpin Bali wajib menjadi teladan dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama.
Foto: Dok. Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H