Lihat ke Halaman Asli

Banjir di Denpasar, Cerminan Pudarnya “Tri Hitakarana” Masyarakat Bali ?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14246213691000782380

[caption id="attachment_398696" align="aligncenter" width="500" caption="Denpasar Banjir (sumber http://www.balebengong.net/wp-content/uploads/2010/11/denpasar-banjir.jpg)"][/caption]

Jumat 20 februari 2014 kemarin, Denpasar diguyur hujan deras selama beberapa jam. Terhitung sejak pagi hingga siang hari, hujan lebat terus mengguyur ibu kota provinsi Bali tersebut. Seperti yang diberitakan oleh koran Tribun Bali, hujan lebat tersebut menyebabkan hampir sebagian besar wilayah pusat kota Denpasar mengalami banjir hingga setinggi 70 cm. Alhasil, banjir yang sangat jarang atau dapat dikatakan belum pernah terjadi separah ini di Denpasar menyebabkan kemacetan arus lalu lintas yang luar biasa disekitaran kota Denpasar. Para pengguna internet pun ramai ramai mengunggah foto foto banjir tersebut dan menunjukan keheranan mereka.

[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Banjir di Denpasar"]

Banjir di Denpasar

[/caption]

Selama ini, kota Denpasar merupakan cerminan salah satu kota di Indonesia yang penataannya dilakukan dengan berwawasan budaya lokal yang sangat kental. Sehingga banjir kemarin yang terjadi di Denpasar cukup menganggetkan warga kota Denpasar. Berbeda dengan kota Jakarta yang mengalami masalah pelik seperti pemukiman kumuh disekitar bantaran kali atau sungai, di kota Denpasar tidak terdapat pemukiman kumuh seperti itu. Lantas, timbul pertanyaan apakah penyebab terjadinya banjir di kota Denpasar padahal hanya diguyur hujan deras selama beberapa jam saja?

Tentu semua orang akan setuju bahwa penyebab banjir yang terjadi tersebut karena ketidakmampuan air hujan untuk meresap karena kekurangan area resapan. Pertanyaan sekarang apakah penyebab berkurangnya daerah resapan air tersebut? . Terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab utama berkurangnya daerah resapan air di kota Denpasar seperti yang diungkapkan oleh Pakar Tata Ruang Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. Putu Rumawan Salain M.Si kepada koran Tribun Bali [1] kemaren di denpasar.

Penyebab yang pertama adalah pembangunan yang terjadi di Denpasar sudah sangat melebihi kapasitas (over capacity) yaitu sudah sekitar 60 persen dari total luas kota Denpasar merupakan bangunan beton bukan lahan terbuka hijau. Kemudian, tren yang terjadi di masyarakat Bali saat ini adalah tren untuk membeton halaman rumahnya dengan batu atau paving sehingga air hujan tidak mampu meresap secara langsung di halaman rumah akan tetapi langsung mengalir ke drainese atau selokan kecil yang biasanya terdapat disetiap perumahan warga di Denpasar. Akan tetapi, kecilnya daya tampung drainese ditambah dengan banyak warga yang suka membuang sampah di dalam selokan membuat air meluber ke jalanan.

Hal-hal tersebutlah yang diyakini sebagai penyebab terjadinya banjir pada hari Jumat kemarin. Cukup logis bukan ? Akan tetapi permasalahan tersebut bagi orang Bali bukanlah masalah yang sederhana. Sudah diketahui bersama bahwa masyarakat dan penduduk asli Bali terkenal sangat teguh memegang adat dan budaya leluhur mereka. Setiap tindakan, perbuatan dan tingkah laku orang Bali pada umumnya selalu didasarkan pada ajaran moral, sikap dan tatakrama yang berasal dari budaya serta agama yang digariskan secara turun temurun.

Untuk konsep berkehidupan secara umum masyarakat Bali mengenal konsep Tri Hita Karana yaitu suatu konsep yang menjelaskan dan mengatur agar kehidupan masyarakat di Bali dapat berjalan sejalan dan selaras sehingga mampu terbentuk suatu keharmonisan. Nah dalam konsep ini, selain mengatur hubungan manusia dengan Tuhan atau yang disebut dengan “Parahyangan”, hubungan manusia dengan sesama manusia yaitu “Pawongan” , juga mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya atau yang dikenal dengan istilah “Palemahan”. Sehingga muncul suatu pertanyaan, apakah bencana Banjir yang terjadi kemarin di Denpasar, dapat menjadi suatu acuan atau contoh bahwa sesungguhnya konsep “Tri Hita Karana” masyarakat Bali utamanya konsep “Palemahan” sudah pudar atau bahkan seburuk-buruknya telah dilanggar?.

Dalam konsep palemahan, masyarakat Bali diajaran untuk benar benar menjaga lingkungan secara baik. Misalnya dalam suatu aturan membuat perumahan tradisional Bali, yang disebut dengan Asta Kosala Kosali, jelas disebutkan aturan rasio halaman terbuka, jarak antara bangunan yang satu dengan yang lain dan aturan untuk membuat sistem pembuangan limbah. Kasus banjir yang kemarin terjadi tersebut tentunya tidak dapat dianggap sepele. Dapat dikatakan, inilah sebuah contoh nyata bahwa sejatinya konsep Tri Hita Karana yang adi luhung tersebut sudah terkikis dan terlanggar secara perlahan oleh masyarakat Bali sendiri dibalik gagahnya alasan untuk tujuan pensejahteraan masyarakat Bali dengan melakukan proses pembangunan.

[caption id="" align="aligncenter" width="312" caption="Rumah Tradisional Bali"]

Rumah Tradisional Bali

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="Tata Ruang Rumah Tradisional Bali"]

Tata Ruang Rumah Tradisional Bali

[/caption]

Beberapa tahun terakhir, pembangunan terjadi secara besar besaran di wilayah Bali khususnya di wilayah Bali selatan yaitu Denpasar dan Badung. Sebut saja, beberapa pusat perbelanjaan, Pembangunan Tol diatas laut dan juga yang sedang ramai disuarakan untuk di tolak,yaitu reklamasi Teluk Benoa. Sudah sangat jelas, hal ini merupakan suatu bentuk ketimpangan pembangunan. Lihat saja Bali Utara, bisa dikatakan daerah Bali utara sangat-sangat kurang berkembang dan dikembangkan, alhasil penduduk Bali Utara lebih banyak hijrah dan bekerja di daerah Bali selatan. Dampaknya nyata, kepadatan penduduk terpusat di Bali selatan, kemacetan, pembangunan besar besaran untuk menopang ekonomi pariwisata yang terus menggeliat dan juga Banjir.

[caption id="" align="aligncenter" width="614" caption="Pembangunan di Bali Selatan"]

Pembangunan di Bali Selatan

[/caption]

Masyarakat Bali sebaiknya lebih cepat sadar dan mawas diri. Kembali ke jati diri, bahwa pembangunan untuk menopang kesejahteraan masyarakat sah-sah saja asalkan tetap berpacu pada budaya dan adat , dan harus mulai berbenah. Harapannya agar bencana ini dapat segera ditanggulangi sehingga tidak terulang kembali. Bencana banjir kemarin adalah sebuah tamparan untuk masyarakat Bali. Kembali ingat bahwa yang membedakan masyarakat Bali dengan masyarakat lainnya, adalah bahwa masyarakat Bali terkenal sangat teguh memegang dan mengaplikasikan budaya, adat istiadat serta ajaran adi luhung leluhur terdahulu. Ingat bahwa pada mulanya turis dan wisatawan pun berkunjung ke Bali adalah dengan hasrat ingin melihat kehidupan budaya adat dan agama masyarakat Bali bukan ingin melihat menjamurnya resort dan hotel hotel megah yang pembangunannya membabi buta seperti sekarang. Terakhir : jangan tinggalkan Tri Hita Karana.

Sumber informasi

[1.] Tribun Bali : http://bali.tribunnews.com/2015/02/21/ini-kata-pakar-tata-ruang-tentang-banjir-di-denpasar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline