Selebrasi adalah bagian menarik selepas seorang pemain mencetak gol. Beberapa pemain terkenal punya selebrasi yang unik seperti Roger Milla dan Bebeto. Tapi ada juga pemain yang malah mendapat bencana selepas melakukan selebrasi. Bukan hanya pemain, tapi official team.
Gaya selebrasi Gotzhe yang sederhana (foto; brasil2014.kompas.com)
Orang Jerman terkenal sebagai orang-orang yang serius, pekerja keras, disiplin dan tidak banyak bicara. Setidaknya itu yang dikenal banyak orang. Karakter khas orang Jerman ini terbawa sampai ke lapangan hijau. Sejak dulu tim sepak bola Jerman dikenal sebagai tim sepak bola yang punya daya tahan tinggi, tidak mudah menyerah dan bermain seperti sebuah mesin. Sulit membayangkan ada pemain Jerman yang bermain penuh fantasi seperti pemain Brasil meski belakangan mereka sudah punya Mesut Ozil yang tidak murni berdarah Jerman.
Berdisiplin tinggi, serius dan pekerja keras hampir selalu berarti tidak ekspresif. Begitulah yang tergambar dari orang Jerman di lapangan hijau. Lihat saja selebrasi pemain-pemain mereka selepas mencetak gol. Thomas Mueller adalah predator di lapangan hijau, dia juga sudah mencetak 10 gol selama beraksi di piala dunia, tapi lihat caranya merayakan gol. Standar dan sangat sederhana, hanya sekadar berteriak kencang dengan dua tangan yang dibuka lebar. Pemain-pemain lainpun sama, tidak banyak tingkah selepas mencetak gol.
Satu-satunya pemain Jerman yang akan selalu diingat karena selebrasinya adalah Miroslav Klose. Pemain yang aslinya beradarah Polandia itu dianggap spesial karena selain dia sekarang pencetak gol terbanyak di piala dunia dia juga dulu selalu merayakan gol dengan cara bersalto di udara. Di Brasil 2014 Klose mencetak 1 gol untuk menyamai rekor Ronaldo Luiz dan 1 lagi untuk melewatinya. Gol ke lima belasnya dirayakan dengan cara yang khas, bersalto di udara meski hampir saja tidak sempurna dan jatuh dengan posisi yang salah. Satu lagi dirayakan dengan sederhana, cukup meluncur di atas lutut. Mungkin Klose sadar kalau usianya tidak muda lagi, bersalto di udara bisa mendatangkan resiko yang besar.
Memang sulit membayangkan orang-orang Jerman merayakan gol seperti yang dilakukan para pemain dari benua Afrika. Pemain-pemain dari benua Afrika relatif jauh lebih ekspresif dalam merayakan golnya. Kalau Anda ingat nama Roger Milla maka Anda pasti ingat bagaimana gayanya setiap kali habis mencetak gol. Roger Milla akan berlari ke sudut lapangan dan berjoget menggoyangkan pinggulnya sambil menghadap bendera tendangan pojok. Selebrasi ini terkenal di piala dunia 1990 di Italia.
Di piala dunia 1994 giliran Bebeto dari Brasil yang memperkenalkan gaya selebrasi yang lain. Kala itu istri penyerang Brasil ini baru saja melahirkan buah hati mereka, Bebeto lalu merayakan setiap golnya dengan gaya selebrasi seperti menggendong bayi. Awalnya hanya Bebeto yang melakukannya, belakangan rekan-rekan setimnya ikut merayakan gol Bebeto dengan gaya yang sama.
Francesco Totti juga pernah merayakan gol dengan maksud yang hampir sama. Kala itu dia juga baru saja dikarunia anak dan untuk merayakannya setiap kali sang Pangeran Roma itu mencetak gol dia akan menghisap jempolnya seperti anak bayi yang sedang menyusu. Gaya Totti diikuti banyak pemain lainnya meski belum tentu mereka juga baru dikarunia anak seperti Totti.
Di era 1990an salah satu selebrasi yang paling saya ingat adalah gaya selebrasi penyerang Real Madrid kala itu, Raul Gonzales. Setelah menikah, sang Pangeran Madrid itu selalu merayakan golnya dengan cara mencium cincin kawin di jari manisnya. Raul memang terkenal sebagai lelaki yang setia pada pasangannya. Terbayang betapa bahagia sang istri melihat selebrasi Raul.
Selebrasi membawa bencana.
Tapi selebrasi selepas mencetak gol ternyata juga bisa membawa bencana. Ini dirasakan oleh Giorgios Katidis, pemain muda dari Yunani. Dalam satu pertandingan klub AEK Athens, Katidis merayakan gol dengan cara yang tergolong diharamkan di mayoritas negara Eropa. Katidis mengangkat satu tangannya seperti tata cara penghormatan tentara Nazi Jerman. Selebrasi Katidis ini sontak menjadi bencana karena kapten tim nasional muda Yunani ini dianggap fasis dan tidak sensitif terhadap penderitaan warga Yahudi Yunani. Meski menolak tuduhan itu Katidis tetap dijatuhi hukuman tidak boleh memperkuat tim nasional seumur hidup.
Salam a la Nazi memang sesuatu yang diharamkan di mayoritas negara Eropa karena dianggap membuka luka lama perang dunia kedua. Apalagi pesepakbola memang dilarang untuk menyampaikan pesan-pesan politis di lapangan hijau. Mereka harus a politis dan hanya fokus pada pekerjaan sebagai atlit saja.
Katidis bukan satu-satunya pemain yang disangka fasis, sebelumnya ada nama Di Canio yang selalu dituduh fasis. Sebenarnya bukan rahasia lagi kalau Di Canio memang pengagum tokoh-tokoh fasis, di lengannya ada tatto tulisan DUX yang mengacu pada julukan tokoh fasis Italia, Benito Mussollini. Semasa di Lazio Di Canio juga sering merayakan gol dengan memberi salam fasis, tindakan yang sering mendatangkan kontroversi tapi masih bisa diterima di Italia.
Bencana saat merayakan sebuah gol ternyata juga bisa dialami oleh ofisial tim, bukan hanya pemain. Saat pemain Inggris Daniel Sturridge mencetak gol penyeimbang kala melawan Italia di menit ke 37, Gary Lewin seperti juga semua pendukung Inggris ikut melompat kegirangan dari bangku cadangan. Lewin adalah fisioterapis tim nasional Inggris. Sayang ketika asyik melompat kegirangan, satu kaki Lewin menjejak di atas botol air minum dan membuat pendaratanya tidak sempurna. Engkel Lewin keseleo, bahkan kata orang cideranya hampir sama parahnya dengan cidera yang diderita Eduardo Da Silva yang ditekel Martin Taylor.
Cideranya Lewin jadi salah satu bencana konyol yang terjadi karena selebrasi. Kabar terakhir, Lewin sudah mulai membaik setelah ditangani para ahli sesaat setelah bencana terjadi.
Selebrasi Kolombia.
Seperti yang saya bilang di atas, pemain asal benua Afrika memang selalu ekspresif kala mencetak gol. Kalau dulu ada nama Roger Milla maka setelahnya ada banyak nama-nama lain yang juga punya cara unik merayakan gol mereka. Di piala dunia 2002 kita masih ingat bagaimana pemain-pemain Senegal berjoget bersama dalam koreografi yang menarik setelah mereka mencetak gol.
Piala dunia 2010 yang dilangsungkan di Afrika Selatan dibuka dengan selebrasi pemain-pemain Afrika Selatan selepas mencetak gol ke gawang Mexico. Mereka berbaris berjajar dan mulai menari dengan menggerakkan tangan dan pinggul. Pemain Afrika lain yang terkenal dengan tariannya selepas gol adalah Asamoah Gyan dari Ghana. Gyan menari dengan gaya menghentak dan patah-patah. Mirip tarian robot tapi lebih bertenaga.
Kalau selebrasi dengan tarian robot sendiri mengingatkan kita pada Peter Crouch, striker Inggris yang jangkung dan kurus. Crouch pernah melakukan selebrasi dengan gaya tarian robot, tapi selebrasi itu hanya dilakukan sekali dan tidak menjadi trade marknya.
Di piala dunia 2014 ini hampir tidak ada selebrasi yang tergolong unik, kecuali kalau mau memasukkan selebrasi Gary Lewin yang membawa bencana itu. Asamoah Gyan masih ada tapi dia hanya mencetak 1 gol yang membuatnya hanya sekali menunjukkan selebrasinya yang terkenal itu. Selebihnya tim-tim Afrika tidak banyak melakukan selebrasi unik. Oh, kecuali Aljazair yang melakukan selebrasi bersujud di lapangan. Selebrasi yang bagi orang Eropa dan Amerika dianggap cukup aneh.
Satu-satunya negara yang punya koreografi selebrasi menarik mungkin hanya Kolombia. Sejak gol perdana mereka di babak penyisihan grup pemain Kolombia sudah memperkenalkan tarian massal dalam merayakan gol mereka. Sayang tarian pemain Kolombia ini masih terlihat spontan dan tidak terlihat terkoordinir dengan baik. Tapi lumayanlah, tarian mereka membawa warna seru di piala dunia kali ini.
Bagaimana dengan Anda? Ada selebrasi pemain yang paling Anda ingat? [dG]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H