Lihat ke Halaman Asli

Kritik Seni dan Obat Kuat

Diperbarui: 27 Oktober 2024   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto koleksi pribadi buku Apresiasi Seni 1985 Input sumber gambar

Kritik Seni dan Obat Kuat

Merespon artikel Prof. Dr. Fuad Hasan berjudul "Karya Seni dan Kritik Seni". Artikel bagian dari buku Apresiasi Seni diterbitkan Pasar Seni tahun 1985. Dengan cermat dan seksama, saya menelaah perspektif berkesenian Profesor Doktor Fuad Hasan, khususnya tentang kritik seni rupa. Mengacu pandangan para filsuf analitik (filsafat bahasa) pada abad ke-20, soal tindak berbahasa (kritik seni) ada juga ucapan atau kritikan di luar ranah logika, di luar ucapan, konstatif. Ukuran dari ucapan konstatif atau proposisi logis adalah benar atau salah. Sedangkan ukuran dari ucapan di luar ranah logika, biasanya diucapkan dalam bahasa sehari-hari (ordinary language), adalah layak atau tidak layak. Ucapan yang di luar ranah logika tersebut, menurut J.L. Austin (1911 -- 1960)--seorang profesor di Oxford dan pelopor filsafat bahasa dalam konteks komunikasi sehari-hari--disebut ucapan performatif (performative utterance). Definisi ucapan performatif menurut J.L. Austin adalah ucapan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan oleh pengucap dan dengan mengungkapkannya berarti perbuatan tersebut diselesaikan pada saat itu juga.

Hal yang dimaksud layak atau tidak layak dalam kriteria ucapan performatif jangan diartikan menjadi santun atau tidak santun, tetapi terkait dengan kompetensi (kelayakan atau otoritas) dari subjek pengucapnya. Jadi, ukuran dari ucapan performatif sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kebenaran dari ucapan, tetapi tergantung pada kompetensi dari orang yang mengucapkannya. Misalnya, "Saudara Mac Aroni, saya putuskan Anda sebagai sosok ikonik seniman Pasar Seni Ancol dan diwajibkan berkarya di sisa usia Anda." Ucapan performatif di atas menjadi layak bila diucapkan oleh seorang yang paling memiliki wewenang di Pasar Seni Ancol (sebagai subjek yang berkompeten atau para tetua seni rupa Indonesia yang berwenang dalam suatu musyawarah besar kebudayaan).

Contoh lainnya, yang menurut pengamatan saya sering terjadi di Medsos atau platform (grup) pesan singkat (yang sebenarnya bisa dipanjangkan) adalah ucapan-ucapan yang bernuansa nasihat keagamaan atau moral. Misalnya:

1. "Jangan posting tentang kecelakaan" (Bila hendak dirumuskan ke dalam bentuk ucapan performatif, maka akan menjadi: "Saya menyarankan kepada Anda silakan posting tentang kecelakaan.")

2. "Orang yang sering posting kecelakaan cenderung jiwanya radikal. Sedangkan orang yang sering posting kelucuan cenderung jiwanya humoris ." (Bila hendak dirumuskan ke dalam bentuk ucapan performatif, maka akan menjadi: "Sering-seringlah posting kecelakaan dan kelucuan.")

Kedua ucapan performatif di atas tak ada kaitannya dengan kebenaran moral atau agama, tetapi terkait pada "tindak pengucapan" (speech acts) oleh subjek pengucapnya. Artinya, kedua ucapan performatif itu dinilai "layak" diucapkan jika dan hanya jika subjek pengucapnya tidak merugikan, tidak menimbulkan perbedaan status sosial, iri hati, sirik kepada orang lain. Jika sebaliknya, maka ucapan performatif di atas menjadi "tidak layak" diucapkan oleh subjek pengucapnya. Namun, bukan berarti isi kalimat yang diucapkanya benar atau salah, hanya layak atau tidak layak diucapkan oleh subjek pengucapnya.

Kajian tentang ucapan performatif berada dalam wilayah sosiolingusitik. Artinya, sebuah ucapan performatif terkait dengan soal cara berkomunikasi di tengah masyarakat. Jadi, ucapan performatif seperti yang dirumuskan J.L. Austin mencoba melepaskan tindak berbahasa dari kriteria kebenaran (korespondensi, koherensi, dan pragmatis), serta semata "mengulur" nilai suatu ucapan dari otoritas subjek pengucapnya. Menurut saya di sinilah letak kelemahan dari ucapan performatif. Kenapa? Karena nilai ucapan performatif tidak ditentukan dari benar atau salahnya suatu ucapan, melainkan dari subjek pengucapnya. Dan hal sedemikian, di dalam logika klasik, termasuk ke dalam kategori ucapan yang mengandung "sesat pikir karena otoritas".

Persoalan untuk menilai ucapan performatif apakah layak atau tidak layak timbul ketika orang mau "mengukur" kompetensi dari subjek pengucap. Bagaimana mengukurnya? Jika ucapan performatif terkait persoalan moral--misalnya: "Jangan mencuri!"--diucapkan oleh seorang seniman yang merangkap jadi ulama atau pendeta (orang-orang yang dianggap memiliki otoritas moral dan keagamaan oleh ekosistem tertentu) apakah itu berarti ucapannya layak diucapkan? Bagaimana bila sebenarnya tidak tahu bahwa si seniman yang merangkap ulama atau pendeta itu telah melakukan tindakan pencurian dana bantuan masyarakat atau jamaahnya (yang beberapa waktu kemudian memang terbukti di pengadilan)? JIka ucapan performatif dikaitkan dalam konteks sosiolinguistik (tindak berbahasa di dalam kehidupan sosial), maka konsekuensi dari "layak" atau "tidak layak" pada suatu ucapan performatif akan berakibat pada kepercayaan atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap pribadi si pengucap. Namun, bila soal keterpercayaan masyarakat tidak dikaitkan dengan kriteria kebenaran, maka yang mungkin terjadi adalah "manipulasi ucapan". Ucapan performatif mungkin layak diucapkan oleh subjek pengucap jika dan hanya jika masyarakat atau individu yang jadi sasaran pengucap tidak tahu "siapa sebenarnya" si pengucap. Bila begitu, jelas sekali, ada unsur kontradiksi di dalam ucapan performatif yang bisa menghasilkan kesimpulan absurd.

Saya pikir ucapan performatif itu hanya soal "persuasi", sama seperti iklan, yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, tetapi hanya tergantung pada apakah Anda percaya atau tidak percaya kepada si pengiklan. Dan soal keterpercayaan itu bisa dibuat dengan cara mengiklankan satu iklan tertentu secara berulang-ulang melalui pelbagai media massa, sehingga tertanam dalam benak konsumen bahwa konten dari iklan tersebut adalah benar. Namun, ketika konten iklan itu ternyata tidak benar, maka kepercayaan masyarakat akan langsung hilang. Bila begitu, bila konten iklan tersebut tidak sesuai kenyataan, maka ucapan performatif dalam iklan tersebut--misalnya dalam bentuk iklan yang menggunakan kesaksian individu tertentu--adalah sebuah penipuan kepada publik dan bukan merupakan tindak berbahasa yang baik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline