Lihat ke Halaman Asli

AI Mengancam Kreativitas?

Diperbarui: 22 Oktober 2024   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sketsa karya kak Mozley koleksi pribadi Input sumber gambar

AI Mengancam Kreativitas?

Kecanggihan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI), menawarkan kemudahan berkreasi, dalam sekejap bisa menghasilkan gambar yang tak terpikirkan sebelumnya, hanya dengan memasukkan prompt atau kata perintah. Kedatangan teknologi berbasis metadata program komputer menjadi paradigma sekaligus kabar gembira khususnya bagi para kreator, bahkan masyarakat awam yang sebelumnya tidak memedulikan kehadiran kecanggihan teknologi. Termasuk saya yang turut merayakan kehadirannya. Saya membaca pelbagai analisis dan presentasi yang memercayai dan memuja kecanggihan AI. Hanya sedikit yang apriori dan bersikap (masih) menolak mengakui kemampuan AI Art Generator dalam menghasilkan karya dengan kecepatan yang luar biasa. Sebuah program untuk menciptakan karya seni berdasarkan input teks atau gambar. Beberapa waktu lalu, saya pernah mencoba membuat beberapa gambar adegan dengan memasukkan kata perintah (prompt) dengan bahasa tulis sederhana di kolom teks yang tersedia. Dalam hitungan detik, menghasilkan gambar sesuai susunan teks seperti yang saya inginkan, bahkan lebih-mengejutkan, tak terbayangkan sebelumnya. 

Di hari berbeda, kembali saya mengujinya, meminta AI Art Generator membuat sebuah esai sastra gaya prosa menggunakan diksi bahasa Indonesia sesuai KBBI: "Buatkan esai sastra gaya prosa merapah ke Pasar Seni Ancol. Deret kios menyerupai galeri seni. Memamerkan karya-karya kalpasastra, elusif. Pucuk-pucuk tumbuhan menjeremba. Dersik angin di atas pergola. Kukila-kukila berkicau dikara. Meloka sebuah lukisan menggambarkan matahari terbenam di tepi pantai Ancol, nuansa langit kirmizi. Wanodya berdaksa lengkai, paras terdayuh, berdiri, diam, memandang aksa sabitha".

Sekira 10-15 menit, AI Art Generator tidak merespon kata perintah yang saya buat. Beberapa detik kemudian muncul pemberitahuan !"Maaf, sepertinya terjadi kesalahan. Mari mulai dari awal!". Percobaan kedua hingga ke empat mendapatkan jawaban sama. Saya memastikan jaringan internet tidak bermasalah. Kemudian berpindah ke jaringan internet Wi-Fi agar lebih stabil. Tetapi tetap saja AI Art Generator tidak merespon dan memberikan jawaban serupa. 

Mengapa saya harus mengujinya sedangkan banyak orang sedang memuja. Semisal begini: Saya bertemu seorang gadis asing, paras cantik, berdaksa lengkai kemudian mengajak kenal lalu mengatakan kesungguhan cinta, bersedia hidup bersama dengan mengutip satu firman Tuhan tentang bab menikah. Kalau saja saya napsuan kemudian tanpa menguji kebenaran dan kesungguhan ucapannya, sama saja seperti saya menikahi orang gila dari tepi jalan.

Itulah yang kemudian membuat saya berpikir keras: mungkinkah anak-anak muda yang cerdas dan berbakat dalam bidang pemrograman komputer, linguistik, logika dan epistemologi, teknik, teori khaotik dan sistem kompleks dari pelbagai negara itu belum sepenuhnya menyerap apa yang telah Kurt Godel lakukan dan wariskan? Anak-anak muda yang didapuk cerdas, dan layak bekerja di The Allen Institute for Artificial Intelligence (AI2), yang kantor pusatnya berada di Seattle, Amerika Serikat, itu adalah fakta kecerdasan yang tak terbantahkan? Atau anak-anak muda itu belum sepenuhnya memasukkan, input bahasa Indonesia sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ke data base atau dalam program metadata mereka sehingga kesulitan mendeteksi teks bahasa Indonesia sesuai KBBI? Sehingga tujuan pengujian saya dapat menghasilkan sebuah artikel bergaya prosa (karya sastra) dengan memasukkan teks kosakata bahasa Indonesia sesuai KBBI, tidak dapat direspon atau dibaca. Sedangkan saya tahu, AI Art Generator adalah sebuah sistem pembelajaran mendalam (deep learning) untuk menganalisis data dan menghasilkan tulisan artikel atau gambar yang sesuai dengan deskripsi kata perintah atau contoh yang diberikan oleh pengguna. Tetapi itu tidak terjadi. 

Dasar dari rasa keingintahuan saya berangkat dari peristiwa yang saya baca di laman Website Kemendikbud Ristek, yang mengatakan: "Bahasa Indonesia pada tahun 2023 telah tercatat di 86 universitas di luar negeri yang memiliki program bahasa Indonesia, di antaranya Universitas Harvard (Amerika Serikat), Universitas Al Azhar (Mesir), Universitas Viena (Austria), Universitas Sofia (Bulgaria), Universitas Nottingham (Inggris), dan Universitas Negeri Moskow (Rusia).

Membaca pula: "Pasca ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO pada 2023. Kemudian program di 2024 akan menambah entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hingga sejumlah 200.000 lema. Diharapkan hingga tahun 2045, bahasa Indonesia dapat diajarkan di 128 perwakilan RI di 94 negara. Karena minat lembaga pendidikan di luar negeri yang membuka program bahasa Indonesia semakin meningkat."

Bergidik bulu kuduk saya ketika mengetahui A. A. Navis yang merupakan sastrawan dan kritikus budaya kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia mendapat pengakuan internasional dengan kontribusi besar terhadap kesusastraan Indonesia dan peradaban dunia. Salah satu karyanya yang paling berpengaruh adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.

Lebih merinding lagi ketika ditetapkannya peringatan 100 tahun A. A. Navis oleh UNESCO. Peristiwa itu terjadi pada penutupan Sidang Umum ke-42 UNESCO di Paris, Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengumumkan A.A. Navis sebagai salah satu tokoh Indonesia yang ulang tahun ke-100-nya dirayakan sebagai peringatan internasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline