Lihat ke Halaman Asli

Satu Abad Gendhon Humardani: Sang Perajut Perbedaan

Diperbarui: 27 September 2024   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukisan karya Paul Hendro Input sumber gambar

Satu Abad Gendhon Humardani: Sang Perajut Perbedaan 


Oleh: Ipon Semesta

Merayakan satu abad Gendhon Humardani (Sedyono Djojokartika Humardani), sang perajut perbedaan, sang penyulan sobekan, sosok "komposer" yang mendayagunakan secara optimum komposisi gandrung, friksi, dan pelbagai elemen benang perbedaan pandangan dalam berkesenian menjadi kain harmoni indah dalam satu simphony memukau, tarian yang memesona. Perayaan Gendhon Humardani, seperti denting gamelan, perbedaan itu padu, menggema di hati-hingga kini.

Katanya "Kreativitas adalah denyut nadi seni. Tanpa kreativitas, seni hanyalah tubuh tanpa jiwa." Kutipan yang mencerminkan filosofi hidupnya yang selalu mendorong batasan dan mencari inovasi dalam setiap karya. Karena sejatinya "Seni adalah cermin kehidupan. Melalui seni, kita dapat melihat diri sendiri dan dunia sekitar dengan lebih jelas." Gendhon Humardani berhasil menciptakan simphony kehidupan yang penuh warna dan makna.

Sosok master kelahiran Solo 23 Juni 1923  itu tidak menyelubungi, tidak memanipulasi pikiran orang dengan kabut misteri perbedaan. Ia tidak hendak menjadi penguasa pikiran orang lain. Pula mencipta kebersamaan yang ilusif. Sebaliknya, Ia telah membuka kabut itu, menyingkap hijab itu, agar sesiapa mampu langsung menatap-yang sebelumnya tak bisa di "tatap" dan ditangkap dengan "kedua mata yang jernih". Tan Hana Dharma Mangrwa (berbeda tapi tetap satu, tak ada kebenaran yang mendua).

Puncak keharuan Sang Pemersatu itu pecah pada Ahad 7 Agustus 1983. Iringan lirih gending Tlutur dan lengking haru Sekar Ageng mengiringi kepergian abadinya. Sebuah isotopi keharuan yang melapangkan jalan pulang. Melewati satu abad, betapa wajahnya mengajari obor tetap menyala! Nampak cerlang pada pipi malam begini gelapnya. Seperti permata mewah di telinga orang. Sang pemilik wajah yang lebih terang ketimbang obor yang menyala di aula.

Tiba-tiba, seperti angin mendesau. Saya tersadar dari pengamatan lukisan potret Gendhon Humardani Sang Perajut Perbedaan yang sedang dilukis. Suara itu serupa tretek hentakan kempreng, Breeennnggg! Pemilik suara cempreng itu bertanya: "Bagaimana menurut Anda, lukisan ini keren nggak?" tanyanya. "Keren" jawab saya singkat seperti lazimnya apresian karya seni.

"Apanya yang keren? Dalam aspek apa lukisan itu dibilang keren? Dan, kenapa lukisan bisa jadi keren?" kembali pertanyaan-pertanyaan itu menyentak saya. Ya, apa sebab sebuah lukisan bisa dibilang "keren", bisa jadi indah, bisa disebut sebagai karya seni? Pertanyaan-pertanyaan itu benar-benar mengganggu saya. Saya bertanya balik: "Kalau Anda mengamati sebuah lukisan, apa yang pertama kali Anda mau dapatkan, pendalaman tematik, kepiawaian tehnik atau ekspresi dari momen estetiknya?"

"Ekspresi dari momen estetik," jawabnya.

Oke, sepakat. Kita perhatikan kembali ekpresi dari momen estetik Paul Hendro itu yang sedang menghadirkan secara serentak sosok Gendhon Humardani sebagai objek-tematik dalam satu ruang-waktu secara dialektik yang dihadirkan secara tiba-tiba menumpuk-numpuk renung batin dalam satu kanvas, menciptakan jeda dengan patahan-patahan ekpresi untuk menghadirkan lompatan-lompatan makna, demi menghadirkan kekosongan dalam satu bidang kanvas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline