Catatan tahun 1992 di majalah Pesona Impian dengan judul "Proses Kelahiran Pasar Seni Ancol" ini menurut saya menarik dan penting sebagai usaha/upaya merawat arsip peristiwa lampau di PSA, di tahun-tahun sebelumnya sebagai alternatif pemetaan, refleksi perayaan yang telah dilalui-menawarkan lini waktu yang telah terlampaui hingga kini-representasi yang perlu didekontruksi atau yang perlu direlevansikan ke masa kini--mendatang sebagai penguat warga (seniman) PSA yang memahami serta menguatkan muasal/para pendiri PSA yang terlibat dari awal hingga keberadaan PSA hari ini-dari waktu ke waktu yang tak pernah sudah "memberi".
Ipon Semesta - Ketua PERSEGI (Persaudaraan Seniman Gambar Indonesia)
--------------------------------
PROSES KELAHIRAN PASAR SENI ANCOL
Oleh: Media Mada
Coba saja kalau ada orang ditanya mau kemana? Dan lalu dijawab ke Pasar Seni. Tanpa ditanya lagi dan juga tanpa menunggu jawabannya, orang itu pasti pergi ke Ancol. Karena semua orang sudah tahu, dan sampai hari ini, Pasar Seni Ancol masih populer keberadaannya.
Tetapi, kalau ditanya sudah berapa tahun usia Pasar Seni Ancol?. Percaya pasti jarang orang yang tahu, hanya satu orang dari satu juta orang yang akan menjawab 17 tahun. Benar/hari ini, tepatnya tgl. 28 Februari 1992 usia Pasar Seni Ancol, tepat 17 tahun! Nah, untuk itu akan saya kutipkan beberapa catatan dari buku harian salah seorang pencetus ide berdirinya Pasar Seni Ancol. Ia karyawan Promosi Proyek Ancol PT. Perbangunan Jaya, yang disiplin kerjanya sebagai kreatif dan perancang grafis. Kebetulan alumnus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogya. Dari dirinyalah, diantaranya, embrio Pasar Seni Ancol muncul.
Berikut ini kutipan buku hariannya secara lengkap. Ketka itu sekitar tahun 1974, tepatnya hari Minggu bulan Juni, di ITB Bandung berlangsung "Art Fair" kedua, dan hanya sehari. Pak Suluh Darmadil pimpinan Promosi Ancol waktu itu, mengajak saya untuk datang nonton. Udara Bandung nyaman dengan cuaca cerah, kami berdua berkeliling melihat kios-kios seniman yang bertebaran di seputar kampus ITB. Suasana marak oleh pengunjung yang membeli maupun yang sekadar berhari Minggu, "stil", santai, dan akrab. Juga diramaikan dengan kesenian rakyat dan kamaval
seniman. Pada saat kami berdua sampai di depan kios Sanggar Bambu yang menjual gerabah modern, produk kreativitasnya dengan proses pembakaran tradisional di desa Pedes, kami melihat ada sketsa hitam putih karya Affandi yang akan dilelang, sedang dipajang di kios Sanggar Bambu tersebut. Tepat di depan karya Affandi ulah kami berdua bertemu dengan Pak Sutisna, seorang arsitek pimpinan Divisi Perancangan Ancol (sekarang sudah pensiun), yang juga sedang nonton Art Fair. Ketika itulah kami bertiga ber bincang-bincang mengenai macam macam hal, terutama yang sedang kami lihat di sekitar tempat itu. Saya mulai usul kepada Pak Tisna, "Pak Tis gimana kalau di Ancol dibuat semacam Art Fair ini? kan tempatnya memungkinkan. Misalnya di pinggir pantai dengan atap rumbia (kepe-kepe), diatas pasir putih. Eksotis sekali kan Pak Tis". Saya tambahkan pula, kalau ITB punya areal lokasi beraspal, Ancol punya segudang pantai. Jadi Art Fair kita bisa seperti di Hawaii.
Saya usulkan hal itu kepada beliau, karena Pak Tisna adalah pimpinan Divisi Perancangan Ancol waktu itu. Maksud saya agar beliau ikut mendukung mengenai pengadaan lokasi, dan syukur-syukur kalau bisa dimasukkan ke dalam master plan Proyek Ancol. Mendengar usulan tersebut Pak Tisna terdiam, tapi tersenyum simpul dengan gayanya yang khas...... Juga Pak Suluh Darmadji tersenyum-senyum penuh arti dan kelihatan cukup antusias. Betul-betul dialog singkat yang bersejarah.