Lihat ke Halaman Asli

Perempuan, Politik, dan Ketidakadilan Gender

Diperbarui: 11 Agustus 2024   22:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membangun demokrasi mustahil dilakukan tanpa memperjuangkan ruang politik yang di dalamnya mengakomodasi hak seluruh warganegara, baik laki-laki maupun perempuan. Ironisnya, dalam konteks sistem politik nasional, perempuan kerap hanya dijadikan sebagai warga kelas dua. 

Ada begitu banyak hambatan dan rintangan ketika perempuan berniat terjun ke politik praktis.
Politik praktis kadung dianggap sebagai wilayah maskulin yang tabu dimasuki oleh perempuan. Konsekuensinya, partisipasi perempuan dalam politik praktis terbilang rendah dan mengakibatkan kurang terakomodasinya kepentingan mereka dalam keputusan politik. Nyaris setiap kebijakan politik diambil dari sudut pandang laki-laki dan miskin perspektif gender di dalamnya.

Upaya menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua dalam ranah politik praktis ini tampak dalam isu pelecehan seksual terhadap perempuan yang mewarnai tahapan awal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Pertama ialah cuitan (tweet) politikus Partai Demokrat (PD) Cipta Panca Laksana. Dalam akun Twitter-nya @panca66, ia menulis, "Paha calon wakil walikota Tangsel itu mulus banget."

 Meski tidak secara eksplisit menyebut nama, namun mudah ditafsirkan bahwa cuitan tersebut menyasar pada salah satu bakal calon wali kota Tangerang Selatan, Rahayu Saraswati. Tafsiran publik itu tentu wajar mengingat Sara (sapaan Rahayu Saraswati) merupakan satu-satunya bakal calon wakil wali kota Tangsel berjenis kelamin perempuan. 

Tidak hanya itu, sebelum cuitan politikus PD tersebut, Sara juga mengunggah foto dirinya tengah berlari dengan mengenakan celana olahraga yang memperlihatkan kaki bagian atasnya. Belakangan, cuitan Panca itu dihapus.

Kasus kedua adalah pernyataan calon Wakil Wali Kota Depok Afifah Alia yang mengaku mengalami pelecehan seksual verbal oleh Imam Budi Hartono, lawan politiknya dalam Pilwakot Depok. Peristiwa itu terjadi pada momen pemeriksaan kesehatan di RS Hasan Sadikin Bandung yang merupakan salah satu tahapan dalam pencalonan Pilkada. Pada momen tersebut, Imam Budi melontarkan kalimat, "Sekamar sama saya saja, Bu Afifah." Ketika dikonfirmasi media, Imam Budi Hartono menyebut ungkapan itu hanya merupakan candaan.

Fenomena Gunung Es

Dua kejadian di atas tidak diragukan lagi hanyalah secuil fakta dari fenomena gunung es yang terjadi dalam konteks pelecehan seksual yang dialami perempuan. Menjadikan perempuan sebagai objek seks dan bahan candaan seksual seolah telah menjadi sebentuk kewajaran yang disikapi secara permisif oleh masyarakat. Tidak terkecuali di ranah politik yang sebagaimana disebut di atas merupakan wilayah yang didominasi oleh nalar maskulinitas.

Persaingan politik, baik di level Pilkada maupun pemilihan legislatif memang dikenal sengit dan kerap tidak ramah bagi keberadaan perempuan. Sebagai entitas yang dipersepsikan sebagai warga kelas dua, perempuan kerap mendapat serangan politik lantaran identitas keperempuanan yang disandangnya. 

Mulai dari komentar miring tentang tubuh, penampilan, dan hal sejenisnya. Hal ini lantas mengaburkan hal-hal substansial yang sebenarnya menjadi isu utama dalam kontestasi politik praktis, seperti program kerja, rekam jejak, integritas, dan ideologi politik yang diperjuangkan.

Jika dibaca dalam perspektif yang lebih luas, pelecehan terhadap perempuan di ranah politik praktis merupakan ekses dari kuatnya kultur patriarki yang melanggengkan ketimpangan gender di masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline