Lihat ke Halaman Asli

Kompensasi, Noda Masa Lalu yang Terulang

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan harga BBM bersubsidi yang disimbolkan dengan salam 2 ribu kali ini agak menggelitik. Pasalnya, momentum tersebut terjadi disaat harga minyak dunia turun dan tanpa persetujuan DPR(Dewan Perwakilan Rakyat). Berbeda halnya pada periode SBY, pemerintah menaikkan harga manakala minyak dunia sedang naik melalui kesepakatan DPR.

Ini seakan-akanmenjadi momok menakutkan bagi rakyat. Sebab, dampaknya bukan hanya beliau (baca : BBM) yang anjlok melainkan kebutuhan pokok seperti beras, daging, gula, sampai cabai pun ikut-ikutan terkena imbasnya.Biasa diistilahkan dengan Leverage Effect (Efek Dongkrak). Manakala harga BBM naik maka semua harga akan menyesuaikan naik terkena efeknya.

Konon, solusi alternatif yang diprakarsai pemerintah ialah kompensasi. Penyaluran uang senilai Rp. 400.000,- dalam durasi 2 bulan untuk membantu masyarakat kurang mampu agar tidak kewalahan dengan efek BBM juga sebagai jaminan/perlindungan sosial masyarakat tidak mampu.

Hal ini merupakan lagu lama, namun imagenya seakan baru karena perbedaan istilah. Lagi, beragam kekacauan saat pelaksanaannya pun kerap ditemui sekarang. Pemerintah enggan berkaca dari masa lalu bahwa kompensasi menumbuhkan kebiasaan ingin diberi, berpola pikir instan, memilih disuapi saja dengan uang yang bernilai temporari daripada disuguhkan dengan lapangan pekerjaan. Revolusi mental dari hal ini adalah membuat rakyat lebih suka dikasih ikan daripada pancingan. Nominal Rp. 400.000,- beraroma sebagai uang tutup mulut agar rakyat tidak banyak mengoceh dan mengeluh tentang kenaikan BBM, apalagi program ini sifatnya sementara. Lalu di sebelah manakah bahwa kenaikan BBM akan membawa perbaikan, menyelamatkan rakyat apalagi mensejahterakan. Modus penghematan anggaran tidak bosannya dijadikan dalih. Belum saja dihemat sudah dipakai kompensasi yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri. Sedangkan uang perjalannan dinas, honor rapat, dana untuk blusukan, variasi tunjangan para pejabat tak kunjung dipangkas, jadi sorotanpun tidak.

Sedihnya, jika kita mengamati yang terjadi di TKP. Kompensasi ini dilakukan terbuka, dengan status penjagaan dan pengaman yang nyaris tidak diperhatikan. Pemerintah nyaris tidak sadar bahwa dahulu pembagian BLT dengan mekanisme seperti ini menimbulkan berbagai kemadaratan mulai dari kaum lansia yang tanpa sengaja terinjak-injak, anak-anak dibawah umur terhimpit karena berdesakan-desakan. Pada saat itu tidak peduli siapa saudara, mana yang muda atau tua. Semua lupa demi Rp. 400.000,- ditangan. Harusnya dari kejadian sebelumnya pemerintah mau belajar dan menerapkan metode yang aman. Misalnya dengan menggunakan loket, membedaan antrian untuk kaum lansia atau masyarakat yang harus diprioritaskan, dijaga ketat, dan dilaksanakan setertib-tertibnya. Lantaran hal tersebut diabaikan maka nenek-nenek yang terinjak-injak, kakek-kakek pingsan, dan peristiwa-peristiwa lain yang tidak diinginkan terulang lagi.

Pembagian yang tidak tepat sasaran kembali menodai. Banyak dari masyarakat yang menikmati kompensasi bukanlah orang yang layak menerimanya. Terdapat kalangan yang terbilang mampu merasakan dana ini yang sama sekali bukan haknya. Mereka yang memiliki perhiasan, berkendaraan lebih dari satupun tidak sedikit yang merasakan dana tersebut.Artinya bantuan ini cacat dalam penyaluraannya sebab tidak tepat sasaran. Mestinya, jika ingin menaikan BBM disiapkan dari jauh-jauh hari untuk menyeleksi dan survey lapangan bagi siapa saja yang memang patut mendapatkan bantuan ini sehingga terrealisasi dengan tepat akurat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline