Seragam
Bagian dua.
Saya sering sepanggung dengan orang yang seperti ini. Paling banyak sebagai peserta. Hanya beberapa kali sebagai sesama pembicara.
Saya biasanya mengamati dan memperhatikan dengan saksama tipe pembicaraan seperti ini. Dari sekian banyak kesempatan tersebut, saya kemudian menyimpulkan bahwa, mereka adalah kelompok yang percaya dengan anggapan "semakin banyak berbicara, kecerdasannya semakin nampak."
Sebenarnya ini anggapan yang berkembang dalam masyarakat saja. Anggapan yang kebenarannya belum teruji dari aspek keberhasilan komunikasi. Tetapi semakin kesini, makin banyak yang mempercayai.
Termasuk yang berpendidikan tinggi. Mereka yang sedang diberi amanah. Dipercayakan sebagai pemimpin. Dalam berbagai jabatan: pendamping, penyuluh, pegawai pemerintah dan berbagai jabatan lainnya.
Saya memperhatikan bahwa, semakin banyak seseorang berbicara, ia hanya asyik dengan diri sendiri. Lupa audience.
Pada tahap ini saja sebenarnya sudah gagal.
Apalagi dibumbuhi dengan bahasa-bahasa langit. Istilah yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri.
Mungkin ia merasa tersanjung, karena audience angguk-angguk. Walaupun anggukan itu bisa berarti tidak mengerti.
Yang seperti ini, akhirnya mudah diduga, pesan tidak sampai ke audience. Padahal kalau ia sedikit mau belajar tentang komunikasi efektif: kenal audience, tahu saluran untuk menyampaikan dan mengetahui pesan inti pembicaraan tidak perlu bicara panjang lebar. Tidak efektif omong banyak!
Kadang saya memahami bahwa orang omong banyak karena sedang menggunakan seragam (jabatan/posisi) tertentu. Pada posisi itu semua orang merasa berhak untuk omong banyak.
Seragam memang selalu menindas. Eh salah, seragam adalah simbol penindasan.