Selain persoalan data, polemik Program Kesejahteraan Sosial, juga berakar pada tuntutan mendapatkan kesempatan yang sama dari semua masyarakat. Saat berkunjung ke desa-desa dampingan, saya sering mendengarkan keluhan itu. Masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan meminta pemerintah untuk membagi rata semua bantuan kepada seluruh warga desa. Alasannya: keadilan itu tadi. Semua masyarakat desa harus mendapatkan keadilan yang sama terhadap berbagai bantuan.
Selain itu, mereka juga menggunakan alasan partisipasi dalam pembangunan. Kalau bantuan dibagi secara merata maka pemerintah desa tidak akan kesulitan untuk mendapatkan partisipasi masyarakat. Bantuan digunakan sebagai alat untuk menggerakan partisipasi masyarakat.
Tentu tidak masuk diakal. Mana mungkin menuntut keadilan dalam kondisi masyarakat yang tidak adil?
Gampangnya begini: dimasyarakat ada dua kelompok yaitu: sejahtera dan pra sejahtera/miskin.
Masyarakat yang hidupnya diatas garis kemiskinan: tinggal di rumah yang berdinding tembok berlantai semen dan makan tiga kali sehari adalah kelompok sejahtera. Mereka ini disebut sebagai kelompok yang mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Sementara, ada masyarakat yang hidupnya sangat menderita atau kelompok prasejahtera: tinggal di rumah yang tidak layak huni, untuk makan sehari mereka harus kuli/kerja buruh seharian dan pakaian yang dikenakan itu-itu saja.
Mereka ini biasanya sangat terbatas dari sisi pendidikan. Syukur-syukur bisa tamat SMA, kebanyakan hanya tamat SMP atau SD saja.
Dari sisi kesempatan untuk hidup lebih baik, mereka sangat terbatas. Begitupun dengan akses kepada sumber daya atau modal.
Disini saja sudah menunjukkan ketidakadilan. Kalau harus diberi bantuan yang sama maka akan mempertebal jurang kesenjangan tersebut. Sedari awal memang gap antara kedua kelompok ini sudah sangat jauh.
Lantas kenapa yang hidup sudah baik, menuntut untuk mendapatkan bantuan juga? Kalau pertanyaan ini ditanyakan kepada saya maka jawabannya adalah rakus.
Mereka ini terlalu rakus. Lupa bahwa masih ada tetangganya yang hidup lebih miskin dan harus dibantu lebih dulu. Bisa jadi karena kerakusan, mereka juga lupa bahwa pemerintah sudah membantu banyak, melalui gaji sebagai pemerintah desa, ASN, guru honorer,tenaga kontrak atau sebagai pendamping.
Atau mungkin mereka lupa pasal 34 ayat 1 UUD 1945, fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara. Negara menjamin keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar kelompok rentan ini dengan Program Perlindungan Sosial.
Semoga kita tidak rakus.