Hari ini, jam ini, sepuluh tahun yang lalu, putri semata wayangku,yang kami angkat 16 tahun yang lalu tiba-tiba saja memanggilku dari dalam ruang ICU, dengan alunan suara khasnya, ' bapa, gendong saya'. suatu permintaan yang tidak pernah saya bayangkan bahwa itu permintaan terakhirnya, andai saya tahu pasti tidak akan pernah saya gendong, karena saya tidak pernah ingin gendongan terakhir.
Keinginanku adalah melihatnya ceriah, bawel sama ibunya, pagi-pagi sudah bangun buatkan kopi hangat buat bapanya. walau dia tidak lahir dari darah dan daging kami berdua , berpisah dengannya apalagi untuk selamanya tentu duka lara tidak akan pernah selesai.
Setelah dia saya rangkul, rebah diatas pangkuanku, ta pernah sadar lagi,walau teriakanku memecahkan kesunyian, walau elusanku diwajahnya, walau kecupan ibunya menyayat menikam kalbu, dia diam, dia bisu tidak sadarkan diri, rautnya entah senyum, entah tangisan, entah gelisah telah berpadu menjadi satu, menyempurnakan gelisahku sampai pada tanggal lima Nopember sepuluh tahun yang lalu, putri semata wayangku mengisyaratkan.................
Untukmu putriku : Elan, hari ini, esok, lusa entah kapan air mata ini berhenti untukmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H