Lihat ke Halaman Asli

"Jembatan Batu”

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

By : Ipi Fernandez



Tadi soreh,tepatnya jam 14.30 saya menghadiri acara pemakaman seorang bapak pensiunan guru sekolah dasar yang meninggal hari kemarin.Istri idak bisa ikut karena harus menyiapkan segala sesuatu kaitan dengan UN SD disekolahkarena tanggung jawabnya sebagai kepala sekolah .Tiba dirumah duka acara pemakaman pas dimulai , diawali dengan perayaan misa sesuai tradisi agama Khatolik.tidal lazim memang karenadalam tradisi gereja Khatolik bila pemakaman pada hari minggu maka aturan yang berlaku hanya boleh diawali dengan perayaan sabda tanpa imam, tetapi hari ini perayaan dipimpin oleh seorang imam.

Sepanjang perayaan saya benar-benar kehilangan konsentrasi , hilang keseimbangan, fenomena apakah yang bakal terjadi, ada apakah dibalik semuanya ini. Ditengah kegalauan, tiba-tiba saja terlintas dbenak saya bahwa almarhum tidak punya anak, mungkin ini anugerah istimewa dari sang pemilik kehidupan. Nasib bapak ini tak ubahnya dengan saya tetapi apakah saya juga akan mendapatkan hadiah seperti ini? Mungkin “Jembatan batu “yang dibangun mas Ebiet G AD bisa membantu saya dan anda yang senasib dengan Bapak ini dalam nada “Lolong”nya :

Jembatan batu disebelahku diam

Pancuran bambu kecil memercikan air

Menghempas diatas batu hitam

Meniti,menikam sepi pagi

Pucuk-pucuk cemara bergoyang-goyang

Diterpa angin dingin musim ini

Seperti mengisyaratkan doa

Rahasia alam diam disekitarnya

Disinipun aku mencari Engkau

Setiap kali kupanggili namaMu

Tetapi selalu saja hanya gema suaraMu yan terdengar rindu

Gadis manis duduk disebelahku

Menyematkan kembang disaku bajuku

Dan bercerita tentang sepasang burung

Yang bercumbu diatas dahan

Tetapi sepi tetap bergayut didada

Selalu kuteriakan kata”dimana”?

Tetapi rindu tetap bergayut didada

Selalu kuteriakan kata”dimanaaaaaa”?

Ketika pulang aku turun ke kali

Dan berkaca diatas air

Kulihat wajahku letih dan tua

Tapi aku berusaha tertawa

Anggap hidup hanya sandiwara

Yang akan berakhir . . . . .segera



Minggumisteri,06/05/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline